Kematian Pertama

1596 Words
Dilan terduduk dengan tangan kanan menggantung di udara. Bibirnya terbuka lebar dengan napas memburu. Tulisan di kaca dinding itu meluntur perlahan-lahan seperti tinta di dalam bak air. Dilan melirik Kiyan perlahan dan yang didapatinya hanya gadis itu yang berdiri tenang seolah tak terjadi apapun. Dilan semakin tidak tenang dengan hadirnya gadis itu di sisinya. “Ki-Kiyan, sebenarnya ada apa dengan sekolah kita?” bisik Dilan gugup. Kiyan menggeleng pelan, tanpa kata apapun. Kedua matanya terfokus pada cermin yang mengeluarkan tulisan berdarah itu. Dengan segenap keberanian yang tersisa, Dilan mencoba untuk berdiri. Meski kakinya terasa lemas luar biasa, Dilan tidak bisa jika harus duduk diam terselimuti ketakutannya sendiri. ia melangkah mendekati Kiyan dengan terseok-seok. “Kiyan, kamu baik-baik saja?” Dilan menepuk bahu gadis di depannya. Kiyan menoleh, pandangannya tetap tajam nan dingin seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang menakutkan dari Kiyan, dia cantik—sangat cantik malah. Kulitnya putih, tapi cenderung pucat. Dia manis ketika tersenyum, hanya saja Dilan merasa senyum Kiyan menjadi menyeramkan kadang kala. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar seperti itu. “Sebaiknya kita keluar dari sini.” ujar Kiyan sembari berlalu pergi. Dilan hanya mengekori gadis itu saja. Kesadarannya masih separuh hilang akibat shock dengan tulisan di cermin tadi. Tunggu dulu… Dilan menarik Kiyan. “Kita jangan bertemu yang lain. Seperti tulisan yang ada di cermin, kita nggak boleh berkumpul tiga orang atau lebih.” “Kamu percaya? Barangkali itu hanya perbuatan orang iseng saja ‘kan.” Kiyan menanggapinya dengan santai. Tapi, ada benarnya juga apa yang di katakana oleh Kiyan. Mereka bahkan tidak tahu sebenarnya permainan apa yang disiapkan untuk mereka melalui undangan itu. Satu-satunya pertanyaan yang menjadi akar dari segalanya adalah, siapa sebenarnya dalang dibalik undangan misterius itu? “Tapi bagaimana jika benar?” Nyatanya, memang ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Keduanya sama berat, dan Dilan ragu harus melakukan apa. Jika tulisan di kaca tadi benar, maka salah seorang dari mereka akan mati. Bisa jadi itu Dilan sendiri. Tapi, jika ternyata itu hanya permainan saja, mereka akan tampak begitu bodoh mempercayainya. Dilan mengusap wajahnya kasar. Sungguh sial sekali dirinya seharian ini. “Sudahlah, Dilan. Kamu terlalu khawatir akan sesuatu yang tidak jelas. Memangnya kamu mau terjebak di sekolah ini hanya bersamaku saja? Kamu tidak ingin melihat yang lain? Keadaan mereka?” tanya Kiyan bertubi-tubi. Dilan membenarkan apa yang dikatakan Kiyan dalam hatinya. Meski Dilan sama sekali tidak mengakuinya secara frontal, hatinya berkata iya. Ini pertama kalinya Kiyan berbicara panjang kepadanya. Meski tetap tanpa ekspresi dan nada suara yang datar seperti sebelum-sebelumnya. “Tapi… ugh, baiklah ayo cari yang lain.” Akhirnya Dilan memutuskan, sudut bibir Kiyan tertarik sepersekian senti dan Dilan menangkap hal itu. Hanya sekejab saja, mungkin malah tak sampai satu kedipan mata. Kiyan berjalan lebih dulu dan Dilan mengikuti di belakangnya. Entah kenapa Dilan sama sekali tak berminat berjalan di samping gadis itu. Bukan karena takut, ah… ya sebagian karena takut dan tak nyaman, sebagian lagi karena canggung. “Kamu mau kita kemana dulu?” tanya Kiyan tiba-tiba. Dilan sedikit terkejut. Sejak tadi dirinya hanya fokus pada pikirannya sendiri. Kali ini bahkan Kiyan sudah berdiri di hadapannya. “A—A… anu.” Lidah Dilan kelu tanpa sebab. “Ter—serah kamu saja.” Jawab Dilan akhirnya. Oh, hari ini Dilan begitu pasrah mengikuti orang-orang di sekitarnya. Dia hanya pasif saja, tidak seperti Dilan yang biasanya selalu berusaha menunjukkan argumen-argumennya. Kiyan menautkan alisnya. “Baiklah.” Dan dia kembali berjalan memimpin di depan Dilan yang hanya diam mengikuti.   *   Dilan mengamati sekitarnya. Lorong sekolah menjadi berkali-kali lipat lebih seram setelah kejadian tulisan di cermin tadi. Kedua bola mata Dilan tak henti bergulir menyapu kemana saja tempat yang dapat di jangkau oleh matanya. Setiap kali bayangan dirinya dan Kiyan lewat di kaca jendela kelas, Dilan akan reflek menoleh dan kaget sendiri. Tampak bodoh memang, tapi jika merasakannya sendiri, maka akan jelas bagaimana perasaan ketika ketakutan menyelimuti diri begitu kuatnya. “Alfa ada di lantai satu. Kita kesana sekarang.” Ujar Kiyan tiba-tiba. Dilan mengangguk saja, meski dalam hati masih tetap khawatir tentang peringatan yang tertulis di cermin tadi. Apalagi mereka hendak menemui Alfa, bagaimana jika Alfa mati? Oh, tidak, bagaimana jika Dilan sendiri yang mati? “Alfa pergi dengan siapa?” “Irene. Alfa bilang dia harus menemani Irene karena yang lain takut kalau Irene histeris lagi seperti tadi.” Dilan mengangguk paham. Mereka menyusuri lorong dalam diam. Kiyan yang sudah terbiasa tak bicara semakin menambah suasana sepi menjadi mencekam. Mungkin hanya Dilan yang merasakan karena Dilan sama sekali tak mendapati raut khawatir apalagi takut pada wajah Kiyan. Dilan curiga wajah Kiyan sudah kaku sejak lama hingga sulit sekali menunjukkan ekspresi. Sepanjang Dilan mengenal Kiyan sejak lebih dari delapan tahun silam, Kiyan mengeluarkan ekspresi hanya sesekali, itupun tidak begitu nampak jika hanya melihatnya sekilas. Dilan berusaha keras mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dalam kepalanya. sekarang, akan lebih baik jika ia memikirkan bagaimana caranya keluar dari gedung sekolah ini. Pintu utama benar-benar tertutup total. Sembari menuruni tangga, Dilan merapalkan berbagai doa dalam hatinya supaya apa yang tertulis di cermin tadi tidak benar-benar terjadi. Dilan sangat takut. Mereka bertemu dengan Alfa dan Irene di dekat tangga. Irene terduduk lemas sambil sesekali menggosok lehernya seakan ada sesuatu yang mengganggunya di sana. Dilan benar-benar tanggap melihat Irene, sebisa mungkin dia menjelaskan bahwa di leher Irene ada bekas merah. Nyatanya, Kiyan dan Alfa sama sekali tak mempercayainya. “Apa Irene merasa tercekik lagi tadi?” tanya Dilan dingin. Alfa tentu menyadari perubahan suasana hati Dilan. Pemuda tinggi yang berstatus sebagai teman dekat Dilan hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Dilan mengelus bahu Irene sembari membisikkan kalimat penenang. Gadis itu bernapas tidak stabil, badannya bergetar hebat, dan keringat terus-terusan menguncur di wajahnya. Dilihat sekilas saja, jelas sekali bahwa Irene sedang menahan sakit. “Irene, kau mendengarku?” bisik Dilan. Irene mengangguk lema, tubuhnya merosot dan ia terduduk menyandar di dinding. “Irene, Irene! Kamu baik-baik saja? Hei, dengar aku?” Dilan mengguncang bahu Irene panic. Keadaan gadis itu sudah benar-benar tidak biasa sejak jeritannya di depan tadi. Kali ini, ia bahkan terlihat lebih parah. “Alfa? Bagaimana bisa Irene jadi makin parah gini?” marah Dilan. Ia terus saja mencoba mengajak bicara Irene. Gadis itu memejamkan matanya, Dilan melihat dengan jelas kalau Irene tengah menahan rasa sakit. “A—aku nggak tahu, Lan. Irene jadi seperti ini setelah kami di sini.” Alfa ikut mendekati Irene, mencoba untuk membuat Irene tetap sadar meski mereka tahu itu tidak mungkin. Irene seperti telah kehilangan separuh dirinya. Dilan menggigit bibirnya. Sekelebat ingatan mengenai tulisan di cermin melewati kepalanya. “Jika tiga orang termasuk dirimu berkumpul, maka seseorang akan mati.” Kalimat itu kembali terngiang di kepala Dilan. Bagaimana jika tulisan di cermin itu memang sebuah peringatan? Itu artinya Dilan telah melanggarnya. “Irene, sadar Irene kita harus keluar dari sini. Bangun.” Dilan masih berusaha keras menyadarkan Irene. Perlahan, napas gadis itu semakin pendek-pendek. Dilan menggigit bibirnya, ia benar-benar tidak bisa melihat Irene begini. “Alfa! Bagaimana ini? Irene!” Dilan semakin panik saja. Alfa sama sekali tak bicara apapun, tapi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sama seperti yang Dilan rasakan. Irene kembali memegangi lehernya. Kedua matanya tiba-tiba terbuka dan melotot, mulut Irene bahkan terbuka lebar seolah hendak mengatakan sesuatu namun tertahan. “Irene! Irene! Kamu kenapa? Hei?” “Akh…hkk…Arg…” Irene hanya menggumam tidak jelas. Suaranya benar-benar seperti seseorang yang tersiksa karena tercekik. “Kiyan? Cepat hubungi yang lain, suruh kesini.” Kiyan mengangguk dan segera menghubungi yang lain. Hanya beberapa menit setelah Kiyan mengirimi pesan, suara derap langkah kaki terburu-buru menuju kemari terdengar jelas. Beberapa terlihat panik dan segera mendekati Irene yang terus menggeliat sambil memegangi lehernya. Kakinya menendang kesana-kemari dan kedua matanya terus membelalak. Beberapa anak perempuan menangis melihat Irene dan sebagian lagi berusaha menyadarkan Irene kembali meski rasanya percuma saja. Irene terus seperti itu hingga entah berapa menit lamanya. Alex bahkan menggumam lebih baik Irene mati saja daripada tersiksa seperti itu. Dilan mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat. Sungguh, keadaan Irene membuatnya ketakutan setengah mati. Bukan karena wajah Irene yang tampak menyeramkan, bukan pula karena Dilan takut ia akan bernasib seperti Irene, tapi lebih kepada bagaimana jika peringatan di cermin itu benar? Sekarang ini mereka berkumpul semuanya. Ada banyak orang di sini. Dilan mulai merasa khawatir akan keputusannya menemui Alfa dan Irene lah yang menyebabkan semua ini meski sejak pertama kali Irene terjebak di sini dia sudah menunjukkan gelagat aneh. Hingga menit kesekian, Irene berteriak keras dan tubuhnya langsung diam kaku. Dilan menyentuh wajah Irene dengan tangan bergetar. “Irene…” gumam Dilan pelan. Kulit Irene begitu dingin, Dilan menyentuh leher Irene, ia harap masih ada denyut disana. Nyatanya, sama sekali tidak ada. ‘Aku membunuh, Irene.’ Bantin Dilan kacau. Jika saja ia tidak menuruti saran Kiyan untuk bertemu dengan Alfa dan Irene, mungkin Irene masih hidup. Mereka masih bisa mencari jalan keluar bersama-sama untuk bebas dari gedung sekolah mereka. Alfa menyadari ekspresi Dilan yang benar-benar terguncang. Ia mendekati Dilan dan menepuk bahunya. “Kita tidak tahu kalau akan berakhir seperti ini.” ujar Alfa pelan. Dilan menyandarkan kepalanya di bahu Alfa untuk sekedar menenangkan diri meski mungkin sama sekali tidak berpengaruh. Berteman dengan Alfa sejak lama membuat Dilan merasa bebas melakukan sesuatu bersama pemuda itu. Bagaimana Dilan bisa mengatakannya kepada yang lain jika ia menemukan cermin dengan tulisan darah di salah satu kelas itu? Nantinya, apa mungkin mereka semua akan menyalahkannya atas kematian Irene? Bagaimana jika Alfa juga berbalik menuduhnya sengaja membunuh Irene dan salah paham bahwa dalang di balik semua surat misterius itu adalah dirinya? Dilan menggeleng keras. Tidak, ia sungguh tidak mampu menghadapinya.   ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD