Pertanyaan

1466 Words
Andrea menganga, antara percaya dan tidak mendengar penjelasan Dilan. Setelah keduanya sepakat tadi, Andrea mengajak Dilan untuk pergi ke tempat lain. Setidaknya mereka tidak harus berdiri atau malah duduk-duduk di lantai keramik dingin saat menjelaskan soal kode-kode yang dimiliki oleh Dilan. “Lo, nggak bohong ‘kan?” tanya Andrea memastikan. Dilan memutar bola matanya. Susah sekali meyakinkan seorang Andrea. Hatinya sudah benar-benar gelap kalau menyangkut soal Dilan. “Harus berapa kali kita bikin perjanjian supaya kamu percaya sama aku?” tanya Dilan sinis. Andrea mengusap tengkuknya. “Yah… gue cuma nggak yakin, karena—“ “Karena aku yang bicara.” Potong Dilan kesal. Andrea memalingkan wajahnya, Dilan menghela napas kesal. Ia jadi kurang berminat menjelaskan lebih lanjut soal kode-kode milik Linda. Percuma saja, kalau seperti ini terus. Mereka tidak memiliki kecocokan, meski dalam hal ini Andrea lah yang menciptakan ketidak cocokan itu. Tetap saja, tidak aka nada kerja sama kalau diantara mereka sama sekali tidak ada kecocokan. “Sorry, Lan.” Ucap Andrea pelan. Dilan nyaris tersedak ludahnya sendiri mendengar seorang Andrea yang sejak mereka kemari begitu sensitif kepadanya malah meminta maaf. Yah, meski Dilan yakin Andrea tidak sepenuhnya menyesal dengan apapun perkataan dan kelakuannya kepada Dilan, setidaknya masih ada penyesalan, meski sedikit. “Iya. Hanya aku dan Alfa yang tahu soal kode-kode ini sebelumnya. Rencana nya aku ingin ngasih tahu semuanya supaya kita bisa sama-sama cari tahu soal kode-kode itu.” Andrea mengusap dagunya. “Terus kenapa kita nggak cari yang lain dulu aja?” “Jangan! Kita nggak boleh berkumpul tiga orang atau lebih.” Cegah Dilan panik. Kedua matanya kembali menerawang jauh mengingat kematian teman-temannya. Andrea tidak tahu soal cermin, atau peringatan serupa darah yang membuat Dilan merasa bersalah kepada teman-temannya yang mati tiap kali ia mengingatnya. Maka dari itulah saat ini pria itu menatap Dilan dengan raut kebingungannya. “Kenapa?” “Karena kita nggak boleh kumpul atau akan ada salah satu yang mati.” Jawab Dilan ragu. “Haa? Apa-apaan itu? Kenapa lo bilang gitu?” tanya Andrea masih bingung. “Er…” Dilan menghela napas. “Aku akan menjelaskannya, tapi kamu harus berjanji untuk nggak memotong ucapan ku atau menyalahkan ku lagi.” Andrea mengangguk ragu-ragu. “Ini mungkin akan terdengar aneh bagimu yang nggak melihat semuanya. Oh, sebenarnya bagiku yang melihat pun masih aneh sampai sekarang. Jadi, pertama kali aku jalan sama Kiyan yang kita memutuskan untuk berpencar nyari jalan keluar itu, aku masuk ke salah satu kelas. Tahu sendiri lah keadaan kelas sekarang gimana, beda jauh sama terakhir kali kita jadi murid disini. Nah, karena ditunjang rasa penasaran yang tinggi, aku kebelakang dan nemu cermin itu.” Dilan kembali menghela napas, ia menatap Andrea yang sejak tadi hanya melihatnya dengan kening berkerut. “Lalu?” desak Andrea tak sabar. “Kupikir itu hanya cermin biasa, dan tiba-tiba muncul tulisan peringatan berwarna merah darah disana. Katanya, siapa saja yang berkumpul tiga orang atau lebih akan ada yang mati. Awalnya ku kira itu tidak serius, lalu Irene mati, dan kematian-kematian selanjutnya yang bikin aku yakin kalau peringatan di cermin itu memang benar.” Dilan tidak tahu apakah Andrea akan percaya pada ceritanya atau tidak. Bahkan sampai sekarang, Dilan juga masih enggan percaya kalau semua ini terjadi karena sebuah cermin, meski Dilan masih tak mengabaikan fakta bahwa ada seseorang diantara mereka yang ikut andil dalam terror yang terjadi saat ini. Andrea mengurut pangkal hidungnya. “Hahhh… semua nya jadi makin aneh saja.” Keluhnya. “Kamu nggak menuduhku lagi?” tanya Dilan penasaran. Andrea mendengus. “Jadi lo mau gue tuduh lagi apa gimana? Tadi katanya gue nggak boleh nyalahin lo. Ribet banget sih.” “Maaf.” Andrea mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat yang mampu ia jangkau. “Lan, lo udah ketemu siapa aja sebelum ketemu gue?” Deg. Dilan teringat dengan keadaan Petra dan sosok berjubah hitam yang menyiksanya. Apakah ia harus mengatakannya kepada Andrea? Tapi Andrea sulit percaya dengannya, ya meski sekarang ia sudah lebih bisa menerima apa yang Dilan katakan. “A—aku ketemu sama Petra, ah bukan, maksud ku aku melihat Petra…” Dilan menggantungkan kalimatnya, masih tak yakin ia harus mengatakan kepada Andrea atau tidak. “Dimana dia? Gue akan kesana.” Andrea sudah siap untuk pergi namun Dilan menghalanginya. Andrea tidak boleh melihat keadaan Petra yang mengenaskan. Dilan takut Andrea tidak mampu mengendalikan kemarahannya dan berniat mencari pelakunya sendiri. Jangan sampai Andrea nekat melakukan hal bodoh seperti itu. Sebenarnya itu masih mending daripada Andrea berbalik menyalahkan Dilan dan berusaha melenyapkan Dilan bahkan sebelum Dilan mengatakan semuanya. Itu akan menjadi lebih buruk. “Kumohon jangan melihat Pertra sekarang.” “KENAPA?” seru Andrea marah. “Biarkan aku menjelaskannya kepadamu dulu, kumohon tenanglah sebentar dan dengarkan aku.” Andrea membuang napas kasar. Ia mengelus dadanya sendiri demi meredam amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Ada seseorang… yang bersama kita, orang jahat.” Ujar Dilan pelan. “Hah? Siapa maksud lo?” Dilan menggeleng. “Aku nggak tahu. Dia memakai jubah hitam, dia bahkan memakai sarung tangan dan masker. Aku nggak lihat wajahnya, tapi dia berhabahaya.” “Jadi hubungannya sama Petra apaan, Dilan?” tanya Andrea gemas. Dilan meremat ujung bajunya. Salah satu gestur ketika ia mulai panik dan kebingungan. “Sebenarnya, orang jahat itu menyiksa Petra.” Cicitnya pelan. “APA?! Katakan, dimana lo ngeliat Petra. Cepetan Dilan!” paksa Andrea keras. Ia mengguncangkan bahu Dilan hingga dosen muda itu terhuyung-huyung. “Sabar Andrea, aduh.” Dilan memegangi kepalanya yang serasa berputar. Biar bagaimanapun, Andrea memiliki tubuh yang jauh lebih besar darinya. Lagi-lagi Dilan menyayangkan pertumbuhannya yang seolah terhambat. Menjadi awet muda mungkin baik, tapi jika tubuh seolah tak bertumbuh dan berkembang sejak SMA, sama saja itu buruk. “Ck, lelet banget lo jadi laki. Ayo cepetan!” Dilan segera menarik lengan Andrea sebelum pria itu kembali menyiksanya dengan menggoyangkan tubuhnya dengan tak manusiawi. Dilan tentu masih ingat dimana ia melihat Petra yang berteriak tanpa suara akibat mulutnya yang di sumpal dalam sebuah ruang kelas. Dilan berlari terburu. Meski ia rasanya tidak siap melihat keadaan Petra, tapi ia harus menuruti Andrea atau pria itu akan kembali meluapkan amarah kepadanya. Sekitar sepuluh menit mereka berlari-lari hingga sampai ke kelas yang di tuju. Dilan benar-benar tak tega melihat keadaan Petra, padahal hanya dari balik jendela kaca. Dilan melirik Andrea, pria itu mematung dengan kedua tangan mengepal keras. “An—drea?” panggil Dilan ragu. Andrea tiba-tiba melangkah dan menendang pintu kelas yang terkunci. Dilan nyaris saja berteriak saking kagetnya. Ia tidak menyangka kalau Andrea akan sampai melakukan hal itu. Dilan tahu kalau emosi Andrea sulit terkendali, entah marah, senang, sedih, dia selalu bisa mengungkapkan emosi nya dengan bebas. “Andrea! Apa yang kamu lakukan?” “Diem lo!” seru Andrea marah. Dilan cuma bisa diam seperti perintah Andrea atau teman sekelasnya itu akan marah kepadanya. Andrea masuk dengan panik dan langsung memeriksa keadaan Petra. Dilan mual melihatnya, meski ini bukan kali pertama ia melihat mayat dengan kematian mengenaskan. Sebelum-sebelumnya juga sudah, bahkan Sari terlempar dari lantai dua di hadapannya. “Petra! Bagun, oi!” seru Andrea keras. Ia memegangi badan Petra dan segera melepas ikatan di mulutnya yang berlumuran darah dengan pakaian sobek dimana-mana. “Andrea, stop.” Cegah Dilan sebelum temannya itu kembali menggoncang tubuh Andrea. Dilan bergidik melihat darah di luka-luka Petra mengalir karena Andrea yang dengan tak berperasaan berusaha membangunkan Petra dengan cara brutal. “Apa sih?” bentak Andrea kasar. “Cukup! Kamu nggak akan bisa bikin Petra bangun, kamu malah membuat darah Petra tercecer dimana-mana.” Andrea melepaskan Petra dan ganti menatap Dilan tajam. Ia mendorong Dilan hingga dosen muda itu tertahan dinding kelas. Andrea mencengkram kerah kemeja Dilan, membuatnya meringis menahan sakit dan napas yang sesak. “Ap—a yang k—kau laku—kan?” tanya Dilan susah payah. Andrea seolah sudah tak mengenali Dilan lagi. Ia semakin mendorong Dilan hingga Dilan nyaris tak merasakan tubuhnya lagi. Padahal Andrea sudah berjanji tidak akan menyalahkan apalagi berperilaku kasar kepadanya sebelum semuanya jelas. “Lo pasti tahu siapa pembunuhnya ‘kan? Bilang sama gue siapa dia? Jangan jadi pelaku yang pecundang, Dilan!” “T—tapi aku…arrgh.” Dilan berusaha keras menyingkirkan tangan kekar Andrea dari lehernya. Kalau seperti ini terus, Dilan bisa mati sebelum tahu maksud dari kode-kode milik Linda dan siapa sosok berjubah yang menyiksa Petra. “Dilan! Lo jangan macam-macam sama gue, lo harus bilang siapa sebenarnya orang itu.” Desak Andrea. “Tapi…a—aku nggak tahu.” Andrea melepaskan Dilan. Napasnya memburu dan ia kembali melihat Petra yang sudah tergeletak kaku dengan luka penuh darah. Sementara itu, Dilan hanya bisa kembali terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang memerah. Andrea memegangi dahinya. Ia berjalan kesana-kemari dengan raut kemarahan yang tak bisa didefinisikan. Dilan maklum jika Andrea marah karena Petra mati dengan keadaan yang begitu buruk. Bahkan, Dilan sendiri juga marah melihatnya. Mereka seolah mengabaikan rasa kemanusiaan saat melakukannya. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, siapa sebenarnya sosok di balik jubah hitam itu? “Andrea… “ panggil Dilan pelan. Andrea diam saja. Ia sama sekali tak menanggapi panggilan Dilan, ia juga masih tetap berdiam diri seraya mengamati mayat Petra yang terus-terusan meneteskan darah dari luka-luka sayatan di tubuhnya “Gue nggak bisa kayak gini terus, kalau emang bukan lo dalang dibalik semua ini, lo harus ikut nyari siapa orang di balik kekacauan mengerikan ini.” Dilan berdiri dan mendekati Andrea. “Makanya, kamu jangan terbawa amarah dulu. Sekarang, lebih baik kita memecahkan kode-kode Linda. Siapa itu ini adalah petunjuk yang paling jelas.” Andrea menghela napas, sembari mengusap d**a nya sendiri. “Oke.” Ini mungkin akan susah. Masing-masing dari mereka tidak begitu dekat dengan Linda. Kematian Linda juga mendadak. Dilan bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana Linda bisa mati. Apakah ia mengalami kejadian penyiksaan yang sama dengan Petra? Atau adakah cara pembunuhan lain yang membuat wanita itu sampai kehilangan nyawanya? Dilan masih belum tahu.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD