Bab 1

1513 Words
Bab 1 “Ya ampun Nara,” Adelina menatap tidak percaya sosok wanita yang tengah tidur telentang, kaki mengangkang, mulut terbuka lebar, dan mengeluarkan suara dengkuran yang cukup kuat. “Bangun, gak?” Adelina mengambil bantal guling di samping sahabatnya itu, memukulkan tepat ke perut Kinara. “Kapan sih penyakit kebo lo ini hilang?” Berkali-kali Adelina memukulkan bantal guling itu ke tubuh sahabatnya, alih-alih bangun, mengeluarkan suara saja tidak. Kinara kalau sudah tidur seperti simulasi orang meninggal, sama sekali tidak terasa atau mendengar apapun. Bahkan kalau seandainya rumahnya terbakar, Kinara bisa dipastikan hangus terbakar. Lelah, Adelina memutuskan mencampakkan bantal guling yang dipegangnya ke wajah Kinara. Ia memutar otak bagaimana mencari cara tepat untuk membangunkan mayat bernyawa itu. Tiba-tiba Adelina melihat gelas penuh berisi air di atas nakas. Ide nakalnya pun muncul. Diambilnya gelas itu, kemudian menyiramkannya ke wajah Kinara. Kinara gelagapan. “Banjir, Banjir. Selamatkan diri, selamatkan diri.” Tangannya bergerak ke segala arah seolah ia sedang berenang. Adelina tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Kinara. Ia meletakkan kembali gelas di atas nakas, lalu menarik kuat hidung Kinara. “Bangun, kebo betina. Lo tau gak ini jam berapa?” Kinara memaksa membuka matanya yang berat. “Awasin ah tangan lo.” Kinara mengucek matanya. “Emang jam berapa? Lo tau gak? Lo itu ganggu gue tidur tau!” Adelina yang geram melihat sahabatnya itu tidak tahan untuk tidak menjitak kepala sahabatnya. “Lo liat ini,” Adelina mengarahkan jam tangannya dekat kurang dekat ke wajah Kinara. “Sekarang jam setengah tujuh cantik, lo mau dihukum sama Bu Bertha lagi atau GIMANA?!” Adelina sengaja menaikkan nada di kata ‘Gimana’ agar Kinara bangkit dan bergegas mandi. “Jam setengah tujuh?” tanyanya dengan suara tidak bersemangat. “Iya. Buruan siap-siap, Ra.” Adelina menyatukan kedua tangannya. “Please!” “Berarti masih ada sekitar,” Kinara berpikir sejenak. “Empat puluh lima menit lagi. Oke, gue bisa lanjut tidur.” Kinara menjatuhkan kembali badannya ke atas kasur. Melihat tingkah Kinara membuat Adelina ingin sekali memakannya sekarang. Lihatlah, sahabatnya ini adalah murid yang berprestasi di sekolah, tapi tingkahnya? Bahkan Adelina saja bisa mengatakan kalau tingkah murid paling bodoh sekalipun di sekolah mereka lebih bagus daripada Kinara. Kinara sama sekali tidak memikirkan image-nya sebagai murid berprestasi di sekolah. Jangankan image, penampilan saja bukan sesuatu hal penting bagi Kinara. Lihat saja sebentar lagi apa yang akan terjadi. Adelina menarik napas panjang, membuangnya. Kalau terus dibiarkan, bisa-bisa dirinya akan kena hukuman juga karena terlambat datang ke sekolah. Wajah seram Bu Bertha lewat seketika dalam benak Adelina. Bulu kuduknya berdiri, tubuhnya merinding ketika membayangkan apa yang akan terjadi kalau nanti ia benar-benar terlambat dan mendapat hukuman dari Bu Bertha. Ini tidak bisa dibiarkan. Adelina harus membangunkan Kinara apapun yang terjadi. Ia berjalan ke kamar mandi, mengisi satu ember kecil dengan air hingga penuh. Sebelum menyiramkan air itu, Adelina berkata. “Gue lebih milih kita gak sahabatan lagi daripada gue dihukum Bu Bertha.” Bur! Air itu menyiram habis seluruh tubuh Kinara. Kali ini bukan hanya wajahnya saja, seluruh tubuh dan juga kasur ikut menjadi korban siraman Adelina. Kinara langsung bangun berdiri tegak gelagapan. Ia mengusap-usap wajahnya. Kinara juga mengendus-endus, sepertinya hidungnya juga kemasukan air. “Lo gila, ya?” Kinara melanjutkan seperti membuang ingus, mengeluarkan air dalam hidungnya. “Sekarang bukan waktunya marah-marah. Lo ke kamar mandi sekarang, mandi, siap-siap, kita berangkat. Gue gak mau kena hukum sama Bu Bertha. Gue gak mau!” Adelina mendorong tubuh Kinara ke kamar mandi. Kinara hanya bisa pasrah. Sebenarnya ia tuan rumah di sini. Adelina datang kemarin malam untuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Karena kesulitan, mau tidak mau ia harus meminta tolong kepada Kinara. Lima menit. Hanya lima menit, Kinara keluar dari kamar mandi memakai handuk, rambut berantakan tidak karuan. Adelina mengerjap. “Lo mandi?” Kinara mengangguk, membuka lemari. “Ah sudahlah. Yang penting kita gak terlambat.” Kinara memakai seragamnya, memasukkan buku-buku yang menjadi pelajaran hari ini. Adelina tidak habis pikir. Perempuan mana coba yang mandi hanya dalam waktu lima menit. Ia rasa hanya Kinara lah yang demikian. Gadis itu benar-benar membuat Adelina merasa melakukan kesalahan memilihnya menjadi sahabat. “Ayo.” Kinara berdiri tegak di depan Adelina yang sedang duduk di atas tempat tidur. Kinara nyengir kuda menatap wajah Adelina. “Lo, mau berangkat dengan penampilan seperti ini?” “Kenapa? Ada yang salah?” Kinara memandangi tubuhnya. “Seragam ada, dasi ada, kaos kaki ada, tas ada, buku juga lengkap. Apa yang kurang?” Adelina menepuk jidat. “Kinara Amanda Nugraha yang cantik jelita,” Adelina menuntun Kinara ke cermin. “Sekarang, coba lo ngaca, lo liat penampilan lo.” Adelina membiarkan Kinara memandangi tubuhnya di cermin. “Kenapa?” Kinara membalikkan badan. “Gak ada yang salah kok.” Ya tuhan! Mohon maafkan Adelina karena harus menjitak kepala sahabatnya dua kali. “Penampilan lo ini bukan penampilan anak sekolahan. Lo itu lebih mirip kayak orang-orangan sawah.” Adelina mengambil rambut Kinara. “Lo liat ini. Ini gak cocok untuk disebut rambut, Kinara. Ya tuhan. Lo itu sebenarnya cewek atau bukan sih? Atau jangan-jangan lo makhluk jadi-jadian?” Sebenarnya melihat Kinara seperti itu bukan kali pertama bagi Adelina. Pergi ke sekolah dengan seragam kusut sudah menjadi ikon dari seorang Kinara. Tapi ini adalah kali pertamanya menginap di rumah Kinara semenjak bersahabat dari SMP. Ternyata beginilah kelakuan gadis itu sebelum pergi ke sekolah. Pantas saja. “Terus?” Kinara bertanya seolah tidak terjadi apa-apa. Adelina menghela napas. “Terserah. Lebih baik kita berangkat sekarang daripada kena hukum Bu Bertha.” Adelina mengambil tasnya. “Ayo berangkat.” Ketika sampai di anak tangga terakhir, Winda, mamanya Kinara memanggil mereka. “Eh, sudah mau berangkat?” Dengan santainya Winda menggali emas dari hidungnya, kacamata naik sebelah, bentuk rambut yang serupa dengan anaknya. Adelina hanya bisa melongo, ternyata ini jawaban atas pertanyaannya kenapa ada wanita seperti Kinara. Untuk sekarang, akhirnya ungkapan ‘buah tidak jatuh jauh dari pohonnya’ terbukti adanya. Kinara mengubah longoannya menjadi sebuah senyuman. “Hehe. Iya, Ma." “Udah sarapan?” “Bel-“ Dengan cepat Adelina menutup mulut Kinara. Mau jam berapa lagi mereka berangkat kalau sarapan. Sedangkan ini saja belum tahu selamat atau tidak. “Sudah tante. Kami berangkatnya,” Adelina menarik paksa tangan Kinara ikut bersamanya. Kinara menyempatkan diri melambaikan tangan kepada mamanya. Perjuangan mereka berdiri di pinggir jalan menunggu angkot selama lima menit akhirnya membuahkan hasil. Tersisa dua puluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Adelina memperkirakan kalau jalan tidak macet dan juga tidak akan terjadi hal-hal yang menghalangi mereka, lima menit ke depan mereka akan sampai di sekolah. Adelina mengatur napasnya. Kinara menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Jangan lupakan mulutnya yang terbuka lebar. Seperti itulah Kinara, tidak bisa mingkem, kalau istilah orang jawa. Saat sedang menikmati perjalan, tiba-tiba supir angkot mengerem mendadak. Adelina dan Kinara jatuh di lantai angkot. Ternyata ada dua orang pemuda yang memakai seragam sama seperti mereka berdua. Adelina bangkit, duduk kembali sambil membersihkan dengkulnya yang terkena pasir dari lantai angkot. Saat melihat dua pemuda itu, Adelina melenguh kesal. Kinara melambaikan tangan polos ke arah mereka berdua. “Adel, Nara?” Anggara kaget melihat dua gadis itu juga ada di dalam angkot yang sama. Arjuna melambaikan tangan membalas sambil tersenyum lebar ke arah dua wanita itu. “Kalian terlambat juga?” tanya Adelina. Arjuna melepas tas dari punggungnya. “Anggara biang keroknya, susah sekali dibangunkan." “Kayanya kalian berdua jodoh deh,” Adelina menatap wajah Kinara dan Anggara bergantian. “Maksud lo?” Anggara tidak terima. “Eh, Del, mata gue masih sehat walafiat. Siapa juga yang mau nikah sama cewek yang bentukannya kaya Nara gini.” Tawa Arjuna lepas. “Gini-gini kan sahabat lo juga.” Kinara memanyunkan bibirnya, menatap wajah Anggara dengan tatapan kesal. “Lo pikir gue mau nikah sama cowok murah kaya lo?” “Apa lo bilang? Cowo murah?” Arjuna menahan tangan Anggara. Kalau tidak mereka berdua bisa baku hantam di dalam angkot ini. Mereka berempat sudah bersahabat sejak SMP. Dan selama itu juga Anggara dan Kirana tidak pernah bisa akur. Selalu saja terjadi pertengkaran di antara mereka berdua. Angkot berhenti. Mereka sampai di gerbang sekolah. Anggara, Arjuna, dan Adelina sudah turun. Mereka menunggu Kinara yang mencari cincin besi harga seribuan miliknya. “Ayolah, Ra. Kita bisa telat nih!” rengek Adelina. “Iya, sabar. Itu hadiah dari Pak Mamang. Gue udah janji bakal jaga pemberian itu.” Adelina mengehela napas. Pak Mamang itu bukanlah pacar atau saudara Kinara. Pria itu adalah penjual bakso yang paling dekat dengan Kinara. Ia memberikan cincin besi seribuan itu kepada Kinara sebagai hadiah ulang tahunnya. Dan itu pun satu tahun yang lalu. Anggara menoleh ke belakang. Ia melihat gerbang mulai ditutup Pak Nuri. Anggara buru-buru berlari. “Pak tunggu Pak, tunggu!” Sia-sia saja. Anggara terlambat, pintu gerbang sudah tertutup. “Ketemu.” Dengan bangganya Kinara menunjukkan cincin itu sambil tersenyum kepada Arjuna dan Adelina. Adelina tidak percaya melihat Kinara. Rasanya memilih Kinara menjadi sahabatnya selama hampir enam tahun ini merupakan keputusan terbodoh dalam hidupnya. “Ya sudah ayo. Kita harus berdiri di sana, menunggu kedatangan Bu Bertha yang anggun.” ujar Arjuna. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD