ESTU POV
Aku menarik nafas panjang, melirik ke arah Papa yang sedang tertidur di kursi tunggu. Lalu, aku melihat keadaanku, parah, nyeri terasa disekujur tubuhku dan kepalaku pening.
Harusnya, saat tasku dijambret tadi, aku langsung melepaskannya, bukannya mempertahankannya sehingga aku malah ikut terseret di aspal. Lebih baik kehilangan barang kan daripada kehilangan nyawa? Dan aku yakin, Papa lebih suka mengeluarkan uang untuk beli HP baru dan segala sesuatu baru daripada bayar biaya rumah sakit.
"Pa!" Panggilku dengan suara parau.
Papa membuka matanya, berusaha fokus lalu menatap ke arahku.
"Kenapa sayang? Kamu mau apa Kak?" Tanya Papa.
"Minum Pa."
Papa mengangguk, bangkit dari kursi, mengambil gelas berisi air lalu mengarahkan sedotannya kepadaku.
"Yang bawa Estu ke sini siapa Pa?" Tanyaku. Aku melihat tas ranselku ada di sofa ruangan ini.
"Gak tau, Papa gak nanya ke suster. Emang kamu kenapa sih Kak?"
"Gak kenapa-napa kok Pa."
"Kalo gak kenapa-napa, kamu di rumah! Bukan di ranjang rumah sakit!" Ujar Papa.
"Mama mana?" Tanyaku.
"Pulang dulu, ambil baju ganti buat kamu, buat Papa juga. Nginep deh kita semua di rumah sakit."
"Iya! Papa tidur di sofa deh!"
"Eh sorry! Kamu geser ya! Papa gak mau tidur di sofa! Bedua, itu muat kok kalo kamu geser!" Serunya.
"Jehh?"
Papa cuma nyengir terus mengambil ponselnya, ternyata menelfon Mama.
"Ini anaknya udah sadar, udah bisa becanda. Dijitakin juga gak apa kayanya nih!" Seru Papa.
"Coy!" Sahutku.
"Yaudah udah diparkiran kan? Hati-hati ya jalannya, takut keseleo!" Kata Papa tapi sambil nyengir.
Aku tersenyum melihat Papa. Keluargaku tampak dari luar memang terlihat luar biasa, harmonis dan sempurna. Tapi dalamnya, ada beberapa dari kami yang menutup itu semua dengan kebohongan.
Dari semua ini, yang bisa kusimpulkan tentang hubungan adalah, ada tiga jenis hubungan di dunia ini.
Pertama, hubungan yang baik-baik saja. Kedua, hubungan yang pura-pura baik. Ketiga, hunungan yang dipaksakan baik-baik. Dan, aku gak tahu keluargaku jenis yang mana.
Tak berapa lama, Mama masuk ke ruangan membawa tas besar dan beberapa kantong makanan.
"Wihh! Seru nih, camping kita di Rumah Sakit, kalo bawa tenda boleh gak ya?" Ujar Papa saat Mama membenahi beberapa snack di atas meja.
"Ngaco aja ih!" Kataku.
"Kak, Mama kudu ngasih surat sakit ke kampus gak sih?" Tanya Mama.
"Emang anak sekolahan, WA aja Ma dosen-dosen yang aku alfa-in."
"Ohh okay, siapa aja?"
"Di HP aku, di-notes ada jadwal sama nama dosen, nomor dosen ya ada di kontak." Jelasku.
"Sekarang hari rabu, Mama chat semua dosen kamu sampe sabtu ya?"
"Lama amat?"
"Kita kan gak tau Kak kamu sembuhnya kapan." Sahut Papa.
"Yaudah oke-oke, jangan lupa pembimbing Estu di kantor Ma. Dosen cuma dikit kayanya." Kataku. Mama mengangguk.
Malam hari, Papa sama Mama rusuh rebutan remote TV, aku melihat keduanya yang duduk di sofa sambil tersenyum.
Mama sudah jauh berubah sekarang, aku tahu Mama sudah tidak menjalin hubungan dengan si Megalomen dan aku merasa itu cukup. Aku ingin keluarga ini tetap utuh.
Aku tahu Papa adalah pihak yang paling dirugikan, tapi, selama Papa tidak tahu, aku yakin semua akan baik-baik saja. Papa akan baik-baik saja.
Sementara itu, aku tak pernah bisa melupakan pacar pertamaku, cinta pertamaku yang terpaksa harus karam karena pilihanku. Aku memilih diam, aku hanya bilang ke Papa kalau Ardra gak salah, tapi aku tak menjelaskan lebih jauh. Aku terlalu pengecut untuk menjadi berani dan kehilangan kehidupanku ini.
Aku tahu Ardra tak layak diasingkan, aku mencintainya, sungguh. Tapi, sejak seminggu lalu aku melihatnya bersama wanita lain, aku tahu kalau Ardra sudah menemukan kebahagiaannya yang lain.
Mungkin seperti ini, Aku dan Ardra ditakdirkan seperti ini. Kami sama-sama orang asing, dekat, kemudian menjadi asing kembali. Bahagiaku dan bahagianya bukan dengan cara yang sama. Kita harus berpisah.
Meskipun tak rela ini semua terjadi karena aku ingin keduanya, Ardra dan keluargaku. Tapi, ternyata Tuhan tak mengizinkan itu. Aku harus memilih dan aku memilih keluarga.
Kutarik nafas panjang.
Semoga hidupku baik-baik saja. Dan Ardra, di mana pun ia berada sekarang, aku ingin dia bahagia, cause he deserve it.
***
Tiga hari dirawat, akhirnya aku boleh pulang, jalanku masih pincang-pincang karena ankle-ku sempat geser sedikit, tapi udah gak apa-apa kok.
Mendadak, aku pangin ke gym tempat Ardra diurut dulu dan langsung sembuh. Aku pengin bisa jalan normal lagi, gak pincang-pincang kaya gini.
Di rumah, aku menghabiskan banyak waktu di sofa ruang tengah, selonjoran sambil main HP. Aku buka group kelas dan mereka marah-marah.
Jess:
Lo kenapa udah sembuh si Tu?
Brian:
Iye! Kan kita mau jenguk ihh
Vizar:
Gak asik lo!
Sakit lagi sana!
Me:
Gue belum sembuh
Tapi udah di rumah
Sini ke rumah!
Kalo kelaamaan di RS babeh gue ngeri gue digrepe-grepe
Irfan:
Gue kebiri entar orangnya
Kalo gak gue grepe balik
Jess:
Yee sianjing!
Brian:
Kalo lo di rumah kan gue gabisa godain kalo ada suster cantik huh
Vizar:
Puguh mah kalo di rumah jadi gabisa bikin insta story yang lucu sok-sokan friendship goals gitu ihh bolot!
Me:
Parah lo semua
Firman:
Udah ayok lah caw rumah Estu
Yang mau kumpul di warung babeh sekarang
Me:
Gitu dong
Brian:
Tu, gelar karpet merah ya!
Gue kan mau dateng
Me:
Aku menutup group chat tersebut lalu memanggil Mama yang sedang berada di ruang kerja.
"Kenapa Kak? Mau diambilin makan?" Tanya Mama.
"Engga Ma, temen-temen Estu mau dateng, jenguk. Suguhin apa ya?"
"Delivery ayam geprek aja gih, Papa laper." Papa turun dari tangga, gak pake baju, cuma pake celana pendek, hastagah!
"Mau Kak temen-temennya ayam geprek?" Tanya Mama.
"Mereka mah apa aja mau, apalagi gratisan."
"Udah Ma, pesen aja, Papa dua yaa! Mozarellanya double!" Kata Papa.
Mama kembali ke ruang kerja, hanya sesaat lalu keluar dengan ponselnya, sibuk memesan.
"Temen kamu berapa?" Tanya Mama.
"Lha? Gak tau, sepuluh kali."
"Mama pesen lima belas aja ya?" Kata Mama.
"Iya udah tenang, kalo gak abis, Papa yang makan." Kataku.
"Tjakeps!" Seru Papa.
Aku mengangguk lalu menyenderkan kepala ke Papa yang sudah ada di sampingku.
"Ini luka ditangan jijik banget Kak. Bisa ilang gak sih nanti bekasnya?" Tanya Papa.
"Gak tau. Kalo gak ilang, Estu tutup pake tato ya, boleh?"
"Coy!" Seru Mama.
"Kenapa?"
"Gak usah ditutup, lagian kamu gak mau kaya Harry Potter?" Ujar Papa.
"Harry Potter di jidad, bentuk petir, keren. Lha ini?"
"Bukan masalah bentuk sama letak kak, ini sama-sama bekas luka. Kalo kata meme-meme HarPot kan 'and the scar remind me that the past is real!' gitu Kak, jadi bekas luka tuh ada filosofinya." Jelas Papa.
"Tato juga ada filosofinya."
"Ngeyel mulu ah lo kalo dikasih tau!" Papa menjitakku.
"Fakta itu boss!"
**
Teman-temanku datang membawa buah-buahan, roti dan lain sebagainya, udah kaya lebaran pake di-parcel-in.
"Foto dong Tu!" Vizar ngajak selfie.
Aku langsung tersenyum ke kamera miliknya, beberapa kali foto Vizar pun kembali duduk di karpet.
"Lo kenapa sih bisa celaka gini?" Tanya Brian.
"Katanya mah ditabrak." Jawab Papa.
"Iya, ditabrak." Kataku. Aku memang sengaja gak bilang kalau aku dijambret dan aku melawan, takutnya Papa malah rusuh.
"Dih! Hati-hati mangkanya lo kalo nyebrang." Ujar Jessica dan aku mengangguk.
"Iya tenang, sama Om dia sekarang wajib pake mobil kok. Biar kalo ketabrak, yang ditabrak mobil, bukan anak semata wayang punya Om." Papa nyamber lagi.
Teman-temanku mengangguk.
Lalu akhirnya yang kami tunggu-tunggu datang. Ayam geprek! Mama pesen 15 porsi sementara temenku yang datang hanya Jessica, Brian, Vizar dan Firman. Kebanyang kan lebihnya??
"Kalo pada mau nambah ambil aja ya, ini tante beli banyak banget lebihnya." Ujar Mama.
"Oh siap itu Tante!" Seru Vizar. Emang yaa ini anak satu!
Teman-temanku makan di ruang tengah ini, duduk di karpet tapi aku menarik Vizar agar ia duduk di sampingku. Ada yang mau kutanyakan padanya.
"Jar!"
"Tu? Kok lo ditabrak gak minta ganti rugi sih? Yang nabrak lo kemana dah?" Baru aku mau nanya eh dia nikung pertanyaan duluan.
"Nah gak tau! Om nanya ke suster katanya Estu dateng sendiri, gak sama korban lain. Kalo Estu parah gini gak mungkin kan ya yang nabraknya cuma lecet?" Ujar Papa.
"Iya tuh Om! Masa cuma satu korban doang yang dibawa ke RS, satunya ditinggal." Sahut Brian.
"Gak tau deh. Tapi untungnya yang dibawa ke RS si Estu, bukan yang lain." Kata Papa.
Aku hanya mengangguk, memakan ayam geprek milikku dengan tangan kiri karena yang kanan masih agak ngilu digerakan.
"Vizar!" Aku memanggilnya dengan bisikan. Anaknya langsung menoleh dan memasang tampang heran.
"Apaan dah?" Tanyanya.
"Shhh!"
"Iya apa?" Suaranya ia pelankan.
"Bisnis kakak lo pindah kemana?" Tanyaku.
"Eh??"
"Udah gak di Cimanggu Permai. Pindah ke mana?" Tanyaku.
"Bisnis yang sama Ardra maksud lo?"
"Shhhh!"
"Apa sih? Gak tau gue, jarang nanya ke si Ami." Katanya.
"Tanyain dong!"
"Oke nanti gue tanya yaa!"
"Gitu dong!" Seruku.
"Mau dibagi kemeja brand bapak lo satu ya? Sama jaket jeans!"
"Kalo dapet alamat lengkap, lo dapet kaus, kemeja, jaket sama celana." Kataku.
"Siap!" Vizar tersenyum senang.
Enak udah punya temen gampang disogok gini mah. Semua lancar.
"Katanya lo udah putus sama Ardra?" Tanyanya pelan.
"Cuma pengin tau aja, pengin mastiin dia baik-baik aja, gak tau kenapa gue pengin ketemu dia dari gue masuk rumah sakit." Kataku.
"Butuh celaka dulu yee baru lo nyari dia. Kemaren-kemaren curhat benci karena dia gak bisa dihubungin. Labil lo!"
"Bodo ah! Gue cuma ngikutin kata hati."
"Semoga hati lo gak salah yaa!"
Aku mengangguk lalu melanjutkan menghabiskan makananku, biar bisa minum obat dan tidur tenang nanti malam.
***
TBC
Thanks for reading