Alika sama sekali tidak mengerti mengapa kedua orangtuanya tidak berkata padanya bahwa pria yang dijodohkan dengannya itu adalah Devan teman masa kecilnya? Kenapa mereka menyembunyikan hal itu padanya?
Pikiran Alika berkecamuk.
Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar, ia masih ingat memori di mana saat mereka masih kecil dulu di mana Devan memberikan sebuah kenangan pada satu hari sebelum Devan pergi ke Inggris.
Sebuah kalung kain hitam dan di kalung tersebut terdapat tulisan nama Devan yang berarti itu kalung tersebut milik Alika sedangkan punya Devan, kalung yang sama dengan tulisan nama Alika.
Alika seketika langsung beranjak dari tempat tidurnya, ia melangkahkan kakinya menuju meja belajarnya dan mengambil sebuah kotak yang isinya kalung dari Devan.
Ahlana membuka pintu kamar anak gadinya, ia melihat Alika sedang menatap kalung pemberian dari Devan.
"Kamu lagi apa?" tanya Ahlana basa-basi lalu ia masuk ke dalam kamar anaknya dan duduk di ranjangnya Alika.
Alika menoleh ke arah ibunya sambil tersenyum, lalu ia meletakkan kembali kalung tersebut di dalam kotak dan duduk di samping ibunya.
"Hanya melihat kalung dari Devan,"
Ibunya tersenyum penuh arti. "Teringat Devan?"
Alika mengangguk lalu ia meletakkan kepalanya di bahu ibunya dengan manja. Lalu ia menghembuskan napasnya.
"Alika merasa Devan jauh berbeda dari terakhir Alika lihat saat sebelum dia pergi ke Inggris," ujarnya.
Ahlana mengelus bahu Alika. "Tentu saja jauh berbeda, terakhir kamu lihat dia itu saat kalian masih kanak-kanak. Sedangkan sekarang kalian sama-sama sudah dewasa, kamu tumbuh menjadi anak gadis yang cantik dan Devan juga semakin gagah dan maskulin. Untung saja kamu menjiplak wajah daddy, jadinya cantik. Coba kalau jiplak wajahnya ibu, haduh kamu gak mungkin bisa secantik ini," guyon ibunya membuat Alika tertawa kecil mendengarnya.
Seketika suasana kamar Alika hening, baik ibu dan Alika tidak ada yang membuka suara. Namun setelah itu Alika ingin mengajukan pertanyaan pada ibunya. Banyak sekali, tapi ia tidak tahu harus memulainya darimana.
"Bu, Alika ingin bertanya sesuatu sama ibu,"
Ahlana menaikkan alis sebelahnya, "Kamu mau tanya apa nak?"
"Kenapa daddy sama ibu tidak bilang dari awal bahwa yang kalian jodohkan itu adalah Devan?"
Ahlana mengembuskan napasnya dengan kasar. Entahlah, haruskah ia berbohong dan mengarang cerita mengapa dirinya dan Sven merahasiakannya dari awal padahal bisa saja mereka berdua berkata pada Alika bahwa pria yang mereka jodohkan adalah Devan mantan tetangga mereka dulu.
Bukan hanya mantan tetangga mereka, namun Ayahnya Devan, Dimas dan Sven adalah satu rekan kerja.
"No reasons, sweetheart. Kami hanya saja belum siap memberi tahumu apa yang terjadi pada Devan selama ini."
Alika menjauhkan kepala dari bahu ibunya, menatap ibunya dengan tatapan tanya.
"Maksud Ibu?"
Ahlana benar-benar tidak tahu harus memulainya darimana. Namun, jika ia tidak memberi tahu ia takut nantinya Alika kecewa.
"Sebelum Ibu menjawab pertanyaanmu, Ibu mau tanya, apakah kamu menerima Devan?"
Alika terdiam sejenak. Tentu saja ia mau menerima Devan. Sampai sekarang Alika menunggu kehadiran Devan untuk kembali namun rencana Tuhan dan orangtuanya sungguh diluar dugaannya.
"Iya bu, kan ibu tahu Alika jomblo karena apa?" tanyanya balik membuat ibunya terkekeh.
"Tapi kamu janji sama ibu untuk tidak jijik sama Devan, bisa?"
Alika mengernyit bingung. Jijik? Kenapa harus jijik dengannya?
"Ada sesuatu yang harus kamu ketahui dibalik tampilannya yang menawan, Devan itu gay."
Satu kata itu membuat pertahanan Alika goyah. Sungguh dia tidak percaya dengan semua itu. Devan gay?! Apa ibunya sedang bercanda sekarang?
Alika tertawa renyah, "Ah, Ibu kalau bicara jangan suka gak jelas deh,"
Ibunya hanya diam dan memasang wajah seriusnya. Seketika mulut Alika membungkam. Jika ibunya sudah memasang wajah yang seperti itu berarti Ibunya berbicara tentang fakta bahwa Devan beneran seorang gay dan itu membuat Alika semakin down.
"Tapi kenapa? Maksud Alika jika ibu tahu kenapa Ibu membiarkan Alika akan nikah bersama pria gay? Apakah Daddy juga tahu bahwa Devan seperti itu?"
Ahlana hanya mengangguk saja, respon anak gadisnya yang terkejut membuat Ahlana merasa bersalah menjodohkan Alika dengan pria yang tidak normal. Tapi ia, suaminya, dan kedua orangtua Devan menaruh harapan besar pada Alika untuk merubah Devan.
"Kami menaruh harapan besar padamu, Lika. Karena wanita yang sangat dekat dengan Devan hanyalah kamu."
***
Selama pelajaran dimulai, Alika sungguh tidak bisa berkonsentrasi saat ini mengingat ucapan dari ibunya semalam. Devan gay! Yang benar saja! Alika memang belum pernah bertemu pria gay sebelumnya, namun Devan yang ia temui pada hari itu terlihat sangat normal! Oh astaga memikirkan itu semua membuat Alika frustasi.
"Kenapa sih daritadi diam melamun terus? Sesuatu mengusik pikiranmu?" tanya Kia yang sedari tadi bingung melihat Alika yang hilang konsentrasi di jam kelas bahkan di waktu jam pulang pun sahabatnya itu terlihat murung.
Alika hanya tersenyum, ingin bicara jujur pada Kiara tapi dirinya belum siap. Tapi jika ia memendam rasanya ada sesuatu yang mengganjal apalagi dia bingung dengan sebuah pilihan yang harus ia pilih. Pilihan yang menentukan masa depannya.
"Ki, aku bingung deh. Sumpah."
Kiara menatap Alika dari samping, "Bingung kenapa? Masalah perjodohanmu? Jadi siapa calonnya?" tanya Kiara penasaran.
Rentetan pertanyaan dari Kiara membuat Alika mendengus kasar. Sungguh tidak tahu harus memulainya dari mana. Apakah ia harus jujur saja pada Kiara bahwa perjodohan ini ialah Devan? Bahkan Kiara juga sudah tahu siapa Devan karena Alika sudah menceritakan banyak hal tentang masa kecilnya pada Kiara tentu saja Alika juga pernah menceritakan tentang Devan.
"Ki, kau tahu siapa yang dijodohkan oleh orangtuaku?"
Kiara menggeleng, "Tentu tidak, bodoh! Aku bukan cenayang." Ujarnya membuat Alika tertawa kecil. "Siapa sih? Teman satu kampus kita jangan-jangan." Tebaknya ngawur.
Alika menggeleng keras. "Bukanlah. Dia Devan."
"Siapa lagi itu." Gumam Kiara pelan lalu langkahnya terhenti. Kiara langsung menatap Alika tak percaya. "ASTAGA! JANGAN BILANG DEVAN TEMEN MASA KECILMU?! SUMPAH DEMI APA?!" Kiara histeris spontan, membuat anak-anak di area taman menatap mereka dengan aneh. Sedangkan Alika hanya menutupi wajahnya dengan tas selempangnya.
Kiara langsung menarik lengan Alika menuju tempat duduk di area taman.
"Gimana cepat ceritain! Gak sabar ini."
Saat Alika hendak memulai bercerita, tiba-tiba ada suara menginstrupsi. "Alika?"
Kiara menatap sang empu suara dengan kesal. "Mas taksi online ya? Bentar mas boleh gak dia cerita bentar? Ntar saya kasih bonus." Ucap Kiara.
Saat Alika ingin membuka suara, Kiara menyerocos lagi tapi dengan nada pelan. "Lika, emang kamu udah pesan duluan?"
"Belum," lalu tatapan Alika beralih menatap pria itu. "Maaf, saya belum pesan taksi online,"
Pria itu tersenyum, "Maaf saya bukan supir taksi online mba, saya diberi titah Pak Devan untuk mencari mba ke dalam kampus. Dan fotonya cocok dengan wajah mba."
Supir itu memberikan selembar foto di mana itu adalah foto dirinya yang sedang selfie. Itu foto dirinya yang pernah ia unggah di akun Instagramnya.
Sontak dua gadis itu saling berhadapan tak percaya. Devan menjemput Alika! Seriusan?!
"Gih sana cepetan pergi! Ceritanya bisa kapan-kapan aja." Ujar Kiara sambil mendorong Alika dengan pelan supaya bergerak menuju mobil Devan bersama supirnya.
Alika hanya pasrah saja dan mengikuti langkah supir Devan menuju mobilnya. Di parkiran, terlihat Devan sedang menunggunya dengan memakai setelan jas slim fit yang terlihat gagah, Devan benar-benar sempurna di matanya.
Astaga Alika! Jaga matamu, dia itu gay dan kamu tidak akan bisa mengambil hatinya.
Dari jauh melihat Alika menuju ke arahnya, Devan memberikan senyum manisnya kepada gadis itu membuat Alika terpaku dengan senyuman yang dimiliki Devan.
"Terima kasih sudah mencarinya," ucap Devan sambil memberikan senyum ramahnya kepada supir.
Wait! Berarti senyum itu? Devan bukan senyum kepadanya!?
Alika bodoh! Mata rabunmu itu membuat kesalahan.
Lalu mata Devan beralih kepadanya dan senyum yang tercetak di bibir milik pria itu memudar.
"Masuklah," ujar pria itu sambil membuka pintu mobilnya untuk Alika.
Bagaikan robot, Alika mengikuti perintah Devan tanpa bertanya.
Sepanjang perjalanan Alika hanya menatap luar jendela. Saat ini yang Alika lihat dari pantulan jendela mobil bahwa Devan sedang sibuk dengan gadgetnya saat ini.
"Kamu sudah makan siang?"
Alika mengalihkan pandangannya, "Aku?"
Devan mengangguk tanpa memandang wajah Alika sedikit pun dia benar-benar memfokuskan dirinya dengan gadgetnya.
"Iya kamu, siapa lagi?"
Alika mendesis pelan. Devan yang saat ini sangat jauh berbeda dari Devan yang semalam ia temui. Malam itu Devan sedikit manis tapi kenapa hari ini berubah?
"Siapa tau gadget kamu," ucapnya sarkastik.
Devan menatap Alika sambil mengernyit bingung. "Maksud kamu?"
Alika menggelengkan kepalanya. "Never mind."
"Jadi?"
"Apa?"
"Kembali ke pertanyaan saya tadi."
Alika berpikir sebentar, pertanyaan yang mana sih?
"Aku sudah makan apa belum?"
Devan mengangguk saja.
"Belum."
"Kenapa?" Devan bertanya lagi.
Alika mengedikkan kedua bahunya lalu ia beralih menatap luar jendela mobil.
"Nggak sempat makan di kampus,"
"Baiklah kita makan siang dulu," putus Devan.
***
Setelah makan siang, Devan membawa Alika ke flatnya yang terletak di pusat kota. Namun Devan melihat Alika yang jatuh tertidur sepanjang perjalanan membuat Devan tersenyum tipis.
Devan menepuk kedua pipi Alika dengan pelan. "Hey, bangunlah kita sudah sampai."
Alika membuka matanya, matanya langsung membulat kaget melihat Devan berada tepat di wajahnya, hanya dibatasi beberapa inchi saja.
"Astaga!"
"Kenapa?" Tanya Devan bingung lalu ia menjauhkan wajahnya dari gadis itu.
Alika mengusap wajahnya, "Tidak ada. Refleks."
Devan mengangguk lalu tanpa bersuara ia keluar dari mobil membuat Alika mengikuti alurnya.
Sesampainya mereka di flat Devan, Alika pun baru tersadar bahwa pria itu membawanya ke tempat tinggalnya.
"Kamu ngapain bawa saya ke sini?" Tanya Alika saat Devan duduk di sofa sambil membuka kaus kakinya sedangkan Alika hanya berdiri mematung di depan pintu sambil menatap Devan dengan penuh tanya.
"Jangan banyak tanya, Lika. Duduklah." Ucap Devan dengan tenang.
Dengan langkah pelan ia pun menuju ke arah Devan dan duduk di sofa yang bersebrangan.
Walaupun Devan gay yang notabenenya tidak menyukai wanita, tetap saja Alika harus was-was dengan situasi di sini. Devan juga manusia yang memiliki jiwa setan juga bukan?
"Minum." Devan memberikan sebotol air mineral untuknya dan diletakkan di atas meja tamu berbentuk marble.
Alika mengambil botol tersebut dan langsung meneguknya. Jujur saja ia sangat haus sehabis tidur di mobil Devan tanpa ia sadari.
"Jadi, apa yang mereka katakan padamu? Apakah orangtua ku bilang bahwa aku gay?" tanya Devan spontanitas membuat Alika tersedak minumannya.
Devan langsung menuju tempat Alika dan menepuk punggungnya dengan pelan.
Sialan. Kenapa ia harus bertanya seperti itu sih?!
TBC