Perasaan tidak enak melingkupi, aura mencekam terasa begitu kuat. Naira berkali-kali menelan ludahnya sendiri, duduk membisu di sofa yang tersedia di hotel. Netra cokelat itu memindai isi kamar. Perasaan sunyi datang saat Mala meninggalkannya sendirian di kamar ini. Menunggu yang akan menjamah tubuhnya. Membayangkan adegan-adegan yang akan terjadi membuat Naira bergidik ngeri.
Tidak lama kemudian, pintu dibuka. Naira tergesa berdiri, meremas jemarinya menyalurkan rasa gugup. Naira menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Derap sepatu terdengar semakin mendekat, rasa takut semakin merajai.
“Maaf, Om. Saya belum berpengalaman, sa-saya,”
“Naira?”
Naira seketika mengangkat pandangannya, terpaku melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Saat itu juga air matanya tumpah ruah, getar di tubuh Naira semakin menjadi. “Nugara?”
***
Nugara tak hentinya menatap Naira dengan sorot mata tak terbaca. Pria berwajah Timur Tengah itu lebih senang menatap intens Naira, hingga membuat Naira salah tingkah.
“Kita bisa mulai sekarang kalau kamu mau.” Naira tidak bisa berdiam diri terus. Ini sudah satu jam lewat, Naira harus segera menyelesaikan pekerjaannya.
“Apa kabar?” Sebuah pertanyaan yang basi dan Nugara tidak suka sebenarnya. “Bagaimana kabar Papa kamu?”
Naira membuang pandangannya ke lain arah. “Kita di sini sebagai patner, bukan sebagai teman.”
“Ralat, bukan teman, melainkan sahabat.” Pembawaan diri Nugara begitu tenang, aura jantan menguar begitu kuat membuat bulu kuduk Naira meremang.
“Itu dulu.” Naira menatap Nugara. “Kalau sekiranya kamu mau membatalkan, aku pulang sekarang.” Naira berdiri, ia hendak pergi tetapi Nugara lebih dulu menahannya dengan mencengkeram pergelangan tangan Naira. Sekali hentakkan menarik tangan Naira, membuat Naira terjengkang jatuh di atas pangkuan Nugara.
“Kamu bilang mulai? Sedangkan reaksi tubuh kamu terlalu berlebihan. Baru begini saja sudah tegang, apalagi sampai aku sentuh,” bisik Nugara dengan suara beratnya.
Naira membeku, saraf-saraf otaknya seolah berhenti. Posisi mereka sangat intim, detak jantung Naira pun mulai melambat. Lengan kekar melingkari perut ramping Naira, sebuah kecupan panjang terasa di sepanjang punggungnya yang dilapisi kaos.
“Kenapa kamu menjual diri, Nai?”
Naira menggigit bibir bawahnya, ia menahan gejolak perih yang menendang menyebabkan rasa sesak. Naira menarik napas dalam-dalam, rasanya ingin ia tepis jemari nakal yang menggerayangi tubuh bagian atasnya. Namun apa daya mengingat niat awalnya adalah menjual diri.
“Saya butuh uang.” Naira mati-matian meredam getaran dalam dirinya.
“Kenapa kamu menghilang begitu saja, Nai?”
Air mata yang susah payah Naira tahan, lolos begitu saja. Naira menangis dalam diam.
“Kita di kamar ini bukan untuk saling bertanya kabar. Kita di sini untuk melampiaskan nafsu kamu.”
Nugara menggeram tertahan, emosinya nyaris terpancing karena perkataan wanita yang duduk di atas pangkuannya itu. Nugara marah, karena Naira pergi begitu saja tanpa pamit padanya terlebih dahulu.
Nugara bersahabat dengan Naira sejak mereka duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama, dan saat dirinya menginjak masa puber, cinta pertamanya jatuh pada Naira. Namun sayang, Naira hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Naira yang dulu ia kenal sebagai putri dan selalu tampil memukau, sekarang terlihat menyedihkan dengan wajah yang lesu dan juga tubuh yang kurus tidak terurus.
Nugara membalik tubuh Naira, menindihnya di sofa. “Kamu mau menjual diri, tapi kamu nggak terima disentuh. Bagaimana semuanya akan berjalan?”
Naira menahan tangisannya, menatap Nugara dengan penuh kemantapan. “Sentuh aku, dan selesaikan semuanya malam ini,” pinta Naira dengan nada parau.
Hati Nugara teriris melihat air mata Naira. Apa gerangan yang menimpa Naira selama sepuluh tahun ke belakang ini?
Nugara mengembuskan napas berat, ia menjauhkan diri dari Naira. Duduk bersila, menatap Naira yang sudah sesengukan.
“Apa yang terjadi, Nai?”
Naira menggeleng, menahan air matanya. “Ayo, Gara. Apa susahnya tinggal melakukan itu?”
“Enggak. Saya nggak bakalan melakukan itu sebelum mendengar semua cerita yang menimpa kamu,” tekan Nugara kemudian menyalakan rokok yang ia ambil dari saku kemejanya.
Pupil mata Naira mengecil. “Sejak kapan kamu merokok?” seingatnya, Nugara adalah anak yang baik. Makanya ia mau bersahabat dengan Nugara dulu.
“Sejak lulus SMA.” Nugara menatap Naira tajam. “Sejak kamu pergi tanpa meninggalkan jejak dan malah terdampar di kota kecil ini.”
Naira bangun, ia merapikan rambut panjang kecokelatannya, kemudian mengusap air mata yang membasahi pipinya. “Kalau begitu saya pulang.”
“Kenapa pulang? Bukannya kita belum selesai?”
Naira menyunggingkan senyum sinis. “Saya yakin kamu nggak bisa melakukan itu.” Naira kemudian berdiri, menyambar tas kecilnya.
Nugara ikut berdiri, melingkarkan lengannya pada d**a Naira. “Mau saya buktikan?” Nugara menggeser dirinya ke samping, ia merunduk menjilat leher jenjang Naira, meninggalkan bercak merah di sana. Nugara membalik tubuh Naira agar menghadap padanya. “Jangan pernah memohon berhenti, karena kamu yang menjual diri kamu pada saya.”
Setelah mengatakan itu, Nugara merunduk, mencium bibir mungil Naira secara brutal. Yang Naira lakukan hanya pasrah sembari memejamkan mata. Berharap pekerjaan nistanya berakhir cepat.
**
Naira bangun tertatih memunguti pakaiannya yang berceceran. Naira berkali-kali mengusap air matanya kasar. Area kewanitaannya terasa perih, belum lagi tubuhnya yang terasa lemas. Nugara benar-benar melakukannya, menyetubuhinya secara brutal. Bahkan Naira lupa berapa kali Nugara memasukinya saking seringnya.
Naira masuk ke kamar mandi, berjalan pelan menuju tempat shower. Naira mengguyur tubuhnya di sana, tidak ada gurat penyesalan, hanya ada raut wajah datar sebagai wujud betapa hancur dirinya. Naira tidak lagi menangis, ini jalan yang ia pilih. Segala resiko akan ia tanggung, pahit, pedih, dan gelap. Karena manis tidak mungkin masuk dalam salah satu opsi.
Naira mandi saat itu juga, mengenakan handuk yang disediakan di sana, lalu memakai kembali pakaiannya. Naira sudah rapi, hanya pakaiannya yang sedikit kusut. Naira terkesiap saat membuka pintu mendapati Nugara berdiri tanpa ekspresi menatapnya tajam.
“Bayaran kamu sudah saya transfer,” ucapnya dengan nada datar.
Naira mengangguk, sekilas menatap Nugara. “Terima kasih.”
“Mau saya antar?”
Dengan cepat Naira menggeleng. “Nggak usah, saya bisa sendiri.”
“Tadi saya nggak pakai pengaman.”
Wajah Naira memanas, ia mendorong Nugara agar minggir tidak menghalangi jalannya. Naira berjalan cepat menuju sofa tempat ia menyimpan tasnya. “Saya pamit dulu.”
“Saya lebihkan uang bayaran kamu, jaga-jaga kalau sampai kamu hamil ada biaya buat aborsi.”
Naira terperenyak mendengarnya. Bahkan hamil saja belum tentu, dan Nugara dengan entengnya mengatakan itu. Siapa sebenarnya lelaki ini? Apakah dia Nugara sahabatnya di masa lalu? Atau dia adalah setan jelemaan Nugara sahabatnya? Mengapa ia tidak mengenali satu pun sifat Nugara yang dulu?
“Saya nggak akan hamil,” tukas Naira.
“Bagus, karena saya sudah menikah.”
Lutut Naira yang sudah lemas semakin lemas mendengar pernyataan Nugara. Sudah menikah? Naira tersenyum kecut.
“Dan saya nggak peduli,” pungkas Naira.
“Ikut saya ke Jakarta, kamu nggak perlu menjual diri. Kamu bisa menjadi simpanan saya di sana.”
Naira tersenyum kecut, menatap sengit pada Nugara. Naira berlalu dari sana tanpa sepatah kata pun. Dadanya tiba-tiba berdenyut sakit, membuatnya sesak entah berasal dari mana rasa sakit itu.
***
Naira menangis sesengukan dalam dekapan Mala, ia menumpahkan semua rasa yang terasa mencekiknya. “Jadi, atasan Heru itu sahabat lo waktu masih di Jakarta dulu?” tanya Mala yang diangguki oleh Naira.
Naira mengangguk. “Dia berubah, Mal. Gue kira dia akan melindungi dan menghentikan keputusan gila gue, tapi ternyata dia malah melakukan itu secara brutal dan berkali-kali.”
Mala meringis, mengusap punggung sahabatnya yang bergetar hebat. “Lo pakai pengaman tapi, kan?”
Naira melepaskan diri, menggeleng pelan membuat Mala refleks berdecak, menepuk keningnya tak habis pikir. “Seingat gue tadi udah ngingetin lo berkali-kali buat pakai pengaman. Resikonya tinggi banget, Nai. Lo bisa hamil, lebih parah lagi bisa tertular penyakit kelamin yang dia idap.”
Naira semakin menangis. “Gue udah ngingetin, tapi dia malah bilang rugi rasanya dia udah bayar puluhan juta harus pakai pengaman.”
“Gue bilang apa, Nai ... jangan gila, jangan gila!” suara Mala sedikit meninggi. “Gue tuh sayang banget sama lo. Dari zaman kita pontang-panting banget nyari duit, usaha kecil-kecilan kita juga nggak pernah maju. Gue nggak pernah mau lo terlibat prostitusi! Resikonya gede banget, Nai.”
Naira terisak. “Semua demi Papa, Mal. Gue juga nggak mau ngelakuin hal ini kalau bukan karena Papa!”
“Tapi Papa lo nggak akan senang kalau tau fakta anak kesayangannya menjual diri demi dirinya.”
Naira menjambak rambutnya yang masih basah. Naira keluar dari hotel pukul tiga pagi, Mala menjemputnya dan langsung membawanya ke kosan Mala.
“Gimana? Nyesel, kan?”
Naira menggeleng, menatap Mala tajam. “Gue nggak pernah nyesel kalau itu urusannya buat memperjuangkan bokap gue. Bagi gue nggak ada yang lebih penting dari bokap, bahkan keperawanan gue nggak ada artinya dibanding kesehatan bokap.” Naira berdiri. “Antar gue ke atm. Gue mau beli makanan kesukaan Papa sama lunasi hutang-hutang yang numpuk.”
Sekali saja dirinya menjual diri, dan untuk selanjutnya ia akan kembali seperti semula.