2. Help Me!

1039 Words
Bagaikan bodyguard yang mengawal seorang putri Sultan, si botak itu selalu membayangi keberadaan Siti. Tak terpisahkan. Di mana ada Siti, di situ ada si botak. Hal ini membuat keberadaan si botak dalam hari-hari Siti terkesan heroik. Bila mereka berdua bertemu dengan seorang penulis fiksi yang sedang butuh inspirasi, pastilah penulis itu akan menuliskan kisah Siti dan si botak dalam nuansa yang diromantisasi. Tentunya, si penulis akan mati-matian merevisi penampilan si botak sebagai sosok tampan dengan tinggi di atas 180 cm, berbadan atletis dengan pahatan six-pack abs, dan jago bela diri. Seolah ini penampilan standar untuk tokoh utama pria, apa pun latar belakangnya, baik dia seorang pangeran, pengusaha kaya, atlet terkenal, artis, maupun seorang bodyguard. Mungkin saja penulis itu akan memberi judul “p*****r Kesayangan”, atau semacamnya. Judul yang pastinya akan sangat dibenci oleh Siti, dengan berbagai alasan. Satu karena dia sangat membenci si botak yang membuatnya tak bisa menyelinap keluar. Dua, karena Siti bukanlah p*****r dan tak akan pernah menjadi p*****r. Celaka! Ternyata Tante Su telah menyiapkan tukang pukulnya untuk berjaga di lobi agar aku tak bisa kabur darinya. Siti membatin dalam hati. Siti pun berbalik untuk kembali ke lift, menutup wajahnya dengan rambut, memakai kembali sepatu hak tingginya, dan pura-pura berjalan tenang agar tidak mencolok. Namun, semua upaya pencegahannya sia-sia karena kedua tukang pukul itu sudah melihatnya dan mulai mengejarnya. Siti pun mempercepat larinya agar bisa masuk ke lift yang sudah akan menutup. Beruntunglah dia karena masih bisa ikut masuk ke lift bersama dua orang yang lain. "Lantai berapa, Nona?" tanya bellboy di sebelah tombol lift. Siti tidak langsung menjawab pertanyaan bellboy. Nafasnya masih tersengal-sengal karena tadi berlari sekuat tenaga. Agak lama termenung dan berpikir, lalu menyebut angka sepuluh, lantai dimana kamar Sang Tuan Arab tadi berada. Ya, tidak ada pilihan lain selain meminta tolong padanya. Setidaknya Tuan Arab tadi tahu bahwa dia bukanlah orang jahat. Siti pun berpikir, saat ini mungkin dia beruntung karena kebetulan dia bertemu dengan pria yang tidak tertarik dengannya. Tapi keberuntungan hari ini akan sia-sia bila dia tidak berhasil lepas dari jeratan Tante Susan. Tak mungkin pula dia kembali ke desa karena Pak Lik Sarjo akan menemukannya dan memaksanya kembali ke Tante Susan. Dia harus menemukan cara tercepat agar tidak terjebak dalam masa depan yang kelam. Masa depan yang tidak akan diharapkan oleh wanita manapun. *** Tok tok tok...!!! Siti mengetuk keras pintu kamar Tuan Arab karena saat ini hidupnya sangat bergantung pada hal itu. Raut mukanya terlihat panik dan takut. Matanya melihat kanan-kiri serta mengecek ke arah lift dan tangga darurat. Sementara masih aman. Apakah tukang pukul Tante Susan tahu dia berada di lantai sepuluh? Kalau kepala mereka tidak kosong, tentu mereka akan menjadikan kamar Tuan Arab sebagai salah satu titik pencarian. Walaupun Siti menyadari hal ini, dia masih tetap berspekulasi dengan pemikiran lain: kalau mereka cerdas, tentu saat ini mereka tidak akan jadi tukang pukul di tempat haram itu. "Sir, tolong buka pintunya ...!" seru Siti dengan terengah-engah, ketakutan, dan panik. Jantungnya berdetak lebih kencang karena tadi berlari dalam keadaan panik. Tak lama, pintu kamar hotel pun terbuka, menampakkan wajah kelelahan si empunya kamar. "Apalagi yang kamu mau? Kamu sungguh menggangg— ...." "Saya benar-benar butuh bantuan, Sir!" desak Siti memotong omelan sang Tuan. Dia segera memasuki kamar dan menutup kembali pintunya setelah memastikan tak seorang pun melihatnya masuk. "Beberapa orang sedang mengejar saya, Sir! Mereka akan membawa saya kembali ke rumah bord*l." Sungguh, hari ini sang Tuan benar-benar kesal. Dia jauh-jauh datang dari tanah airnya ke Jakarta untuk berbisnis, bukannya mencari masalah di negeri orang. Apalagi dengan urusan berbau prost*tusi. Gadis ini benar-benar membawa masalah dengan kembali ke kamarnya. Terlebih lagi, dia tidak suka gaya Siti dalam meminta tolong yang lebih terdengar seperti ... memaksa ... dan memerintah. Satu pikiran sederhana tebersit di benaknya. Mungkin masalah akan selesai jika dia memberikan sejumlah uang ke gadis ingusan di hadapannya. "Kamu mau berapa? Sebutkan saja," ujarnya kesal seraya mengambil dompet dari saku celananya. Sang Tuan awalnya bukan tipe orang yang suka menyelesaikan segala urusan dengan uang, tapi dia harus mengakui bahwa uang memang punya kekuatan besar memudahkan segala persoalan. Siapa manusia di dunia ini yang tak suka uang? "Sorry ...?" tanya Siti karena kurang faham. Namun dia segera tahu ke arah mana pembicaraan ini tatkala sang Tuan membuka dompetnya. Seketika itu juga, Siti merasa sangat terhina. "Sir, tolong pahami kesulitan saya. Saya sedang dipaksa untuk menjadi wanita penghibur. Mereka ak—" "Harusnya kamu minta tolong ke Polisi! Bukan ke aku!" bentak sang Tuan dengan ketus, tanpa memberi kesempatan pada Siti untuk melanjutkan kalimatnya. "...." Siti sadar kalau dia memang tak punya apa pun yang bisa dijadikan nilai tawar agar sang tuan mau menolongnya. Dia berpikir keras. Saat ini, segalanya terdengar lebih baik daripada harus menjadi w****************a dan kehilangan harga dirinya. Hingga akhirnya, dia dengan nekat berkata, "Please, Sir ... Saya ... Saya akan memberikan hidup saya kepada Anda!" serunya, yang membuat orang sangat kaget termasuk dirinya sendiri. "Saya akan mendedikasikan seluruh sisa hidup saya untuk mengabdi kepada Anda." Nekat. Tapi memang hanya itu yang dia miliki saat ini. Matanya memandang tajam sang tuan, penuh harap, agar sang tuan mau menerima tawarannya. "...." Sang tuan tak berkata apapun. Dia memalingkan muka dari tatapan tajam Siti yang mengintimidasi. Sangat lucu mengingat postur tubuh mereka berkebalikan. Mana mungkin seekor kelinci mengintimidasi seekor harimau? Sang tuan memikirkan apa yang dikatakan Siti, sambil memastikan apakah gadis kecil di hadapannya tahu apa yang dia katakan. "Hmm bagaimana aku harus menjelaskan ... aku sudah punya empat istri. Kamu tahu? Aku tidak mungkin menambah jumlahnya," balas sang tuan yang menterjemahkan perkataan Siti dengan hal lain di pikirannya, "Dan tentunya, mereka semua luar biasa cantiknya," tambahnya karena ingin Siti menyadari dimana posisinya. Jangan pernah mengganggu pria beristri empat. Apalagi keempat istrinya jauh lebih cantik daripada si wanita yang menggoda. Begitulah yang terpikirkan di benak sang Tuan saat ini. Siti sangat terkejut mendengar jawaban sang tuan. Tentu saja Siti tahu bahwa pria di depannya sudah menikah, karena terlihat sudah berumur. Namun, bagaimana bisa perkataannya disambungkan dengan perihal istri? Apakah yang dia katakan tadi seolah terdengar seperti lamaran? *** Note: Hi, Pembaca! Terimakasih telah memilih buku ini untuk dibaca. Jangan lupa tap love sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya, ya! Makasih. I love you all! Semoga semua sehat-sehat, ya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD