12. Kegelisahan Madam Aisha

1926 Words
"Ini seragam harian dan ponsel untuk berkomunikasi kala bekerja. Bisa digunakan untuk urusan pribadi di luar jam kerja." Ms. Aziza menyodorkan sepaket pakaian seragam panjang berwarna hitam, penutup kepala dan celemek putih. Siti mengamati sebuah smartphone berlogo apel yang sudah digigit. Warna gold, keluaran tahun ini, model yang sama dengan para pelayan lain. Dilengkapi case berwarna maroon dengan name tag 3D yang terukir cukup besar. Case inilah yang membedakan ponsel para pelayan agar tidak tertukar. "Terimakasih." Siti menjawab dengan formal. "Saya akan menjaga barang-barang ini dan memakainya untuk mendukung pekerjaan saya." Ms. Aziza tersenyum puas. "Ingat, kami memang memfasilitasi kalian dengan gadget. Namun, jangan dipakai untuk bermain pada saat jam kerja. Di sini, pelayan yang melanggar, akan segera ditindak tegas." "Baik, saya mengerti." "Baiklah. Madam Aisha memberitahuku bahwa kamu harus menemui beliau lima belas menit lagi. Cepatlah ke sana setelah mengganti pakaianmu dengan seragam." Ms. Aziza menutup penjelasannya dengan memberikan lembar jadwal kepada Siti untuk didiskusikan dengan Madam Aisha. Siti segera melaksanakan perintah Ms. Aziza karena tidak ingin terlambat menemui Madam Aisha. *** Saat ini, Siti sudah berada di kamar Madam Aisha sebagaimana telah diagendakan sebelumnya. Dia sudah memikirkan apa saja yang kira-kira akan ditanyakan oleh sang Madam. Dia juga berlatih bagaimana bila majikannya bertanya tentang hal-hal yang tak boleh dia bocorkan kepada siapa pun. Tentang kontraknya dan bagaimana proses dia dibawa ke sini. Namun, yang didapati oleh Siti, justru situasi yang sangat mengejutkan. Dia merasa canggung karena Madam Aisha menyambut dirinya sebagaimana seorang tamu, bukan pelayan atau calon pengasuh anaknya. Mereka berdua duduk bersebelahan di Sofa. Sementara itu, di meja disediakan kue-kue kecil dan teh panas, seolah-olah Madam Aisha telah mencari tahu sebelumnya, bahwa Siti sangat menyukai kue-kue tersebut. Namun, sebagaimana biasanya, Siti tetap berusaha untuk tidak menampakkan kecanggungan dan tetap bersikap tenang. Walaupun dalam hati dia merasa akan ada halilintar yang menyambarnya hari ini. "Terimakasih telah datang kemari tepat waktu. Silakan cicipi kue dan tehnya! Aku harap kamu suka karena ini buatan sendiri," kata Madam Aisha dengan senyumannya yang seperti biasa, secantik bidadari. "Tapi mungkin, rasanya tak seenak buatan Alya." Walaupun sudah kenyang dengan sarapannya pagi tadi, Siti tetap mengambil sekeping financier karena terlihat menggoda. Lagipula, dia merasa tak enak bila harus menolak kebaikan Madam Aisha yang telah repot membuatnya sendiri, walaupun beliau sedang hamil. Ternyata memang benar, rasanya memang tak seenak buatan Alya. Akan tetapi, Siti tetap menikmatinya karena pada dasarnya dia tidak terlalu pemilih soal makanan. Asal tidak beracun, apa pun bisa dia makan. "Apakah kamu sudah bertemu dengan Sophia?" tanya Madam Aisha seraya meminum teh Darjeeling yang berbau harum. Siti berhenti sejenak, mengunyah kue dan menelannya, lalu menjawab pertanyaan sang madam. "Iya. Nona Sophia sangat cantik dan periang." Madam Aisha tertawa kecil mendengar jawaban formalitas Siti. Madam Aisha tahu bagaimana Sophia akan memperlakukan semua orang yang berhubungan dengan calon adiknya. Dulu, sebelum Madam Aisha hamil, Sophia bersikap biasa saja kepadanya. Namun, semua berubah setelah kehamilannya. Sophia selalu membuang muka bila bertemu dengannya. "Dia tidak menyukaimu, bukan?" tanyanya kepada Siti sambil memaksakan diri tersenyum walaupun dia sedih. Matanya yang sayu dan berbulu lentik menampakkan tanda kesedihan yang kasat mata. "Anak itu tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan calon adiknya." "...." Siti tak menjawab karena sang Madam membicarakan keadaan Nona Sophia yang sebenarnya. Madam Aisha pun melanjutkan, "Dia selalu merasa gelisah. Takut adiknya akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari dia di rumah ini." "Mungkin hal seperti itu wajar untuk anak seumuran Nona Sophia," bela Siti yang dia sendiri hampir tak percaya kata-kata bijak tersebut keluar dari mulutnya untuk membenarkan kelakuan sang Nona kecil. "Sejujurnya, saya juga tidaklah memahami bagaimana psikologis anak. ini hanya dugaan saya semata," tambahnya agar tidak terkesan menggurui. Madam Aisha tersenyum mendengar sanggahan Siti. Sesungguhnya dia hanya ingin tahu respon Siti terhadap sikap manja Sophia. Memang Siti terlihat tidak berpengalaman dalam pendidikan anak. Namun, Madam Aisha lega karena Siti menyikapi kenakalan anak kecil dengan penuh maklum, tanpa menghakimi. Saat ini beliau hanya berharap bahwa semua yang dikatakan Siti adalah benar-benar isi hatinya. Bukan sekadar untuk kesopanan saja. Madam Aisha memegang kedua tangan Siti erat-erat. Sesungguhnya dia prihatin akan keadaan Siti saat ini. Entah apa yang membawa gadis secerdas dan secantik dia untuk bekerja sebagai pelayan di rumah ini. Dia berharap suatu hari Siti akan keluar dari rumah ini dan mempunyai kehidupan yang lebih baik. Namun, di sudut hatinya yang lain, dia berharap Siti bersedia tinggal di sini selamanya. Sungguh sesuatu yang kontradiktif. "Apakah kamu berencana untuk pergi dari sini dalam beberapa tahun mendatang? Apakah kamu punya mimpi yang ingin kamu capai?" "...." Siti terdiam, memikirkan jawaban yang terbaik. Mana mungkin Siti terus terang berkata bahwa dia akan selamanya di sini karena hidupnya adalah milik Tuan Khalid. Mencoba menerka apa yang ada di kepala Madam Aisha yang saat ini terlihat sangat emosional, Siti pun merasa mendapat jawaban yang lebih tepat. "Saya akan tetap bekerja disini sampai tidak dibutuhkan lagi disini ...." Siti akhirnya menjawab tanpa berbohong. Ya, itu hanya sebagian kecil dari kontraknya dengan Tuan Khalid yang aman untuk dikatakan kepada orang lain. Bukankah orang yang mendengarnya akan berpendapat bahwa Siti menjawab dengan jawaban yang seharusnya diucapkan seorang pelayan yang setia kepada majikannya? "Lalu, bagaimana dengan pernikahan? Bukankah nantinya kamu ingin berkeluarga? Apakah kamu sudah punya calon suami?" kejar Madam Aisha, menguji pernyataan bijak Siti yang sangat tidak biasa. Biasanya, para pelayan baru hanya berniat menyelesaikan kontrak mereka selama dua atau tiga tahun saja karena pada umumnya mereka berasal dari luar Almaas. Siti menarik nafas panjang. Walaupun dia merasa pertanyaan Madam Aisha bersifat pribadi, tapi dia merasa hal itu wajar. Madam Aisha ingin tahu berapa lama waktu kontrak Siti sebenarnya. Ini pertanyaan yang harus dijawab dengan hati-hati. Siti memang tidak diberitahu bagaimana harus menjawab pertanyaan tentang berapa lama waktu kontrak dengan Tuan Khalid. Bila Tuan Khalid telah menyebutkan berapa lama waktu kontrak Siti kepada Madam Aisha, dan bila Siti saat ini menyebutkan hal yang berbeda, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Akhirnya, Siti memilih jawaban yang aman untuk pertanyaan Madam Aisha. "Saya belum punya calon suami dan saya tidak akan menikah bila masih dalam masa kontrak," jawab Siti santai, agar terdengar wajar dan masuk akal. Namun, Madam Aisha terlihat tak cukup puas dengan jawaban Siti. Kemudian berkata lagi, "Kamu dekat dengan Ahmed bukan? Aku bisa membantumu kalau kamu menginginkan." Lagi-lagi, sebenarnya sudah sangat banyak pernyataan serupa ditujukan kepada Siti mengenai hubungannya dengan Ahmed. Bagi Siti, ini seperti sudah seratus kalinya, hingga rasanya dia benar-benar bosan. Bosan bukan karena dia tidak menyukai bila hal itu menjadi kenyataan. Namun, lantaran dia mengasihani Ahmed—pria yang nyaris sempurna itu—bila harus menikahinya. "Tuan Ahmed akan menikah dengan wanita yang sederajat dengan beliau, bukan pelayan yang rendah seperti saya." Jawaban Siti memberikan pembatas dan pengingat bahwa Madam Aisha sudah harus berhenti melakukan serangannya. Sang Madam akhirnya meminta maaf kepada Siti atas kelancangannya dalam mencampuri urusan pribadi Siti. Padahal, baru kemarin mereka bertemu. Ternyata, seorang majikan yang berpendidikan, bisa juga bersikap tidak profesional. "Maaf, aku hanya ... aku hanya ingin kamu tinggal lebih lama disini," kata Madam Aisha sambil meminta maaf. "Sejujurnya, aku ingin kamu terus menemani anakku nanti sampai ia cukup umur." Air mata pun menetes dari mata Madam Aisha yang indah. "Maafkan aku karena sangat egois." Madam Aisha sejujurnya meminta maaf kepada Siti. Namun, beliau tidak merasa melakukan hal yang salah karena dalam hati sangat yakin, wanita mana pun yang ada di posisinya saat ini akan melakukan hal yang sama sepertinya. Suatu hari nanti, Siti pasti akan mengerti mengapa beliau melakukan hal ini. Suasana hening beberapa saat. "Tuan Khalid adalah orang yang dingin," ungkap Madam Aisha memecah keheningan. "Beliau memberikan semua fasilitas mewah untuk Sophia, tetapi tidak ada kasih sayang untuk putri kecilnya. Bisa jadi, mungkin karena dia adalah anak perempuan—bukan anak lelaki." Perlahan, air mata membasahi pipi wanita muda yang terlihat sangat keibuan itu. Mungkinkah karena ketidakseimbangan hormon saat kehamilan hingga membuat emosinya menjadi fluktuatif seperti saat ini? "Aku takut, anakku akan mengalami hal yang sama. Kamu tentu sudah mendengar rumor tentang jenis kelamin calon bayiku bukan? Kamu tentunya juga tahu mengapa Madam Marwa dan Madam Shereen berada disini, bukan?" Jemari lentik Madam Aisha, mencoba menghapus air mata dari pipinya. Namun, air mata yang lain, terus berjatuhan. Hal ini membuat Siti ingin memeluk wanita di depannya karena tak tahan melihatnya menangis. Namun, Siti harus menahan diri karena dia takut dianggap tidak sopan. "Setidaknya, aku ingin anakku dicintai. Bila bukan oleh ayahnya, setidaknya oleh pengasuhnya," isak Madam Aisha seolah putus asa. Normalnya, semua wanita akan turut iba dan bersedih atas pengakuan Madam Aisha. Namun, tidak demikian dengan Siti. Dia, entah mengapa, tidak suka dengan prasangka Madam Aisha kepada suaminya sendiri. Merasa ada hal keliru yang harus diluruskan saat ini juga. "Madam, tenanglah. Ini tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin bayi Madam. Di dunia ini hampir semua ayah seperti itu. Para ayah sibuk mencari nafkah. Tuan Khalid bersikap begitu karena terbiasa berurusan dengan karyawan dan rekan bisnisnya," ujar Siti membela tuannya. "Tuan Khalid adalah suami yang baik. Dia suami yang setia kepada istri-istrinya. Dia juga memperhatikan anak-anaknya dengan caranya sendiri. Bukankah keberadaan Mi dan saya disini adalah bentuk perhatian beliau pada anak-anaknya?" "Saya mengerti di dunia ini memang tidak ada yang sempurna. Madam tentu lebih mengenal kekurangan dan kelebihan Tuan Khalid," tambah Siti. "Berdoalah kepada Tuhan agar Tuan Khalid bisa memiliki waktu luang untuk bisa bercengkrama dengan keluarganya—seperti yang Madam inginkan." Mendengar penuturan Siti, sebenarnya Madam Aisha ingin marah. Berani sekali pelayan baru ini menasihatinya. Dia bahkan belum menikah dan punya anak. Tapi mau tidak mau, dia mengakui kebenaran kata-kata Siti yang seolah menyudutkannya dan mengatakan bahwa dirinya adalah wanita yang kurang bersyukur. Yang tidak diketahui oleh Madam Aisha adalah, saat ini Siti juga sebenarnya sudah sangat menahan diri. Bila wanita di hadapannya ini bukanlah istri dari tuannya, dia yakin akan mengeluarkan kata-kata yang lebih pedas lagi. Dia bosan dengan perilaku wanita kaya yang bersikap seolah-olah sangat menderita. Mereka menginginkan uang, waktu, dan perhatian lebih dari suaminya. Apakah mereka mau bertukar hidup dengan istri orang miskin? Memangnya mereka mau hidup berhemat setiap hari? Mengerjakan sendiri semua pekerjaan rumah yang berat? Memikirkan besok mau makan apa? Harus memilih antara membeli buku pelajaran anaknya atau untuk makan? Kalau mereka merasa hidupnya kurang nyaman, itu salah mereka sendiri karena tidak bisa memakai fasilitas yang diberikan oleh suaminya. Tidak tahukah mereka, bahwa hidup menjadi orang miskin maupun kaya tetap saja harus pandai bersyukur? Karena pada dasarnya, hidup hanya akan terasa nikmat bila disyukuri. Melihat Madam Aisha seperti ini, mengingatkan Siti akan seseorang yang dulu pernah ada dalam hidup Siti. Namun sayang, saat itu Siti masih belum mempunyai pengalaman hidup yang cukup, sehingga Siti tak pernah mengutarakan pemikirannya yang sekarang. Saat itulah Siti menyadari kalau luapan emosi di dadanya adalah sesuatu yang dia tahan begitu lama. Kebetulan sekali, Madam Aisha menjadi orang yang kurang beruntung hari ini karena menjadi pelampiasan emosi Siti. Dia lalu meminta maaf atas perbuatannya. "Maafkan atas kelancangan saya," katanya sambil menunduk sebagaimana seharusnya sikap seorang pelayan. "Saya tidak seharusnya bersikap sok tahu, seperti tadi." Madam Aisha tersenyum. Bila ada orang-orang yang sangat mudah memaafkan, Madam Aisha adalah salah satu dari golongan tersebut. Memiliki pelayan yang tidak selalu mengatakan iya atau setuju kepadanya sepertinya akan jadi sebuah tantangan tersendiri baginya. Beliau lalu menggenggam tangan mungil Siti, memandangnya penuh makna. Hanya saling memandang, membuat Siti terpana, malu, lalu tertunduk salah tingkah. Bingung harus bagaimana merespon suasana seperti ini. Mengerti ketidaknyamanan Siti, beliau tersenyum maklum, melepaskan genggaman tangannya agar gadis muda di hadapannya tidak merasa kikuk. Kemudian, Madam Aisha berjalan ke brankas dan mengeluarkan sebuah kotak yang cukup berat, "Kumohon terimalah ini, hadiah dariku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD