PART 8 - MENIKAH

1900 Words
PART 8 – MENIKAH. Arkhan berusaha sedikit demi sedikit mulai mempelajari perusahaan peninggalan sang Papa, tentunya di bantu Citra. Sehingga karena kesibukan nya, ia jarang menemui Nadya. Arkhan mulai bertemu klien dan supplier, memperkenalkan diri jika ia adalah pengganti dari Alm papanya. Citra cukup bangga melihat kegigihan putranya untuk bangkit dari keterpurukan. Sungguh Citra terlalu teledor mempercayai karyawan yang senior, ketika ia mengurus suaminya di Singapura. Justru mereka yang banyak menggelapkan uang perusahaan. Padahal suaminya dulu sudah berbaik hati pada karyawannya. Tak lupa suaminya sering memberi uang bonus untuk ucapan terima kasih bagi mereka yang rajin bekerja. Namun, dasarnya manusia tak pernah puas. Hingga ada kesempatan, ketika pemimpin perusahaan sakit, mereka mulai menjalankan aksi liciknya. Mereka memanfaatkan Citra yang lengah karena harus fokus pada kesembuhan suaminya. “Ini daftar tagihan dari supplier, Arkhan. Mama sudah meminta tim bagian purchase mengumpulkan semua pemasukan dari yang kecil hingga yang besar.” Citra menyerahkan berkas pada putranya. “Ini daftar customer kita. Mama gak tahu mana yang real mana yang palsu. Mama belum sempat cek benar tidaknya laporan dari bagian keuangan.” Kembali Arkhan menerima berkas dari sang Mama. “Terakhir banyak perusahaan fiktif. Entahlah, Mama pusing. Belum lagi tagihan Bank membengkak.” Citra memijit pelipisnya. Memikirkan segala permasalah, membuat kondisi tubuhnya ikut drop juga. Arkhan mengusap lengan Citra. “Mama gak usah khawatir. Aku akan berusaha mencari jalan keluar.” Tanpa perlu menikahi putrinya Abil maulana. Karena kesibukannya itu, terkadang Arkhan harus lama-lama menahan rindu pada Nadya. Walau mereka tinggal di kota yang sama. Waktu Arkhan terasa sempit untuk sekedar bertemu kekasihnya. Namun hari ini, rasa rindunya pada sang kekasih sudah tak bisa dibendung lagi. Setelah mendapat izin dari sang Mama, Arkhan segera bersiap menemui kekasihnya. Ia menitipkan mobilnya terlebih dahulu sebelum Arkhan kembali ke tempat kost-kostannya. Bisa kaget Nadya jika ia datang membawa mobil. Nadya hanya tahu Arkhan seperti dirinya. Dari kalangan biasa, bukan anak seorang pengusaha, apalagi calon seorang pengusaha. Ia berganti pakaian dulu sebelum bertemu sang kekasih. Senyum terus mengembang membayangkan wajah Nadya. Arkhan bergegas menuju kantin tempat Nadya bekerja. Berulang kali melirik jam di lengannya. Ini jam makan siang. Tak apa, Arkhan hanya perlu melihat wajah Nadya sesaat. Ia tak akan mengganggu kesibukan kekasihnya. Mungkin sambil menunggu jam pulang, Arkhan akan pergi ke perpustakaan untuk mengisi waktu. Namun, saat sudah sampai di kantin, ia tidak menemukan Nadya yang biasa melayani orang yang sedang makan siang. Karena bingung, Arkhan menemui Bu Mar si pemilik kantin. “Maaf bu, Nadya kemana ya?” Marsani, seorang ibu berusia lima puluh tahun yang menjadi pemilik kantin tempat Nadya bekerja mendongak, karena ia sedang menghitung pemasukan uang hari ini. “Lho Nadya kan sudah tiga hari gak masuk kerja.” Alis Arkhan bertaut. “Gak masuk kerja? Apa dia sakit atau ....” “Ayahnya yang sakit, dan sedang di rawat di sebuah klinik.” Arkhan mengangguk. Ia memang sudah mengetahui jika ayahnya Nadya sering sakit. Tiba-tiba rasa kekhawatiran Arkhan muncul. Apakah Nadya memiliki uang untuk biaya Ayahnya? Karena Arkhan pernah membantu membayarkan saat ayahnya itu dirawat beberapa bulan lalu. “Apakah di klinik yang sama bu?” Karena Arkhan hapal klinik yang biasa Nadya datangi setiap ayahnya sakit. “Sepertinya sama. Apakah kamu mau kesana nak Arkhan?” “Iya bu, saya permisi.” “Eh tunggu nak.” Marsani mencegah kepergian Arkhan. “Ibu mau titip sesuatu.” Lalu Arkhan melihat Bu Marsani membungkus makanan beserta lauknya. “Ini buat Nadya. Kasihan, dia kalau merawat ayahnya suka lupa makan. Bilang sama dia sekalian, jangan ke kantin dulu. Pastikan ayahnya sehat dan bisa di tinggal ya.” Arkhan menatap bungkusan makanan itu. Miris sekali nasib kekasihnya ini. Dan bisa-bisanya ia melupakan Nadya demi mengejar kebangkitan perusahaan. Sungguh Arkhan harus lebih bijak sekarang. Perduli pada pekerjaan, penting. Tapi Nadya lebih penting dari segalanya. Dengan segera ia menyetop ojek yang lewat, dan menyebutkan klinik yang merawat Ayahnya Nadya. ** Nadya menutup wajahnya cemas. Ternyata kali ini kesehatan Ayahnya menurun drastis. Ya Tuhan, aku gak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Bagaimana jika terjadi hal buruk terhadap Ayah? “Nadya!” Suara yang Nadya kenal mampir di telinganya. Nadya mengangkat wajahnya. Dan saat melihat siapa yang datang, Nadya berdiri. Arkhan melihat keadaan Nadya yang kalut. “Maaf, aku baru pulang. Bagaimana Ayah?” Ditanya seperti itu, Nadya terlihat berkaca. Yang bisa Arkhan lakukan hanya memeluk wanitanya. “Aku takut,” bisik Nadya. Pelukan itu terlerai. Arkhan merangkum wajah Nadya. Mata yang biasa memberikan kehangatan kala menatapnya, kini mengeluarkan bulir bening yang membasah di pipi. Perlahan, Arkhan mengusap pipi itu. Ia tidak akan membiarkan wanitanya menangis. “Ayah semakin kritis. Aku cuma punya Ayah,” isaknya lagi. “Kamu gak perlu takut, aku akan selalu disampingmu.” Nadya membalas tatapan kekasihnya. “Kamu janji gak akan ninggalin aku kan?” Arkhan mengangguk, dengan penuh keyakinan. Senyuman hangat Arkan serasa menguatkan Nadya. Sekarang Nadya yakin jika ia masih memiliki Arkhan. Seorang dokter keluar dari kamar perawatan. “Keluarga Pak Rahim,” panggilnya. Arkhan dan Nadya menoleh. “Bagaimana Ayah saya, dok?” tanya Nadya. “Pak Rahim ingin bertemu anda.” Lalu Nadya dan Arkhan masuk ke dalam. Terlihat Pak Rahim dengan pandangan sayu menatap putri satu-satunya. Nadya segera meraih telapak tangan Ayahnya. “Ayah,” ucapnya sambil mencium telapak tangan Ayahnya. Ayah harus sembuh, ayah gak boleh tinggalin aku. Namun itu hanya tersangkut di tenggorokan Nadya, tak mampu diucapkan karena tergantikan dengan derai air matanya. Nadya lekas menghapus basah pipinya. Ia tak ingin Ayahnya melihat bahwa ia habis menangis. Rahim menoleh ke arah lelaki yang kini berdiri di belakang Nadya. Yang ia kenal sebagai kekasih putrinya. Melihat ada sesuatu yang ingin Pak Rahim sampaikan, Arkhan mendekat. Rahim berusaha tersenyum dengan napas terengah. “Tolong jaga putriku,” lirihnya. Nadya tercekat. Ia menggeleng. “Ayah, jangan bicara begitu. Berjanjilah jika Ayah akan berusaha untuk sembuh.” Dadda Nadya terasa sesak. Ia tidak ingin mendengar kata perpisahan apapun dari Ayahnya. Ayah pasti sembuh. Batinnya seolah menguatkan pada dirinya sendiri. Ayah tak mungkin setega itu membiarkan ia sendiri di dunia ini. Arkhan meraih telapak tangan Pak Rahim. Menggenggamnya erat. “Saya akan menjaga putri bapak. Saya berjanji, saya akan menikahinya sesegera mungkin. Saya ingin bapak bisa menyaksikan pernikahan kami.” Nadya menoleh. Apa? Menikah? Sudut bibir Rahim tersenyum. Ia merasakan sedikit kelegaan, jika putrinya sudah ada yang menjaga. Lalu tanpa banyak bicara Arkhan keluar kamar, meninggalkan Nadya. Nadya tak sempat bertanya akan kemana kekasihnya. Ia lebih memilih mengusap telapak tangan ayahnya, dan memandangi wajah tua itu. Wajah tua yang sudah berusaha mati-matian membesarkan dirinya, di tengah ekonomi yang serba sulit. Apapun dia lakukan demi bisa bertahan hidup di ibukota yang keras ini. Bahkan Ayah sama sekali tidak berniat menikah lagi sejak Ibunya Nadya meninggal. Cinta Ayah terlalu besar pada mendiang istrinya. Nadya selalu berharap memiliki pendamping, seperti Ayahnya. Yang mampu menjaga kesetiaan sekalipun pemilik hatinya telah kembali ke pangkuan sang pencipta. Setengah jam kemudian, Arkhan kembali bersama beberapa orang. Kening Nadya terlipat. Siapa mereka? Dan keterkejutan tampak dari wajah Nadya ketika mengetahui siapa orang yang dibawa Arkhan. Seorang penghulu dan beberapa saksi nikah. “Kita menikah sekarang Nadya. Maaf jika harus begini," sesal Arkhan. Apa? Menikah? Di rumah sakit ini? Kenapa tidak menunggu nanti? “Tap-tapi ....” Nadya tak bisa berbuat apa-apa ketika akhirnya Arkhan menjabat tangan Ayahnya dan mengucapkan ikrar yang terkemas dalam ijab kabul dadakan. Hari itu juga mereka resmi menjadi suami istri. Menikah di bawah tangan. Arkhan memasangkan cincin yang ia beli darurat sebagai simbol mas kawin. Nadya mencium telapak tangan Arkhan yang kini menjadi suaminya. Dan Arkhan perlahan mengecup kening istrinya. “Selamat Nadya, kini tanggung jawab Ayah sudah selesai. Jadilah istri yang baik untuk suamimu.” Air mata Rahim menetes, tak percaya masih bisa menyaksikan putrinya menikah, walau dalam keadaan darurat. “Ayah harus janji, ayah harus berusaha untuk sembuh.” Nadya tak kuasa menahan haru. Ia memeluk tubuh Ayahnya yang hanya bisa terbaring lemah. “Ayah akan berusaha sayang. Ayah ingin melihat seperti apa cucu ayah nanti. Ia pasti tampan dan cantik, seperti kalian.” Rahman mengusap kepala putrinya dengan sayang. ** Seperti biasa, sore itu Nadya melakukan tugasnya menyuapi Rahim. Ayahnya terlihat bahagia. Nadya berharap, ini awal kesembuhan sang Ayah. Ia ingin kembali membawa ayahnya pulang ke rumah mereka, dan hidup bertiga bersama suaminya, Arkhan. Arkhan sendiri tengah berbincang di ruang dokter, membahas penyakit Rahim. Malam ini mereka akan berjaga berdua. “Ayah terlihat bahagia sekali,” bisik Nadya yang kini tengah bersandar di dadda suaminya. Mereka duduk berdua di salah satu sofa yang tersedia di ruang rawat Ayah Nadya. Atas seizin Nadya, Arkhan memindahkan ayah mertuanya ke ruang kelas satu. Supaya mereka bisa ikutan menjaga. Arkhan mengusap kepala istrinya dengan sayang. Ia harus memikirkan cara menyampaikan pernikahannya dengan Nadya pada Mamanya. Semoga Mama mau merestui. Nadya terlihat menguap. Beberapa menit ia tertidur. Arkhan membaringkan tubuh istrinya di sofa, supaya nyaman dalam berbaring. Mungkin karena lelah, Nadya tak menyadari apa yang kemudian terjadi. Sudah tiga hari ini ia tidak bisa terlelap, memikirkan kesehatan Ayahnya. Arkhan menyesal tidak ada disamping Nadya ketika gadis itu membutuhkan dirinya beberapa hari lalu. Nadya terlelap. Baru kali ini ia merasa nyaman tertidur. Mungkin karena kini sudah menjadi istri Arkhan, lelaki yang teramat dicintai. Ia merasa sudah memiliki sandaran baru. Hidupnya yang biasa hanya dengan Ayahnya, kini lebih berwarna dengan statusnya sebagai seorang istri dari Arkhan Pranaja. Kini Nadya memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Suaminya pasti akan selalu membantunya dalam menghadapi segala permasalahan. Hingga usapan pelan di kepala, membangunkan dari tidurnya yang lelap. Saat matanya terbuka, ia melihat sosok suaminya. “Nadya bangunlah. Kita harus membawa Ayah pulang.” Nadya mengerjap. Pulang? Maksudnya Ayah sudah sembuh dan boleh pulang? Jadi Ayah benar-benar sembuh? Walau masih di landa kebingungan, Nadya sempat tersenyum bahagia. Tapi, rasa bahagia yang semula hadir mendadak lenyap, ketika Nadya menoleh ke arah ranjang. Ranjang itu kosong. “Ayah dimana? Kenapa ranjangnya kosong?” tanyanya khawatir. Arkhan mengarahkan dagu Nadya yang semula tertoleh ke arah ranjang, menatap ke arahnya “Sayang, kamu yang sabar ya. Ayah sudah berpulang.” Hening sejenak. Hingga kesadaran timbul di benak Nadya. Maksudnya? Wajah Nadya pias. “Gak mungkin, kamu pasti bohong!” teriaknya. Tadi Ayah bahkan masih bisa disuapi olehnya. Lalu Nadya bangkit, berusaha keluar kamar mencari ayahnya. Tapi tak mungkin juga ayahnya bisa berjalan sendiri. Arkhan meraih pinggang istrinya dari belakang. “Nadya.” Nadya menoleh. Wajahnya sudah banjir air mata. “Kamu bohong kan? Bilang kalau kamu bohong, Arkhan!” isaknya. Arkhan yang melihat istrinya rapuh, membawanya ke dalam pelukan. "Kamu harus ikhlas. Ayah sudah tidak lagi merasakan sakit." Nadya menumpahkan tangisnya di sana. Dipelukan suaminya. “Ayah sudah janji akan sembuh,” isaknya. Tangisnya pecah, membayangkan sudah tak lagi memiliki Ayah juga Ibu. Nadya sendiri sekarang. "Ayah kenapa pergi?" Arkhan berulang kali mengusap punggung istrinya demi meredakan tangisnya. "Kamu memiliki aku sekarang Nadya. Selamanya, aku akan menjaga kamu," janji Arkhan. Ia sudah menduga kesehatan Ayah mertuanya semakin memburuk, ketika berbicara dengan Dokter. Itu sebabnya ia mengambil langkah menikahi Nadya secepatnya. Di dalam pelukan Arkhan, Ayah mertuanya menghembuskan napas terakhirnya, dengan meminta Arkhan menjaga Nadya apapun yang terjadi. Lalu mereka membawa jenazah Pak Rahim untuk dikebumikan Arkhan berjanji ia akan menjaga Nadya dengan segenap jiwa dan raganya. Sekalipun mereka menikah di bawah tangan dan dalam keadaan darurat, mereka saling mencintai. Akan ada saatnya Arkhan mendaftarkan pernikahan mereka nantinya. Jika ia bisa menyelesaikan semua urusannya.. Terlebih dengan sang Mama. Semoga suka ya. Love Herni. Jakarta 10 Juni 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD