PART 11 - GAVIN SANG KETUA KELAS

1749 Words
PART  11 –  GAVIN SANG KETUA KELAS.  Entah karena bodoh atau karena cinta,  Nadya masih menunggu di rumah itu hingga dua minggu lamanya.  Nadya berharap Arkhan datang dan menjelaskan semua, sesakit apapun, Nadya akan terima, karena ia tidak memiliki siapapun lagi.   Nadya hanya memiliki Arkhan suaminya, dan janin yang sekarang bersemayam di perutnya. Biarlah ia akan menerima pernikahan Arkhan asalkan ia tetap di samping suaminya. Bodoh memang, namun Nadya tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia tidak memiliki simpanan apapun.  Selama ini Arkhan yang menyediakan semua, dan hanya memberi  alakadarnya uang, karena menurut pengakuan suaminya, ia anak sebatang kara, yang bisa kuliah sambil bekerja hingga mereka harus irit pengeluaran. Nadya memang terlalu mempercayai seorang Arkhan, cintanya tak pernah ia nodai dengan rasa curiga terhadap sang suami. Bahkan ia tak curiga jika beberapa bulan ini suaminya sering pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. Kamu dimana Arkhan? Nadya bahkan terus menerus mencoba menghubungi nomor ponsel suaminya. Dan selalu di jawab oleh operator.  Jika memang Mama Mertuanya masih ada, mengapa Arkhan tak mengenalkan padanya? Mengapa harus berbohong? Dilihat dari penampilan ibu kandung Arkhan, mengapa juga suaminya harus berpura-pura menjadi orang biasa? Nadya mengusap wajahnya yang kembali basah. Berusaha menolak apapun prasangka yang mampir di benaknya. Arkhan gak mungkin setega ini terhadapnya. Suaminya bahkan sering menghujaninya dengan kata cinta tiada henti. Tapi kini sosok suami yang dinantikan tak juga bisa dihubungi. Seharusnya Arkhan sudah kembali. Dan sesaat Nadya menyadari, baru kali ini suaminya tidak pulang tanpa ada kabar. Biasanya segenting apapun urusannya di luar sana, Arkhan selalu menyempatkan memberi kabar. Nadya menyesalkan, bahwa ia sama sekali tidak tahu apapun tentang suaminya, termasuk di kantor mana suaminya bekerja. Baginya Arkhan sudah menjelma menjadi suami yang bertanggung jawab dalam memberikan nafkah lahir maupun batin. Tapi jika ia tahu akan seperti ini, mungkin ia akan meminta alamat kantor tempat Arkhan bekerja. Barangkali ia bisa menyusul kesana dan mencari tahu. Nadya menggeleng. Kalau Arkhan berniat menipunya, bisa saja justru suaminya memberi alamat palsu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Pintu depan di ketuk seseorang, Nadya segera beranjak. Berharap suaminya yang datang. Ternyata ibu pemilik rumah. “Bagaimana Nadya? Ini bahkan sudah lewat satu minggu dari tanggal kamu bayar kontrakan.” Nadya menunduk. “Bu, beri saya waktu lagi.” Ia meremas bajunya. Kepalanya semakin pening. Bahkan sejak tadi ia belum makan apa-apa, karena mual terus mendera. “Mau sampai kapan? Kamu kan tahu dari awal, saya hanya kasih kelonggaran satu minggu. Lagipula mau menunggu sampai kapan suamimu itu kembali?” Kabar tentang suami Nadya yang menikah lagi, entah mengapa tersiar di daerah rumahnya. Padahal ia tak pernah bertetangga. Siapa yang tega menyebarkan berita menyakitkan itu? Bahkan saat ia sendiri sebagai seorang istri, masih berharap itu isapan jempol belaka. Dengan foto pernikahan yang jelas ia lihat dan senyum bahagia sepasang pengantin, Nadya masih berharap itu suatu kebohongan? Ia istri yang baik bukan? “Tolong saya bu, kasih saya kelonggaran,” pinta Nadya. “Maaf  Nadya. Saya butuh uang. Sebaiknya kamu cari tempat tinggal yang bisa memberimu tumpangan gratis. Sore ini juga rumah ini sudah ada penyewa baru.” Dengan berat hati, Nadya memutuskan keluar dari rumah itu, berjalan mengikuti arah kakinya membawa sebuah tas miliknya. Entah akan kemana ia melangkah.  Arkhan, apakah memang benar kabar yang disampaikan ibumu? Bahkan untuk sekedar berpamitan padaku saja, tak kau lakukan? Ya Tuhan, selama ini aku percayakan cintaku kepadanya. Nadya tidak tahu berapa lama ia berjalan, keringat sudah menetes dari keningnya, rasa lapar di perutnya tak ia hiraukan. Ia benar-benar bingung mau kemana. Sanak saudara semua jauh dan tidak begitu dekat hingga ia malu untuk sekedar meminta pertolongan. Nadya mengusap perutnya, janinnya sedang tumbuh, harusnya ia bahagia, namun sekarang ia terlunta-lunta seperti pengemis di jalanan. Maafkan Bunda, sayang. Sekarang bunda engga tahu harus kemana. Di setiap langkahnya, Nadya masih berusaha menghubungi suaminya. Tapi tetap tak ada nada sambung. Nadya berdiri dalam kebingungan, hingga bahunya ditabrak seseorang. Menyebabkan ponsel dan tas yang ia pegang terjatuh. "Maaf bu, saya gak sengaja." Seorang anak muda menundukkan kepalanya memohon maaf. "Gak apa-apa dek." Nadya tersenyum. Lalu menunduk hendak meraih tas dan ponselnya yang terjatuh. Ya Tuhan. Ponselku mana? Nadya mencari, sesaat tubuhnya lemas, menyadari ponselnya hilang. Jadi anak muda tadi memang sengaja menabraknya? Untuk merampas ponselnya? Air mata sudah kering rasanya ia kuras, hingga untuk menangis pun ia sudah tak sanggup. Rasa sedih, sakit hati dan bingung berkecamuk menjadi satu.  Nadya berdiri dengan tatapan hampa. Sekelebat bayangan Arkhan hadir. Senyum suami tercintanya. Bagaimana bisa Arkhan menikah dalam kemewahan, sementara mereka masih terikat pernikahan yang sah dimata agama. Apakah lelaki itu memang hanya ingin mempermainkan dirinya, karena sudah sebatang kara. Hingga Nadya tak sadar kakinya melangkah menyebrang jalan, hingga terdengar .... CITTTTTT Sebuah mobil berhenti pas sesaat tinggal beberapa inci lagi menyentuh tubuh Nadya. Nadya memejamkan matanya karena tak kuat menahan pusing di kepalanya. Ia yakin tubuhnya tidak terkena sedikitpun body mobil, namun rasa sakit di kepalanya semakin menjadi.  Seorang  lelaki keluar dari mobilnya. “Nadya?" Mendengar namanya di sebut, Nadya menoleh. Wajah lelaki di depannya terasa semakin berbayang. Nadya berusaha mengerjapkan matanya. "Ya Tuhan.” Sosok lelaki yang barusan menyebut nama Nadya segera meraih tubuh Nadya yang hampir jatuh ke lantai. Lelaki yang tak lain bernama Gavin, teman sekelas  Nadya dulu, tak menyangka jika wanita yang hampir tertabrak adalah wanita yang ia kenal. Gavin segera membawa tubuh Nadya ke dalam mobilnya. Wajah Nadya bahkan teramat pucat dengan mata terpejam. "Apa yang terjadi padamu, Nadya?" bisik  Gavin. Karena bingung, Gavin membawa  Nadya ke rumahnya. Ia mendatangkan  seorang dokter, karena kondisi Nadya yang terlihat mengkhawatirkan sekali. Terakhir ia bertemu gadis ini, wajahnya masih cantik dan ceria. Kini tubuh Nadya hanya tinggal kulit yang membalut tulang. “Bagaimana keadaan teman saya?” tanya Gavin khawatir. “Fisiknya lemah, kurang asupan gizi. Mungkin karena sedang hamil muda juga.” Mata Gavin membola. Nadya hamil? Jadi ia sudah menikah? Dengan siapa? Tak mungkin Nadya terkena pergaulan bebas, karena sejak sekolah dulu  Gavin mengenal Nadya. Sosok wanita cerdas dan  menjadi saingannya dalam hal perebutan bintang kelas. Mungkin sebaiknya dia menunggu Nadya sadar untuk bertanya. Nadya membuka matanya. Matanya memicing. Tubuhnya bahkan terasa lemas sekali. Dimana aku? “Kamu sudah sadar?”  Nadya menoleh, ia tersentak melihat sosok yang duduk di sampingnya. “Gavin?” "Kamu benar Gavin?" tanyanya tak percaya. Nadya berusaha bangkit dari posisi tidurnya. “Kamu istirahat saja.” Gavin menahan tubuhnya. Nadya melirik tangan kanannya yang di infus. “Kamu kekurangan cairan,” ucap Gavin menjawab keheranan di wajah Nadya. “Kenapa aku ada sini?” Seingatnya ia pergi dari kontrakannya, dan  hampir tertabrak mobil. Ia menoleh. “Aku tidak menabrakmu, aku langsung menginjak rem. Tapi kamu langsung jatuh dan pingsan. Jadi aku membawamu kemari, karena aku bingung mau bawa kamu kemana.” Nadya menunduk, matanya berkaca. "Apakah kamu tidak melihat saat menyebrang jalan? Kamu gak sengaja mau bunuh diri kan?" “Aku gak punya siapa-siapa,” lirihnya. Bahkan ucapan Nadya tidak menjawab rentetan pertanyaan dari Gavin. Gavin  merasa iba melihat penampakan Nadya. Seingatnya Nadya gadis yang periang. Mereka berpisah, karena Gavin kuliah di luar kota ikut kakaknya. “Apa yang terjadi denganmu Nad? Di mana ayahmu?” Mendengar pertanyaan Gavin, Nadya terisak. Mengingat kembali Alm ayahnya, ia merasa sendiri. "Ayah sudah meninggal Vin," isaknya dengan wajah basah. Gavin tak tahu bagaimana meredakan  seorang wanita yang sedang menangis sedih, dan terdengar pilu. Jadi yang ia lakukan hanya mengusap lengan Nadya. “Menangislah jika itu bisa membuat hatimu lapang. Setelahnya kamu bisa bicara sama aku. Apa yang sebenarnya terjadi.” Tangisan Nadya makin tergugu. Bahunya berguncang menumpahkan segala rasa sedih dan sakit hatinya. Hingga rasa lelah mendera Nadya dan menghentikan tangisnya. Nadya mengusap wajahnya. Teriris hati Gavin melihat wajah tirus Nadya. Wajah yang jauh dari kata ceria.  Gavin bersumpah, dulu Nadya memiliki wajah yang cantik di sekolah. Dia pernah menyimpan rasa dalam diam pada Nadya. “Terima kasih atas bantuannya. Aku gak tahu harus dengan apa membalas semuanya. Mungkin sebaiknya kemarin kamu tabrak aja aku sekalian Vin. Biar aku menyusul Ayah sekalian,” isaknya. Gavin menggeleng. “Ya Tuhan Nadya, kamu gak boleh bicara begitu. Aku turut berduka untuk ayahmu.” Gavin menggenggam telapak tangan Nadya. “Aku gak sanggup hidup lagi Vin. Aku lebih baik mati sekalian." Nadya membersit hidungnya yang bergantian mengeluarkan cairan. Wajah keputusasaan terlihat dalam diri Nadya. “Kamu sudah menikah?” Pertanyaan  Gavin terdengar pelan, namun membuat Nadya menghentikan tangisnya. Nadya mengangguk lemah. “Lalu dimana suamimu sekarang?” Wanita itu menggeleng. “Kalian bercerai?” “Dia sudah menikah lagi Vin, dan mungkin mereka sekarang sedang menikmati bulan madu mereka ke eropa.” Bulir itu kembali  turun. Eropa? Apakah Nadya menikahi lelaki dari kalangan keluarga kaya raya? Lalu  jika suaminya memang kaya, kenapa justru Nadya terlihat seperti terlunta-lunta begini.” “Siapa suamimu?” tanya Gavin penasaran. Nadya menatap Gavin sambil menimbang perlukah ia memberitahu lelaki ini. “Nadya?” tanya Gavin kembali. “Arkhan. Arkhan Pranaja.” Gavin tersentak mendengar jawaban Nadya. “Arkhan? Bagaimana bisa? Bukankah dulu kalian tak saling kenal?” Gavin  jelas tahu siapa Arkhan, lelaki yang meneruskan sekolah karena pindahan dari sekolah lama. Hanya ia tak mengetahui jika Nadya akhirnya menikah dengan Arkhan. “Aku yang salah Vin. Aku pikir aku mengenal suamiku sendiri. Ternyata ….” Nadya tak kuasa melanjutkan perkataannya, ketika mengingat Arkhan bahkan sudah menikah lagi. Ia kembali mengusap pipinya. “Aku pikir pernikahan kami baik-baik saja. Bahkan kami tidak pernah bertengkar. Dia lelaki yang baik dan bertanggung jawab.” Gavin berdecak. “Aku yakin dia bukan lelaki yang baik, Nadya.” “Kamu tahu kenapa dia dulu pindah ke sekolah kita?” Nadya menggeleng, karena dia tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain. “Dia sudah sering di keluarkan dari sekolah. Dia tukang buat onar. Bahkan kalau bukan karena OM nya, dia tidak akan bisa bersekolah di tempat kita. Om nya sahabat dari kepala sekolah di tempat kita dulu.” Gavin ketua kelas di masa mereka sekolah. Dia tentu tahu apa penyebab seorang Arkhan bisa mudah melenggang masuk ke sekolah mereka. Nadya menggeleng. Selama ini ia mengenal Arkhan sosok baik, apakah memang Arkhan memiliki dua sifat yang bertolak belakang. “Bagaimana bisa kamu jatuh ke pelukan lelaki itu, Nadya. Bukankah  kamu wanita yang cerdas? Tentunya kamu bisa membedakan mana lelaki yang baik dan mana yang brengsek.” Nadya menunduk. Andai ia bisa, memagari hatinya ketika melihat seorang Arkhan. Nyatanya Nadya memang sudah menyukai lelaki itu sejak mereka masih satu sekolah. Cinta yang membuatku buta. Sehingga aku  tak mampu melihat antara ketulusan dan kepura-puraan. Semoga suka ya. Love Herni. Jakarta 14 Juni 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD