Menjadi Piatu

1038 Words
Seorang lelaki paruh baya berjalan pulang dengan langkah gontai, angin malam menyentuh kulitnya yang pucat dan dingin. Satu persatu langkah kakinya menjadi lebih berat, kesepian menggelayuti punggungnya. Raut wajahnya menunjukkan kelelahan, kekalahan, dan kesedihan yang amat sangat. Sesekali dia mendongak ke atas berusaha menahan air matanya. Langit cerah penuh bintang dan rembulan yang memancarkan cahaya lembutnya, menyambut pandangannya. Setetes air mata tertahan di sudut - sudut matanya, mengaburkan pandangannya, mengancam akan menghancurkan tembok - tembok perasaan yang dibangun olehnya sedari siang tadi. Belum... dia belum mengeluarkan satu tetes air mata pun semenjak dia melihat tubuh wanita yang dia cintai tertidur di dalam ruangan berdinding putih, di atas meja alumunium hanya ditutupi selembar kain putih. Setiap langkah yang diambilnya menjadi semakin berat, sebentar lagi dia harus mengungkapkan kenyataan yang dia sendiri masih tidak ingin mempercayainya. Samar - sama dia melihat pintu pagar, pintu yang memisahkan kenyataan yang pahit dengan khayalan yang sudah dia putar di dalam kepalanya semenjak dia mendengar kabar buruk dari telepon genggamnya. Dia menghela nafas panjang, menghentikan langkah sebentar. Dia mengerti, amat sangat memahami kenyataan ini harus diakui tidak peduli seberapa lama dia bertahan di khayalannya. "Mas, ayo kita pulang! Tadi Fay nitip martabak keju yang di depan, akhir - akhir ini Fay makannya banyak ya mas... Kamu ngerasa Fay tambah besar gak mas? Aku mesti beliin dia baju - baju yang baru, yang sekarang kayaknya udah tambah kecil. Hmmm...aku pengen Fay pake baju - baju yang lucu - lucu itu tapi anaknya gak mau mas, dia bilang ribet. Huuh... padahal anak - anak temenku pada lucu - lucu mas, gemes liatnya." Linda berkata dengan wajah cemberut. Pria itu tersenyum lega, ternyata semuanya baik - baik saja tadi hanya mimpi buruk. "Fay kan anaknya aktif Lin, makanya dia lebih suka pakaian yang praktis, nanti kalo dia sudah gedean pasti dia juga mau pakai pakaian yang cantik itu." dia bermaksud membelai rambut wanita yang ada di hadapannya seperti yang selalu dia lakukan kepadanya, tapi tangannya hanya menyentuh angin, dia mencobanya berkali - kali tapi tanpa hasil. Tanpa disadarinya dia sudah melangkah sampai di depan pagar putih itu, samar - samar dia mendengar celotehan Fay kecil yang bercakap - cakap dengan kakeknya. Dia menengok ke belakang bermaksud mengajak istrinya masuk tapi yang dia lihat hanya kegelapan malam...Dia berbalik badan membelakangi pagar itu, mungkin jika menunggu sebentar lagi, Linda akan datang. Dia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis suara - suara yang berbisik Linda sudah tidak ada di dunia ini, itu adalah kenyataannya, kenyataan yang harus dia sampaikan kepada Ayah ibu yang tidak sabar menanti putrinya pulang dan kenyataan untuk seorang anak ceria yang selalu setia menunggu ayah ibunya pulang di dekat jendela itu... Butir - butir air mata yang sedari tadi tertahan dengan khayalannya, akhirnya menetes satu demi satu seiring dengan setiap kepingan kejadian tadi siang yang harus dia hadapi sendirian sedari siang tadi. Dia mencari pegangan ke pagar putih itu berusaha menahan kakinya yang goyah agar tidak jatuh terduduk di tanah lembab dingin dibawahnya. Fay kecil yang selalu menunggu kepulangan ayah dan ibunya di depan jendela mendengar denting samar pagar putih itu, dia pun berlari keluar "Ayah...ayah...ibu? Loh ibu mana yah? Kok gak ikut? Lembur lagi ya? Memang banyak orang yang sakit akhir - akhir ini yahh." Fay berkata dengan segala pengetahuan yang dimiliki di dalam otak kecilnya. Dia berhenti sesaat sebelum membuka pintu pagar itu "Ayah nangis? Kenapa yah? Ada orang jahat yang bully ayah yah?" Michael bersimpuh agar dirinya bisa sejajar dengan putri semata wayangnya itu, dia melihat wajah putrinya yang kebingungan di sela - sela air matanya yang terus turun. Mata kecil ini mirip sekali dengan mata Linda wanita yang dia cintai, dipeluknya putrinya itu. Sepasang tangan kecil membelai - belai rambut ayahnya, berusaha menenangkan tangisan yang turun tanpa henti itu. "Yah gak papa nanti kita kasih tau bos ayah, biar orang jahat itu dihukum. Ayah jangan nangis lagi, yah..." Kakek dan nenek, orang tua dari Linda, menghampiri mereka. Mereka sudah mengetahui secara samar kalau sesuatu yang buruk terjadi terhadap anaknya, "Ayo, Fay ajak ayahmu masuk dulu. Di luar sini dingin." Michael bangun sambil menggendong Fay, "Ibu...Ayah..." tidak ada kata - kata yang dapat dikeluarkan dari dirinya, lidahnya menolak menyampaikan kenyataan pahit itu. "Sini masuk dulu, nak...Kita bicara di dalam." Ayah mertuanya membimbingnya untuk masuk dan duduk di sebelahnya, sementara ibu mertuanya sambil memeluk Fay duduk di seberang mereka. Lambat laun terdengar suara tangis pecah dari rumah itu seiring dengan kenyataan demi kenyataan yang Michael sampaikan di hadapan mereka. Hari itu dimulai dengan seperti biasa mereka sarapan mi goreng kesukaan Fay, lalu mereka berangkat bersama - sama, Michael mengantarkan Fay ke sekolah terlebih dahulu kemudian baru mengantarkan istrinya. Linda bekerja sebagai seorang suster di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota ini. Tidak ada hal aneh yang mengganjal, tidak ada firasat hal buruk akan terjadi pada keluarga kecil itu. Seperti biasa rumah sakit selalu sibuk lalu lalang perawat, dokter dan pasien pada pagi hingga siang hari. Karena sebagian besar dokter spesialis praktek pada jam itu, tiba - tiba di depan ruang operasi seseorang berteriak marah - marah. Suster Linda bergegas membantu dokter yang sedang diteriaki oleh pasien tersebut. "Mohon maaf pak, ada yang bisa dibantu?" kata suster Linda. "DOKTER INI MEMBUNUH ANAKKU! KALO TIDAK BISA MENANGANINYA, CARI DOKTER LAIN YANG LEBIH KOMPETEN!!! DIA ANAKKU SATU - SATUNYA!" "Pak, saya ikut berduka cita. Mohon tenang, pak." "APA KAMU SURUH SAYA TENANG?! ANAK SAYA GIMANA?" Dua orang satpam rumah sakit yang mendengar keributan itu, bergegas menghampiri, rekan sejawat dokter itu buru - buru mengajak dokter tersebut masuk ke dalam ruang operasi untuk menyelesaikan prosedurnya. "HEI, MAU KEMANA KAMU!" Ketika dokter itu terus berjalan, ayah pasien berlari hendak menabrak dokter tersebut. Suster Linda yang melihat pantulan cahaya di tangan ayah pasien, buru - buru mendorong dokter itu ke samping. "NYAWA HARUS DIBAYAR DENGAN NYAWA DOK!" Pada seragam putih suster Linda tiba - tiba muncul sebuah titik merah di bagian perutnya, titik merah itu makin lama makin membesar, dan cairan merah mulai menetes - netes ke lantai rumah sakit. Satpam bergegas menahan ayah dari pasien tersebut, dan dokter segera menekan sumber dari cairan merah itu dari perut suster Linda sambil memerintahkan serangkaian perintah "Panggil dokter anestesi yang ada, siapkan ruang operasi segera! Bawa beberapa cadangan kantung darah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD