10. One and Only

1692 Words
Vincent Black dalam balutan kaus hitam dan celana kulit hitam berdiri di depan pintu. Pria dengan lengan penuh tato itu menudingkan sepucuk surat dari kepolisian ke wajah Kimberly. "Kau menggunakan surat larangan mendekat terhadapku??" tanyanya dengan kening berkerut kesal. Kimberly mendengus dan melipat kedua tangannya di da.da. Bibirnya mencibir meremehkan Vincent. "Kau tidak terima? Mau protes?" sahut Kimberly. "Bukankah kau sendiri yang memintanya?" Vincent tak bisa berkata apa-apa. Ia terlalu kesal. Kimberly benar-benar orang yang tidak tahu terima kasih. Kimberly habis kesabarannya menghadapi keledai satu itu. "Sekarang, menjauh dari sini!!" bentaknya, "atau kupanggil polisi?!" "Tidakkah kau paham, bahwa aku ini mengkhawatirkanmu ...." pungkas Vincent nyaris memohon. "Jika selama ini kau mengkhawatirkanku karena mendiang kakakku, sebaiknya kau berhenti," ujar Kimberly dengan nada mengancam. "Aku tidak perlu orang lain mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diriku sendiri!!" Kenapa gerangan dengan pria satu ini? Ia begitu bodoh dan impulsif. Di mana ia menaruh otaknya? Apakah otaknya sudah rusak karena obat-obatan? "Ugh ... aku begitu bodoh!!" Vincent memaki diri sendiri. Ia mencengkeram kepalanya seolah-olah akan meledak. "Bagaimana aku harus menjelaskannya?" Ia bergumam sendiri. Ia lalu menatap Kimberly dengan putus asa. Apa yang harus kulakukan? pikirnya. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya, seperti yang dialami Violet. Wanita itu menatapnya tajam seolah siap membunuhnya. Kemarahan Vincent sudah di ubun-ubun, tetapi tiba-tiba ia terkesiap melihat sesuatu di leher Kimberly. Sesuatu yang dikenalnya dan jantungnya serasa ditusuk puluhan jarum. Dengan cepat ia mendekati Kimberly dan menarik kerah bajunya untuk meneliti lehernya. "Mau apa kamu?" Kimberly menepis tangannya sehingga kerahnya terlepas dari tangan Vincent. Namun Vincent sempat melihat ada beberapa tanda yang sama di leher dan da.da wanita itu. Vincent seperti api disiram bensin. Ia terbakar hangus sampai ke tulang. "Apa itu?" selidiknya. Ia memperhatikan kissmark itu, rambut Kimberly yang masih basah, sikapnya yang defensif di ambang pintu, potongan teka-teki yang mulai lengkap baginya. "Kau ... tidur dengan seseorang ??" tudingnya seperti kekasih yang cemburu. "Bukan urusanmu!!" "Siapa dia?" "Haruskah aku mengatakannya padamu?" ujar Kimberly sinis "Apa kau harus tahu segalanya apa yang kulakukan? Kau ini gila, Vincent! Apa kau mabuk atau lagi sakau?" "Jangan main-main, Kimberly! Cepat katakan siapa orangnya?!" Vincent membentaknya. This is insane .... Tidak masuk akal. Sesosok laki-laki berambut pirang muncul dari belakang Kimberly. Matanya biru langit dan berwajah tampan bagaikan malaikat. "Ada apa ini?" tanya laki-laki itu. Vincent terkesiap melihatnya. "Marcus Zurich!" gumamnya. Marcus menatapnya tajam. "Oh, Vincent. The Saint," ujarnya datar. Senyum simpul yang sinis terulas di bibirnya. Ia melangkah ke depan Kimberly seolah melindungi Kimberly dari pria itu. "Lama tidak bertemu, Tuan Black!" Vincent mengangkat dagunya dengan angkuh. "Jadi kau orangnya ...," katanya. Mata Kimberly berkedip-kedip tidak percaya. Oh, jadi mereka saling kenal! "Jika kau mengkhawatirkan Kimberly, aku pastikan kau tidak perlu khawatir lagi, Tuan Black." kata Marcus. "Kimberly sudah ada yang menjaga dan kupastikan aku orang yang kompeten untuk tugas itu," tambahnya. Vincent tidak dapat menahan membuang ludahnya ke samping. Jika ini perang, ia siap bertarung sampai darah penghabisan dengan pria ini. Namun masalahnya ini Kimberly, dirinya sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan dan ujung-ujungnya ia bertingkah seperti orang gila. Ia tahu Marcus orang yang berpengaruh di Kota CC, sama seperti dirinya. Bedanya, jika Marcus berpengaruh di dunia bisnis, ia berpengaruh di dunia hitam. "Baiklah," ujarnya pada Marcus, akhirnya. "Aku akan meninggalkan tempat ini. Untuk saat ini, aku percaya padamu." Ia lalu memandang Kimberly yang menatapnya mencemooh dan berkata dengan lantang, “Tetapi jika terjadi sesuatu dengannya, maka aku akan mencarimu dan membunuhmu!!" "Kau mengancamku, Tuan Black?" balas Marcus. "Terserah!!" sahut Vincent sambil memutar badan dan mengibaskan tangannya ke udara. Ia berjalan meninggalkan rumah itu. Seperti seorang prajurit yang kalah perang. Kalah. Telak! "Kau kenal dia, Zee?" tanya Kimberly setelah Vincent tidak terlihat lagi. "Pernah bertemu, beberapa kali," jawabnya dengan pandangan kosong. "Kurasa saatnya aku pergi," ujarnya lagi. Marcus pamit pergi di ambang pintu. Kimberly tidak lupa berterima kasih padanya. Lalu pria itu pergi mengendarai mobilnya. Dalam perjalanan sambil mengemudi, Marcus terkenang masa lalu. Ia kenal Vincent sudah lama, bahkan mereka tumbuh besar bersama. Vincent yang bodoh namun berjiwa pahlawan. Sedangkan ia berotak cemerlang dan ia tidak akan menyia-nyiakan bakatnya untuk hal-hal sepele.Terakhir ia bertemu Vincent 5 atau 6 tahun yang lalu. Saat itu, Vincent berpacaran dengan gadis bernama Violet. *** Kimberly membawa pakaian Xander ke atas. Sekarang sudah tengah hari. Dia sekalian memeriksa keadaan Xander. Pria itu masih tidur pulas, jadi dia meletakkan barang-barang Xander di atas bufet. Dia bersandar ke bufet dan memandangi Xander. Dia tidak dalam perasaan sentimentil saat itu. Otaknya berpikir keras. Ia terngiang perkataan Xander saat mereka bercinta, tentang tidak akan bercerai darinya. Kenapa pria ini bersikeras mempertahankannya? Tipe pria seperti Xander harusnya merasa terintimidasi jika sang isteri minta cerai dan akan secepatnya menceraikan isterinya. Kesampingkan soal cinta. Bagi orang seperti dirinya dan Xander, cinta bukan prioritas. Ibu dari anaknya? Hal itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Yang dia tahu, orang seperti Xander, hanya akan mempertahankan orang yang masih berguna untuknya. Banyak kandidat yang punya kemampuan lebih darinya, tetapi kenapa Xander memilihnya? Apa yang masih diperlukan Xander dari dirinya? Kimberly pergi ke ruang belajar dan membuka boneka hiasan gelang Violet. Dia memasangnya ke laptop dan memeriksa isinya. Ternyata dugaannya benar. Ada sesuatu di dalamnya. Dia mulai memeriksa gambar-gambar di dalamnya. Gambar yang menjelaskan banyak hal, berbicara seribu bahasa. Kimberly gigit jari melihatnya. Gambar anak-anak, laki-laki dan perempuan, kebanyakan di bawah umur, dalam kurungan, disiksa dalam kondisi mengenaskan. Tampak beberapa orang dewasa bersenjata mengawasi anak-anak itu. Itu adalah gambar perdagangan manusia. Dalam gambar lainnya tampak orang membongkar muatan, yang sepertinya narkoba. Kimberly berusaha mengidentifikasi wajah orang-orang itu, menghapalkannya, jaga-jaga jika dia bertemu orang-orang tersebut di luar sana. Jadi, kelompok ini, memperdagangkan manusia di bawah umur dan menyelundupkan narkoba. Kimberly berusaha mencari benang merah antara semua itu dengan kematian orang tua dan kakaknya. Kepolisian yang menutupi kasus itu, organisasi yang terlibat, bisnis yang berkaitan, orang-orangnya .... Dia seolah merajut jaring laba-laba yang semakin membesar. "Sedang apa?" suara Xander terdengar dari ambang pintu. Kimberly mengangkat wajahnya dan tersenyum pada pria itu. Xander sudah mandi dan sekarang berdiri di depannya dengan santai, mengenakan kemeja biru muda dan celana putih. Kancing baju di bagian dadanya dibiarkan terbuka. Rambutnya dibiarkan berantakan dan masih lembab. Ia terlihat santai dan menyegarkan. Xander mendatangi Kimberly dan membungkuk di belakangnya untuk melihat ke laptop. "Hanya memeriksa ini," jawab Kimberly ringan. "Jadi, ini barang bukti yang ditemukan Violet?" tanya Xander setelah melihat fotofoto dalam penyimpan data itu. Kimberly mengangguk. "Hmm," gumamnya. "Jadi menurutmu, laki-laki yang bernama Vincent itu membantu Violet?" "Hmm," angguk Kimberly lagi. "Bagaimanapun laki-laki itu juga terlibat," lanjut Xander. “Aku tidak suka dengannya.” Xander tidak bertanya, tetapi ia bisa melacak hubungan apa yang dimiliki pria berandalan itu dengan istrinya dan apa yang dikatakan Xander berikutnya, membuat Kimberly membeku. "Bisa jadi, ialah yang menginginkan kematian Violet." Kimberly berpikir sesaat. Ada benarnya juga. Dia lalu tertawa hambar. "Bos ... kau serius, Bos? Aku kenal laki-laki itu sejak aku masih kecil," katanya. Xander duduk di meja, membungkuk ke wajah Kimberly dan mengangkat dagunya dengan jari. "Sayangku, kau harusnya tahu, laki-laki yang bisa kau percayai hanya aku," katanya sebelum ia mencium bibir Kimberly. Kimberly balas menciumnya dan melingkarkan tangannya ke leher Xander. Ya, X ... kau satu-satunya, katanya dalam hati. The One and Only. "Bisa lupakan itu sesaat?" pinta Xander tanpa melepaskan bibirnya dari Kimberly. Ia menutup laptop dan membawa Kimberly bangkit dari kursi. "Aku sedang dalam urusan yang sangat penting," lanjutnya sambil menggeser barang-barang di atas meja dengan lengannya yang panjang. Barang-barang di meja, kecuali laptop, berjatuhan. Di permukaan meja yang lapang itu ia merebahkan Kimberly sambil terus melumat bibir wanita itu supaya tidak protes. Rambut cokelat keemasannya terjuntai di tepi meja. Kimberly mendesah dan tak kuasa menahan pesona pria itu. "U-u-urusan apa?" tanyanya dengan susah payah. Xander tersenyum nakal. "Menagih hutang dari isteriku," katanya dengan suara serak lalu ia menggigit daun telinga Kimberly. "X!!" seru Kimberly tersentak. Xander tidak menyukai panggilan X jika mereka sebagai suami isteri. Kimberly memanggilnya X jika berkaitan dengan urusan pekerjaan. Ia menarik depan kemeja Kimberly sehingga terbuka dengan kasar, mengindahkan bra-nya dan mulai mengecup payudaranya, mengulum dalam mulutnya yang hangat dan memainkan puncaknya dengan lidah. Sementar mulutnya sibuk, tangan Xander menyingkap rok Kimberly dan menyelipkan tangannya ke celana dalam berenda lalu menarik benda itu melewati kaki Kimberly. Jari-jari Xander masuk ke dalam belahan di antara paha wanitanya. Kimberly tak dapat menahan diri mendesah menyebut namanya. "Xander ...." Ya …. Ia lebih suka panggilan itu. Kimberly tidak ingin, tetapi ingin dan itu pilihan yang sulit baginya karena tubuhnya bereaksi begitu sensitif terhadap sentuhan Xander. Tangannya yang halus dan gemetaran meraba ke balik kemeja Xander seolah dia akan mati jika tak menyentuhnya. Xander menekuk kedua kaki Kimberly di atas meja. Ia berdiri di sisi meja, mulai membuka celananya dan menurunkan bersamaan dengan boxernya hingga ke lutut. Tangannya mencengkeram pinggang Kimberly. Dengan satu gerakan lugas, ia memasuki Kimberly, membuat mata Kimberly terbuka lebar. Wanita itu terkesiap merasakan gerakan yang tiba-tiba membuka dirinya di dalam sana. Mata dengan manik cokelat itu terpejam erat. "Hnnnh!" Kimberly mengerang kesakitan. Xander pun mengeluarkan suara desahan berat dari mulutnya, jari-jarinya mencengkeram pinggul Kimberly seolah siap meremukkan tulangnya. Mata abu-abunya menatap nanar dengan wajah melembut. "Ohh,sayang, kau sangat... rapat!" suaranya parau. Tangan Kimberly mencengkeram lengannya hingga mencakar karena menahan sakit. "Jangan menahan aku, sayang," kata Xander lembut. Ia memahami kesulitan Kimberly. Ia membelai wajah wanita itu serta merapikan seuntai rambut di wajahnya. Kimberly berusaha berkilah. "Uhm … tidak, aku … tid—ah!" Xander menciumi lehernya sambil mendorong perlahan untuk masuk lebih dalam sampai sepanjang perkakas lelakinya terbenam dalam tubuh Kimberly. Ia menarik perlahan dan masuk lagi perlahan, penuh perhatian dan kasih sayang. Setelah Kimberly siap menerimanya seutuhnya, ia mempercepat tarikan dan tusukannya sehingga tubuh mereka bergoncang hebat. "Xander, ah!" Kimberly mempererat cengkeramannya di bahu Xander. Xander memandang wanita di bawahnya, dan merasakan kepuasan tersendiri melihat ekspresi wajah Kimberly saat dia menyerah padanya. Wanitanya, miliknya, hanya untuknya. Jika ada pertanyaan yang tidak bisa di jawab Kimberly, ini dia. Bagaimana cara mengatasi pesona Xander Xin? Dia tidak tahu. Dia belum selesai mempelajarinya. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD