Aku terus menelpon Bang Surya berkali-kali ... diangkat.
"Halo, Bang kamu dimana?" ucapku diiringi dengan degupan jantung yang tak menentu.
"Di-di jalan ... sudah ya Abang lagi nyetir," jawabnya kemudian panggilan terputus.
Geram, kulemparkan ponsel ke sofa lalu memijat-mijat kening sambil mondar-mandir.
"Mama kenapa?" Carla bertanya menghampiri.
"Mama ga papah," jawabku seraya bersimpuh mengimbanginya. Ia pasti resah melihat tingkahku barusan.
Aku masuk kamar melangkah dengan lunglai, kupandang photo pernikahanku dan Bang Surya, aku tersenyum begitupun dengannya, siapa yang menyangka jika kebahagiaan kami akan sirna oleh orang ketiga, dan yang lebih membuatku teriris adikku lah orang ketiga itu.
Adzan Ashar berkumandang gegas aku mengambil air wudhu, langkahku terhenti karena mendengar deru mobil Bang Surya, aku melangkah cepat menghampirinya, akan aku hujam ia dengan pertanyaan yang bertubi.
"Dari mana, Bang? aku melipat tangan di d**a dan menyenderkan punggung ke pintu.
Ia tersenyum menghampiri.
"Abang dari kantor, Dek. Kok nanya gitu?" jawabnya santai tanpa rasa bersalah.
"Jangan bohong kamu, Bang! Tadi Zylan menelponku kalau kalian tak ke kantor selepas istirahat, apa abang terbiasa begitu setiap hari?" Aku bertanya penuh penekanan.
Bang Surya terlihat menelan salivanya, dan Sonia ia berdiri mematung. Ia ingin melangkah masuk ke dalam namun tubuhku menghalangi mencegatnya.
"Jawab, kamu pergi berduaan dengan Sonia itu akan menimbulkan fitnah, kalian itu bukan mahrom, ingat!" Intonasi suaraku mulai meninggi kali ini.
Biarlah aku dibilang istri yang kasar atau apapun, untuk apa bersikap lemah lembut lagi pada suami penghianat dan pecundang sepertinya. Ia menatapku tajam mungkin kaget dengan perangaiku, karena selama ini aku selalu bersikap berlemah lembut padanya.
"Abang abis bawa Sonia ke klinik, Dek. Kamu kok sama adik sendiri curiga. Kamu jangan termakan oleh omongan orang lain, Dek?" jawabnya seraya mengguncangkan bahuku. Namun secepat kilat aku menepisnya.
Netraku beralih menatap Sonia, wajahnya pucat memang seperti orang yang tengah sakit. Dan tidak hanya itu ia pun membawa satu kantong kecil transparan berisi obat-obatan. Merasa risih aku perhatikan, ia pun melenggang dari hadapanku menuju kamarnya, langkahnya terhenti seraya sebelah tangannya memegang mulut dan tangan yang lain memegang perut.
Hoooeekk! ... Hoooeekk!. Ia berlari menuju westafel. Netraku beralih menatap Bang Surya.
"Sonia sakit apa?" Aku bertanya dengan tatapan menyelidik. Ia tak berani menatap mataku lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Asam lambung," jawabnya datar, kemudian melangkah masuk meninggalkanku.
Aku tak menghiraukan Bang Surya, gegas aku menemui Sonia.
"Sakit apa kamu?" tanyaku ketus.
"Asam lambung," jawabnya sambil menunduk. Kutatap ia dengan tajam. Ingin sekali aku menghajarnya habis-habisan tapi tak mungkin, ia adalah adikku. Ketika kecil aku yang mengasuh dan menjaganya, aku pula yang membiayai kuliahnya selama ini, kadang aku berharap bahwa ini semua hanyalah salah faham, dan kita bisa harmonis lagi seperti dulu selayaknya saudara kandung.
Sonia berubah menjadi liar semenjak aku sukses, karena ibu selalu membangga-banggakan aku dihadapannya atau pun di hadapan orang lain, mungkin terbesit iri dalam hatinya, karena Sonia tak sepintar dan sepandai aku. Ibu juga yang memaksa Sonia untuk kuliah di luar negeri, 'biar keren' dan biar pinter sepertiku yang sudah sukses mendirikan sebuah perusahaan katanya. Karena ibu memaksa akhirnya Sonia pun menyetujui dan menempuh pendidikannya di Korea.
"Ya sudah obatnya diminum," sahutku seraya beranjak menuju kamar.
Saat makan malam tiba, kami semua berkumpul di meja makan, nampak Sonia termenung menatap makanan yang tersaji dengan tatapan tak suka. Sengaja aku memasak makanan yang tak ia sukai seperti ikan asin, sambal, lalapan, tahu dan tempe agar ia merasa tak betah di rumah ini.
"Sonia ayok makan!" cetus Bang Surya
"Aku ga suka makanan kaya gini," jawabnya dengan cemberut.
"Kenapa ga suka, kamu harusnya bersyukur bisa makan, lihat di luaran sana banyak orang yang sedang kelaparan," ungkapku dengan tegas, nampak wajahnya merenggut mendengar ucapanku yang agak ketus.
"Emang kamu maunya makan apa?" tanya Bang Surya sambil menghentikan suapan makanannya.
Terbesit cemburu dalam hati menyaksikan kemanjaan Sonia di hadapan suamiku sendiri, aku bisa saja mendesak mereka berdua untuk mengakui hubungan gelapnya, tapi terlebih dahulu aku ingin menyadarkan Sonia bahwa jangan coba-coba merenggut kebahagiaan orang lain apalagi itu terhadap saudara kandung sendiri, jika ia sadar ya bagus, tapi jika tidak ia harus siap dengan segala konsekuensinya, aku bukan wanita bodoh yang tidak menimbang segala keputusan dengan bijak. Masalah besar di perusahaan saja bisa aku atasi, masa urusan seperti ini tak bisa aku atasi.
"Aku mau bubur ayam," jawabnya manja.
"Ya sudah kalau gitu kamu beliin, Bang. Tapi, aku dan Carla ikut ya, sekalian jalan-jalan malam," sahutku, nampak Sonia semakin cemberut.
Sengaja aku membuatnya cemburu bukan karena ingin bersaing dengannya ataupun karena aku bucin pada Bang Surya, tapi aku ingin dia sadar saja bahwa yang ia rusak itu sebuah keluarga yang harmonis.
"Iya, Pa, setelah makan kita brangkat, ini 'kan malam minggu, di alun-alun kota pasti rame," ujar Carla, ia nampak senang diajak jalan-jalan walau bukan ke tempat yang spesial.
"iya-iya, ya udah cepetan makannya," jawab Bang Surya seraya melirik sekilas kearah Sonia. Dia pasti merasa tak enak pada kekasih gelapnya itu.
Suasana alun-alun kota nampak ramai, banyak pedagang kaki lima berjejer rapi dengan aneka ragam jajanan yang menggiurkan. Tak lupa aku pun mengabadikan kebersamaan kami dalam bentuk vidio singkat dan photo, lalu kuunggah semuanya ke story w******p, dan 5 menit kemudian terlihat Sonia melihat semua photo dan vidio kemesraan kami bertiga, hihi ia pasti tengah terbakar api cemburu, semoga saja di rumah tak terjadi kebakaran.
Derrrrrt! Derrrrrt!
Ponsel Bang Surya terus berdering, itu pasti panggilan dari Sonia tapi, bukan Sarah namanya kalau tidak membalas kecurangan dengan licik, kurampas paksa ponsel Bang Surya lalu merijek panggilan Sonia dan mematikan ponselnya.
"E-eh kenapa diambil dek, itu telpon dari siapa," ucapnya khawatir.
"Dari nomor ga dikenal, paling orang iseng. Udahlah kita lagi bersama jadi nikmati kebersamaan ini tanpa ada gangguan dari orang lain," jawabku tegas, terlihat ia menghela nafas. Ada raut gelisah dari wajahnya.
Ketika menghadapi pelakor tak harus selalu menggunakan emosi juga 'kan. Membuat dia merasa sangat jengkel dan marah itu yang lebih memuaskan hati tanpa harus mengotori tangan sendiri.
Tak terasa waktu berputar dengan cepat.
Waktu tengah menunjukan pukul 23:00, kami semua sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang, nampak Carla tertidur karena kelelahan. Kami sampai melupakan bubur ayam pesanan Sonia yang sudah dingin, sejak tadi aku terus mengalihkan perhatian Bang Surya agar melupakan Sonia dan pesanannya. Aku tak membayangkan sekacau apa ia sejak tadi menunggu kepulangan Bang Surya.
Sampai dirumah dan mobil telah terparkir di garasi, Bang Surya menggendong Carla menuju kamar, tak lupa aku mengekor di belakangnya, lalu mengajak Bang Surya untuk masuk kamar, kemudian mengunci pintu dan kuncinya aku sembunyikan agar ia tak keluar kamar dan berduaan lagi seperti malam kemarin.
"Dek, aku ga enak lho sama Sonia, dari tadi dia pasti menunggu kita," ucap Bang Surya cemas.
Sudah pasti dia menunggu, lihat saja besok pasti kekasih gelapmu itu akan marah, Bang!.
"Sudahlah ga usah dipikirin, dia pasti udah tidur jam segini. Kamu kok cemas gitu sih, Bang," jawabku dengan tatapan menyelidik.
"Terus ponsel Abang mana?"
"Ponsel Abang mati, udahlah mendingan tidur aja, udah malem begini malah main handphone," jawabku datar. kemudian Bang Surya membalikkan badan membelakangiku.
*
Pagi berkunjung, tapi Sonia tak menampakkan batang hidungnya di hadapanku, ah biarlah pasti ia sedang merajuk. Aku harus tetap megawasinya. jangan sampai lengah sehingga mereka bisa berduaan diam-diam di belakangku. Aku bukannya naif, tapi hanya ingin bermain-main saja sebentar, setelah puas akan aku hempaskan mereka berdua jauh-jauh dari hidupku. Semoga kalian akan menyesal sampai mati!.
Matahari mulai terik namun Sonia tak kunjung keluar dari kamarnya karena letak kamarnya dekat dengan ruang keluarga makanya aku bisa memperhatikan dengan leluasa sambil menonton televisi. Bang Surya nampak gelisah dan mondar mandir ga jelas sejak tadi.
Kuketuk pintu kamar Sonia, tak lama ia pun membuka pintu, kedua matanya terlihat sembab seperti habis menangis, mungkin ia patah hati karena kekasih gelapnya melupakannya semalaman, hihi. Perempuan sejahat dia bisa menangis juga rupanya.
"Kamu jangan dikamar aja, yuk belajar beres-beres. Inget kamu itu perempuan jangan males," ucapku tegas, ia merenggut, bola matanya bergulir menatap Bang Surya yang berdiri agak jauh di belakangku.
"iya!" Ia berkata seraya beranjak masuk kembali ke kamarnya.
"Eh kok masuk lagi, ayok beresin kamar kakak dulu," sahutku, wajahnya nampak semakin merenggut.
Karena aku memaksanya dengan perkataan yang cukup pedas, ahirnya ia pun menurut.
"Dek, Sonia itu lagi sakit kok malah disuruh bekerja, jahat banget kamu sama adik sendiri" ucap Bang Surya keberatan.
Berani dia membelanya di hadapanku. Aku jadi jahat begini ya karena kalian juga.
"Ya ampun cuma sakit begitu doang, ga usah manja lah jadi perempuan," jawabku tegas.
"Sonia itu lagi sakit dia harus istirahat, nanti saja lah kalau dia sembuh baru diajarinnya," ucapnya lagi kali ini intonasi suaranya sedikit meninggi.
Tak kuhiraukan ucapannya, gegas aku menggandeng tangan Sonia menuju kamar.
"Tuh kamu sapu kamar ini dengan bersih ya. nyapunya dari sebelah sana dulu!" Aku menyuruhnya bagaikan seoarang nyonya dan ia babunya. Walaupun cemberut tapi ia nurut juga.
Sonia mulai menyapu dari sudut kamar dengan ogah-ogahan, namun langkahnya terhenti ketika melihat bungkus bekas viagra yang sengaja aku letakkan di lantai, perlahan Sonia memungut bungkus viagra yang sudah tak berisi itu.
"apa itu Sonia?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Oh itu bekas bungkus viagra, kalau kamu ga tau itu bungkus obat k*at, semalam Bang Surya yang memakainya, huh dia memang teledor melemparkan sampah begitu saja. Sudahlah kamu masih gadis tak baik liat beginian!" Aku merebut kembali bungkus viagra itu dari tangannya, nampak ia termenung dan ada sedikit buliran bening dimatanya. Rasain pasti dia cemburu, siapa suruh jadi duri dalam rumah tanggaku.
Sengaja aku meninggalkannya di kamar menuju dapur, tak lama ia pun keluar dari kamarku setengah berlari dan dengan cekatan Bang Surya mencekal tangan Sonia sambil celingukan, langkahnya pun terhenti, Sonia nampak menangis dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Bang Surya.
"Lepaas!" ia menjerit, kemudian aku menghampiri mereka sambil membawa segelas air, hanya formalitas.
"Sonia ... kamu kenapa nangis? kamu juga, Bang, ngapain pegang-pegang tangan Sonia?"
Bang Surya gelagapan seraya melepaskan cengkraman tangannya, ia bingung di sisi lain kekasih gelapnya sedang merajuk dan di sisi lain istri sahnya terus mengintrogasinya.
Bersambung