Flower-2

1420 Words
Setelah melihat-lihat dan mencoba selama hampir setengah jam, akhirnya calon pembeli barang daganganku memilih tiga setel pakaian. Dia membayarnya secara tunai. Setelah aku membungkus rapi barang belanjaannya, dia buru-buru pamit pulang. Katanya ada tamu sedang menunggu di rumahnya. Aku mengiyakan saja ucapannya, mengantarnya hingga keluar rumah. "Mbak Monica suka bunga dan tanaman ya?" tanyanya, saat melintasi di kebun mini milikku yang berada di teras depan. "Iya, Mbak. Suka banget. Kalau bunga paling suka bougenville, mawar dan tulip. Kalau tanaman, ya  keladi dan jenis-jenisnya itu," jawabku dengan penuh suka cita. "Kalau melati suka nggak?" tanyanya. "Nggak terlalu suka, Mbak." "Tapi tetap ditanam ya, meski nggak suka. Benar-benar pecinta tumbuhan," komentarnya, sembari menahan senyum. Aku cukup terkejut mendengar ucapan wanita itu. Ketika kepalaku mengikuti arah telunjuknya, aku mengernyit heran melihat ada pohon bunga melati tumbuh subur di samping pagar pembatas teras rumahku. Sejak kapan aku menanam bunga melati? Tanyaku dalam hati. "Tapi bunga melati bagus, Mbak. Aroma alami untuk memberi keharuman di rumah. Katanya juga kalau punya usaha trus di rumahnya ada tanaman melati, itu semacam mendatangkan rejeki, karena orang terpikat oleh aroma yang dikeluarkan bunga melati itu," jelasnya panjang lebar. "Masa, sih, Mbak? Saya kok baru dengar ya." "Katanya gitu. Ya aku juga percaya nggak percaya, Mbak. Sama halnya dengan menggunakan tanah kuburan untuk media menanam bunga. Selain itu tanah kuburan juga dipercaya menangkal pengaruh buruk yang dikirim oleh orang-orang yang iri dengki sama usaha seseorang, sekaligus juga menghancurkan rumah tangga dan usaha orang lain." "Oh...ya? Kalau yang saya tahu justru kegunaan tanah kuburan itu untuk mengganggu usaha dan rumah tangga seseorang," jawabku lagi. "Iya, Mbak. Coba aja kalau nggak percaya. Mbak Monica buktikan sendiri, mengganti tanah yang di pakai di pot itu dengan tanah dari tujuh kuburan yang berasal dari tujuh penjuru mata angin." "Astaga...Ngeri banget, Mbak." "Dicoba aja dulu. Tanah kuburan itu kan agak basah dan lembab. Nah, itu yang membuat tanaman tumbuh subur." Aku menggeleng sembari bergidik ngeri. "Nggak, deh. Siapa juga yang mau mendatangi tujuh kuburan yang ada di tujuh penjuru mata angin cuma buat mengambil tanah doang. Kalau kelihatan orang bisa dikira mau dipakai untuk praktek perdukunan." "Mau aku bantu? Kalau mau, besok atau lusa aku bawakan tanah dari tujuh kuburan yang ada di tujuh penjuru mata angin. Gimana?" Tanpa pikir panjang aku mengangguk mengiyakan tawaran wanita itu. Dalam pikiranku sudah terpikir akan memiliki taman yang lebih indah dan subur setelah mengikuti saran darinya. Akhirnya kami sepakat bertemu di rumahku besok lusa pukul sepuluh pagi. --- Akhza pulang kantor sekitar pukul lima sore. Dia selalu bertanya apa yang terjadi atau aktivitasku selama dia bekerja. Aku dengan senang hati menceritakan aktivitasku seharian ini dari mulai yang penting hingga tidak penting sama sekali, sembari menyiapkan segala kebutuhan Akhza. "Heran, deh, Za. Kok, bisa ada bunga melati ya di teras depan. Padahal aku nggak merasa pernah menanam bunga itu," ujarku, setelah menerima pakaian kotor milik Akhza. Akhza sampai menghentikan kegiatannya membuka gesper sabuknya. Namun hanya beberapa saat, dia kembali melanjutkan apa yang tadi dilakukannya. "Kebanyakan bunga, sih, sampai lupa," jawab Akhza dengan entengnya. "Nggak mungkin lupa aku kalau sama bunga. Aku nggak pernah suka bunga melati, mana mungkin aku memelihara bunga yang bukan bunga kesukaanku." "Mungkin aja bunga itu tumbuh secara liar karena tahu kamu nggak menyukai dia, sedangkan kamu sangat menyukai teman-temannya." "Apaan, deh, Akhza. Bercandanya nggak lucu," kesalku. Akhza menahan senyumnya. Dia mengecup bibirku pelan. "Nggak usah dipikir. Anggap aja bonus dari Tuhan karena kamu sudah menjaga makhluknya yang lain dengan sangat baik," ujarnya, menyentuh daguku dengan jemarinya. Aku menghela napas panjang, sama sekali tidak puas dengan pendapat Akhza. Laki-laki itu kemudian berlalu begitu saja, melenggang santai keluar kamar menuju kamar mandi. Sampai pada saat aku bercerita soal tanah kuburan yang akan kugunakan untuk media tanaman dan bunga-bungaku, Akhza menatap seolah ingin protes. Namun akhirnya dia hanya menggeleng, seperti sedang menghalau keheranannya sendiri. "Tanaman dan bunga-bunga kamu itu sudah tumbuh subur dan sangat indah. Mau diapain lagi sampai pakai tanah kuburan segala," protes Akhza. "Aku penasaran aja. Apa benar yang dibilang sama perempuan tadi soal tanah kuburan bikin tanaman tumbuh subur dan terlihat makin indah. Kali aja kalau beneran terjadi aku bisa membuka bisnis jual beli tanaman mahal. Hasilnya lumayan, loh, Za. Sekarang kan tanaman seperti keladi, aglonema dan monstera lagi hits banget. Pasti peminatnya banyak," ujarku menggebu. "Terserah kamu sajalah. Oh iya, besok lusa mau ada tamu di rumah ini," ujar Akhza saat kami sudah siap di ruang makan. "Siapa?" tanyaku kurang suka. Aku tergolong orang yang kurang suka berinteraksi dengan orang lain di rumah. Lebih baik bertemu di luar rumah. Aku kurang suka rumahku dimasuki oleh orang asing selain aku, Akhza dan keluarga dekat kami. "Atasan aku dan beberapa staf yang lain," jawab Akhza kemudian menyendokkan nasi serta lauk ke dalam mulutnya. "Mau ngapain?" bantahku. "Silaturahmi. Kamu masak yang enak ya. Nanti aku kasih uang tambahan dapur untuk belanja keperluan masak dadakan." "Kenapa mesti dibawa ke rumah, Za? Ajak makan di luar ajalah," rajukku. "Aku sudah terlanjur ngiyain." "Harusnya kamu tanya aku dulu." "Ya ampun, Moni. Cuma sebentar aja. Kami mau mengobrol hal penting soal pekerjaan. Kalau di tempat umum takut kedengaran atau kelihatan orang lain." "Ya cari restoran yang menyediakan private room. Kan banyak. Nggak harus di rumah kita, Za." "Ya udah lain kali aja. Untuk besok lusa tetap di rumah ini," ujar Akhza tak bisa diganggu gugat. Mungkin sikapku agak keterlaluan. Aku benar-benar trauma. Entah saat usia tujuh atau delapan tahun, aku merasa menjadi anak paling kesepian yang pernah ada di dunia ini. Betapa tidak, saat usiaku itu aku sudah harus hidup terpisah jauh dari orang tua. Aku tinggal bersama nenekku di sebuah desa yang cukup terpencil dan jauh dari keramaian kota. Aku tidak punya teman. Lebih tepatnya tidak ada yang mau berteman denganku. Pernah ada  satu cerita. Saat itu aku belum dipindah tinggal di desa. Ada orang asing yang bertamu ke rumah orang tuaku dan sangat menyukaiku. Katanya aku cantik dan menggemaskan. Namun tidak lama setelah itu orang asing tersebut mengalami kecelakaan tidak jauh dari rumah orang tuaku. Hal tersebut kemudian berlanjut selama berkali-kali pada orang berbeda yang bertamu ke rumahku. Orang tuaku sering membawaku ke rumah paranormal untuk melihat keadaanku. Namun sudah beberapa paranormal didatangi tidak ada satupun yang bisa memperbaiki keadaanku. Karena seringnya bertemu dengan berbagai jenis paranormal itulah yang membuatku pada akhirnya menjadi penasaran pada dunia gaib dan hal-hal berbau mistis. Hingga suatu hari orang tuaku bertemu dengan orang asing yang katanya bisa meramal keadaanku. Kata orang asing itu, aku diikuti oleh makhluk halus. Dia selalu berada didekatku ke manapun kakiku melangkah dan tidak suka aku disukai atau dikagumi orang selain keluarga terdekatku. Pantas saja setiap aku diajak oleh mama bertandang ke rumah tetangga atau ke rumah teman mama, bila tetangga punya hewan peliharaan seperti kucing, maka kucingnya akan lari kebiri-b***t. Sedangkan bila memiliki anak balita, maka balitanya akan berteriak histeris dan akan berhenti bila aku sudah meninggalkan rumah itu. Aku sampai tidak diterima kerja kelompok di rumah temanku karena mendengar soal keanehanku. Orang asing itu juga yang mengatakan kalau tidak ingin diikuti oleh makhluk halus itu lagi, aku harus tinggal di daerah yang jauh dari rumah orang tuaku dan harus daerah yang menyeberangi lautan, karena makhluk halus itu sendiri adalah makhluk penunggu rumah orang tuaku. Jadi makhluk itu akan berhenti mengikutiku bila dia jauh dari 'rumahnya'. Percaya pada perkataan orang tersebut serta tidak ingin membuatku semakin terluka akibat perundungan, akhirnya orang tuaku memutuskan menitipkanku pada nenek. Aku harus hidup dengan menahan kerinduan pada orang tuaku yang tinggal di luar kota demi kebaikanku sendiri. Beberapa kali aku mencoba melarikan diri dari sekolah, dan tidak pulang hingga berhari-hari. Aku merindukan orang tuaku. Semua terasa tidak adil, tetapi aku tidak tahu mesti protes pada siapa. Pada akhirnya aku kembali pulang ke rumah nenek setelah mendengar Mamaku sakit karena memikirkan aku yang hilang selama beberapa hari. Sejak hari aku kabur dari sekolah, tidak sedetik pun aku melalui hidup tanpa merasa rindu pada siapapun. Aku menjalani hidup secara monoton seperti perputaran jarum jam. Berputar dari angka satu hingga dua belas. Begitu saja setiap hari selama bertahun-tahun. Meski hal itu berlangsung hanya sampai usiaku beranjak remaja dan aku sendiri juga sudah berdamai dengan keadaan, tetapi keterasingan membuatku terbiasa membatasi diri dengan dunia luar. Aku lebih suka menyendiri, tidak bersinggungan dengan orang asing dan berusaha menutup diri dari dunia luar. Aku sangat beruntung bertemu dengan Akhza yang tidak berpikiran sempit, bahkan kelewat realistis, tidak seperti diriku. Akhza juga yang memperkenalkanku pada dunia luar yang indah. Sayangnya Akhza tidak mampu mengubah pemikiranku yang mudah penasaran pada sesuatu hal yang berbau mistis dan bersifat tahayul.  ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD