her shoulder

998 Words
Aroma cinnamon roll yang baru keluar dari oven menguar memenuhi dapur yang terhubung dengan meja makan rumah itu. Seorang wanita dengan rambut disanggul rapi tengah sibuk mengeluarkan loyang-loyang dari oven. Ambar, Ibu Vina memang memiliki toko roti yang buka di sebuah pusat perbelanjaan. Saat libur bekerja, wanita paruh baya itu akan disibukkan dengan kegiatan di dapur rumahnya sendiri. Membuat roti-roti yang dihidangkan untuk keluarganya terlebih Vera kakak Vina hari itu pulang dari boarding school. Vina masih tenang mencubit-cubit cinnamon roll yang masih panas agar bisa dia cicipi sembari menunggu roti yang akan diantar ke rumah Kiki seperti perintah ibunya tadi. Vera bergabung ke meja makan, asal mencomot roti bagian Vina dengan garpu yang tentu saja membuat adiknya itu melotot sebal. Tetapi Vera hanya menunjukkan senyuman sembari memutar-mutar garpu mengejek Vina. “Bu, semalem ayah kemana?” Vera membuka obrolan. “Rapat. Ada yang mau jadi pejabat baru” Sudah bisa dipastikan obrolan ibu dan anak yang jarang bersua itu akan membuat jengah Vina. Memutar bola matanya malas, Vina memilih berdiri lalu membantu mengoles cream cheese agar segera pergi mengantar roti itu. “Ibunya Kiki jadi mau nyalon DPR?” “Iyaa makanya sekarang sopan banget sama ibu” Benar kan topik tentang keluarga Kiki pasti begitu seru untuk mereka bahas. Setidaknya ada satu hari dalam sepekan di mana keluarganya akan bersinggungan dengan keluarga Kiki yang berujung dengan sikap saling menyindir di belakang satu sama lain. Saat mendengar ibunya membicarakan hal seperti itu membuat Vina teringat fakta bahwa keluarganya dan keluarga Kiki kerap kali terlibat perang dingin. Tipikal tetangga yang kurang cocok tapi bersikap begitu manis untuk menutupi b****k. Enggan mendengar lebih lama obrolan yang tidak bisa dia cegah, Vina segera mengambil sepiring roti yang akan dia antar ke rumah Kiki. Kakaknya nampak sayup berpesan dari dalam rumah melarang Vina berlama-lama di rumah Kiki nanti. Tak perlu diberi pesan seperti itu sebenarnya Vina juga kurang betah bila berlama-lama di sana. Sampai di halaman rumah Kiki kedatangan Vina sudah disambut dengan hal yang sedang tidak ingin dia dengarkan pula. Sama halnya dengan Vina yang tidak mau mendengar obrolan ibu dan kakaknya tentang keluarga Kiki saat itu juga dia tak mau mendengar omelan Lina, Mama Kiki. Salah satu alasan Vina sering enggan menuruti ajakan Kiki untuk bermain di rumahnya. Omelan Lina bukan ditujukan untuk orang lain karena sudah pasti untuk Kiki anaknya sendiri, topik omelan yang sudah Vina hapal yaitu perihal nilai Kiki, perilaku Kiki, dan berujung membawa-bawa nama Vina. Tanpa bermaksud menguping pun suara Mama Kiki yang tengah marah itu terdengar dari kejauhan membuat Vina enggan melangkah lebih jauh melintasi pelataran rumah bernuansa putih gading itu. “Kii, kamu belajar yang bener dong. Mama sama Papa udah susah-susah kerja buat bayar guru les. Kalau hasilnya sama kaya gini percuma Ki. Kamu jangan main terus lah, itu Vina baca buku terus rajin belajar ga kaya kamu ngegame aja kerjaannya. Manfaatin dong kamu bisa deket sama Vina ketularan nilainya bagus gitu” Huft Vina menghela napas berat lagi-lagi tebakannya benar. Ia tak mau Mamanya Kiki membandingkan mereka berdua. Demi melihat piring cinnamon roll yang ada di tangannya membuat Vina memberanikan diri mengetuk pintu rumah yang sedang dalam suasana penuh ketegangan itu. Setelah tiga kali ketukan pintu, omelan Mama Kiki berganti menjadi langkah mendekat ke arah pintu. “Loh nak Vina” “Iya tante, ini mama bikin cinnamon roll” “Aduuh masih hangat, makasih ya. Sini masuk dulu, tante ganti dulu piringnya ya." ucap Lina ramah. Vina mengekor hingga sampai di ruang tengah di mana di sana Kiki tengah duduk tepekur. Dia ikut duduk di seberang sofa hingga kehadirannya membuat Kiki mengangkat kepala, mereka saling bertatapan. Kertas-kertas ulangan yang terhampar di meja menjadi bukti alasan kemarahan Lina. Tidak ada yang membuka suara hanya lewat mata saja Vina dan Kiki seolah berbicara satu sama lain. "Vina bantuin Kiki ngerjain PR dulu ya, Kiki itu udah di les in mahal-mahal tetep aja ga ngerti-ngerti materinya, pasti kalau diajarin nak Vina bisa ketularan pinternya. Kiki ini mumpung ada Vina sana belajar” perintah Lina yang melongok dari area dapur sebagai tanda bahwa Vina harus tinggal lebih lama. Vina hanya dapat tersenyum canggung dipaksakan, mengiyakan perintah itu. Dia risih dengan semua ucapan Mama Kiki yang tentu saja melukai hati anak semata wayangnya. Dapat Vina lihat bahwa sahabatnya itu menahan amarah, mukanya memerah karena kesal. Kiki mendengus kemudian menarik lengan Vina menuju kamarnya, membanting pintu dengan kasar. "aaaaarrrrgggghhhhhh" Kiki yang memunggungi Vina menggeram tertahan tangannya yang menutupi muka. Setelahnya dia menghempaskan tubuh di tempat tidur. Vina menatap Kiki yang kini telah berbalik menatap langit-langit dan mengusap wajahnya kasar. Mendekat lalu mengambil tempat duduk di dekat Kiki, mencoba mendistraksi pikirannya Vina kemudian mengambil komik hanya sekedar membolak-balik halamannya. Untuk beberapa saat dua orang itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba sepasang lengan melingkar di tubuh Vina. Terpaku pada lengan yang kini begitu lekat padanya, Vina tak berniat melihat mengangkat kepalanya yang tertunduk. Kiki memeluk Vina dari belakang sembari menggelayutkan kepalanya di pundak gadis remaja itu. “Capek Vi…” gumamnya. Suara Kiki begitu lirih namun dalam jarak sedekat itu tentu dapat dengan jelas Vina dengarkan. Tanpa perlu menoleh Vina tahu Kiki sedang memejamkan matanya kemudian mengayun lembut tubuh mereka berdua ke kanan dan ke kiri. Seperti yang sudah-sudah. Mencoba memberikan perasaan tenang Vina mengusap lengan yang tengah memeluknya. Kiki melesakkan hidungnya pada ceruk leher Vina yang tidak tertutup sepenuhnya oleh rambutnya yang hanya dicepol asal. Menghirup dalam-dalam mencoba mencari lebih banyak sensasi tenang yang dia dapatkan. Perlahan Vina memutar tubuhnya menyejajarkan pandangannya dengan Kiki. Mereka saling tatap hingga akhirnya Vina merangkulkan tangannya ke tubuh Kiki. Tanpa perlu banyak kata yang terucap, pelukan itu sudah mengungkapkan semua cerita dan perhatian yang ingin mereka sampaikan masing-masing. Banyak cerita yang mereka bagi satu sama lain. Kebersamaan membuat mereka saling mengerti Mereka nyaman bersama, menguatkan. Seperti bahu Vina yang nyaman sebagai tempat bersandar Kiki dan pelukan Kiki yang Vina tahu adalah hal yang paling nyaman untuknya. Semua akan baik-baik saja, selama masih ada kamu aku tak apa. Kita bisa melewati semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD