Selesai mengantarkan Ibu dan anak itu pulang, Liana segera menuju ke arah rumah sakit, tempat mamanya dirawat. Dia tidak bisa meninggalkan wanita berumur empat puluh tahunan itu sendiri, tanpa kehadirannya di dekat dia. Serta merta tidak dapat berpikiran seperti itu, alhasil akhirnya secara sangat singkat tiba-tiba dia melangkah lebih cepat meninggalkan lokasi keadaan tempatnya berpijak.
“Mom pasti sudah sadarkan diri. Aku harus cepat berada di depannya sebelum beliau benar-benar membuka mata.” Gesit berlari tanpa pikir panjang, akhirnya secara tulang lenggang jejak kaki Liana mampu mengejar setiap detik yang berjalan teratur. Mungkin gadis itu memang hendak mewujudkan apa yang sudah menjadi target dalam pemikirannya.
“Tunggu aku!” panggil seseorang dari arah yang berlawanan dengannya. Sontak seketika yang merasa terpanggil memalingkan wajah lantas berbalik arah ke belakang.
“Ya, dengan saya sendiri?” tanyanya sedikit kebingungan.
Tersenyum lebar dan hangat usai melihat Liana sudah berhadapan wajah dengannya, sosok tersebut serta merta langsung memberikan isyarat untuk bisa segera mengikuti jejaknya. Sebelum itu, awalnya Liana yang berada di tempat tidak mampu berbuat apa-apa dan hanya saling pandang dengan sosok yang berbicara dengan dia.
“Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Liana lagi.
Berhenti berekspresi, sontak dia berbicara. Perkenalan yang terjadi menjadi pembuka dalam pertemuan mereka. Padahal sudah dipastikan ulang bahwa sesungguhnya Liana sama sekali tidak mengenali sosok yang dimaksud.
“Saya Jeck, kebetulan pengunjung di rumah sakit ini juga. Kamu sedang menunggu ibumu, bukan?”
Terkejut dan sedikit salah tingkah, Liana yang semula terdiam hanya bisa melirik segala arah. Dia memandangi lamat-lamat wajah laki-laki di depannya, kemudian tersenyum heran. Banyak yang hendak ditanyakan pada sosok tersebut, tetapi terhalang karena sang empu suara masih mengambil alih arah pembicaraan tersebut.
“Saya kebetulan juga sedang menunggu Ayah, yang dirawat juga di rumah sakit ini. Untung saja pertemuan kita berjalan di sini, ya. Kalau tidak....” Seakan-akan menggantung ucapannya dan bersih keras memiliki maksud tertentu, arah pembicaraan lawan bicara jelas-jelas memancing obrolan lebih lanjut. Sebagai sosok pribadi yang mudah terbawa dalam suasana ini, tentu saja Liana langsung menanyakannya.
“Apa itu? Maksud kamu apa, saya juga tidak mengerti sama sekali.”
Salah tingkah dan bergerak tak konsisten, sosok pria bernama Jeck itu langsung memecah pembicaraan yang ada. Dia membentuk gerakan tangan seperti seolah mempersilakan untuk lawan bicara lanjut ke suatu tempat. “Silakan, kita berbincang di sana saja,” tuturnya yang mengarahkan pandangan dan arah tangan ke kursi tunggu dekat areal rumah sakit.
Berjalan mereka melewati koridor, untuk menuju ke tempat yang dicari-cari untuk sekadar melanjutkan pembicaraan itu. Di sini Jeck yang jelas-jelas sangat menikmati proses tersebut. Dia juga sepertinya memang tidak segan-segan untuk mengetahui lebih lanjut pasal seseorang yang berhadapan dengannya sekarang.
*
Tarikan napas Jeck terdengar jelas, dari kedua ambang telinga Liana. Keduanya tidak berani saling menatap, karena obrolan ini tampaknya masih menetap di satu tempat saja. Entah, kapan dimulainya dan berakhir, masih cukup ditunggu secara baik-baik dan dengan tindakan terdiam tanpa kata.
“Aku ... aku ... aku....”
“Aku apa? Sebenarnya kamu siapa, dan ada tujuan apa tiba-tiba berada di dekatku? Tanpa maksud macam-macam, bukan?” ujar Liana menegaskan.
Sontak menggeleng cepat, Jeck menolak tuduhan yang diberikan wanita tersebut. Dia berdiri, menghadap ke arah Liana sesaat sebelumnya memutar tubuh melirik ke arah lawan bicara. “Bukan. Jangan, tolong tunggu aku dulu. Ada yang ingin aku katakan. Penting,” lanjutnya.
Semakin terpancing dengan kata-kata itu, Liana yang baru saja hampir beranjak langsung terdiam di tempat. Dia menatap sepasang mata pria itu dan mengerutkan dahi secara perlahan. “Katakan sekarang!” pintanya.
Bergerak menarik napas, mulai diarahkan obrolan mereka pada suatu tahap yang serius. Jeck sudah kembali terduduk di tempat, dan meminta Liana untuk ikut duduk di sana. Mereka saling berhadapan wajah dan sepertinya pembicaraan akan dimulai sedikit lagi.
“Sebelumnya aku meminta maaf karena terlalu lama membicarakan soal ini. Jujur, aku pikir kamu sudah marah, bukan?” tanyanya ragu-ragu. “Tapi, bukan itu yang sebenarnya aku pikirkan awal. Ini menyangkut tentang bagaimana cara bisa mengatakan ini padamu.”
“Soal apa?” Liana seketika angkat bicara.
“Aku adalah Jeck, salah satu keluarga pasien yang dirawat sebelah kamar ibumu. Kita sudah saling kenal, tetapi mungkin aku yang menyadari itu.”
“Jadi, kamu anak Tuan Zul? Yang divonis sakit jantung, bukan? Maaf, aku tak mengerti.” Liana sontak merasa tidak enak hati. Arah pembicaraan dia berlanjut pada penyesalan bersalah. Sebenarnya apa yang perlu disesali dan disalahkan?
“Iya, tidak masalah. Aku mengerti keadaan ini. Bukan salahmu yang tidak mengenal aku. Kita memang terlihat tak mengenal satu sama lain, tetapi aku mengenalmu awak kedatangan keluarga itu di sini.”
“Maksudnya?” Liana masih terus menerus tidak memahami soal ini. Dia mengerutkan dahi dan menyibakkan rambut seketika usai mendengar pembicaraan Jeck itu.
“Aku tidak pernah lepas dari gerakan dan tindakan yang kamu lakukan. Dari mulai tangisan, perasaan haru, serta gerakan kami dan ayahmu aku mengerti. Kalian memang terlihat seperti keluarga harmonis.”
Perlahan meneteskan air mata lepas mendengarkan kata-kata Jeck, Liana yang terdiam mendadak memejamkan mata sejenak. Dia meradang luka, serta pasal ingatan itu kembali lagi tertinggal di benaknya. Cukup bisa dirasakan sebenarnya memang Liana sedang tersentuh oleh ucapan pria di depannya.
“Aku tidak pernah mengerti jika kamu selalu memperhatikan aku. Kita sudah terpisah dari segala bentuk kesadaran yang tertunda. Jika seperti ini, mungkin aku cukup mengingat bahwa pertemuan selanjutnya, kita adalah teman yang sudah mengenal lebih jauh.”
Tertawa kecil mendengar ucapan Liana, Jeck yang awalnya memasang ekspresi wajah serius mendadak bahagia dan tak dapat menahan lagi. Dia mengarahkan pandangan pada sosok di depannya, soal bagaimana bisa melihat seseorang sebaik Liana ada dan tersisa satu-satunya. “Aku pikir itu tidak perlu dipermasalahkan. Terima kasih, Liana, kamu memang sangat berbaik hati untuk bisa menerima lingkungan pertemanan yang ada.”
“Sama-sama. Tak masalah, karena ini salahku. Seharusnya aku lebih menyadari bahwa kamu memang tengah memperhatikan aku di sepanjang pergerakanku di sini.”
Merasa tidak enak untuk sikap dan pribadi masing-masing, dimulainya rasa canggung dalam diri mereka. Lantas, usai kejadian itu, akhirnya lamat-lamat waktu menghentikan secara mendadak ketika baru saja pembicaraan ingin dilanjutkan.
“Bagaimana, jika aku sesekali mengajak kamu untuk bertemu dengan ayahku? Sekadar untuk menjaga persaudaraan saja, karena kita sama-sama sedang dalam batas ujian.”
“Boleh. Nanti giliran kamu aku kenali pada Dad dan Mom.”
Melempar senyum dan perasaan bahagia satu sama lain, keduanya sangat terlihat bahagia. Sontak, secara samar-samar bisa dipastikan bahwa Liana terpaksa harus merenggang meninggalkan tempat karena dirasa ada sesuatu untuk mamanya yang berada di genggaman tangan.
“Maaf, aku harus kembali. Mom menunggu ini!” ucapnya yang diikuti gerak menunjukkan kantung plastik pada lawan bicara.