Keesokan harinya. Carl Winston berangsur-angsur terjaga. Sambil menyandarkan diri, ia mengerling pada perempuan yang berbaring di sebelahnya.
"Semalam kamu tidak sehebat biasanya, Carl ," tukas perempuan itu sembari menarik selimut, menutupi tubuhnya, "Apakah kepergian Albert Winston masih mengusik pikiranmu?"
Carl menghela napas panjang. "Dia adik ku Christina!. Apalagi kepergiannya begitu mendadak. Tentu saja aku masih merasa kehilanganna Christina."
"Well, itu bukan urusanku. Tapi jadi merusak kesenangan, dan bisnisku."
Dahi Carl mengernyit. "Kesenanganmu?" tanyanya, lantas mengambil dompet dari dalam celana yang tergantung di balik pintu. "Ambillah."
Diambilnya beberapa lembar uang dari Carl , kemudian menghitungnya. "Ini termasuk tips?"
"Iya. Kulebihkan dari biasanya. Anggap saja untuk mengganti ketidakpuasanmu. Lagipula, itu kan yang lebih kamu pedulikan?!"
Perempuan bernama Christina tersenyum lebar. "Pasti. Imbalan yang pantas untuk jasaku pada laki-laki seperti dirimu."
"Lekas mandi, lalu keluar dari tempatku," ujar Carl ketus.
"Kamu pelangganku yang paling menyebalkan! Jika saja kita tidak sering berbisnis, sudah dari dulu aku enggan. Lebih baik aku langsung pulang daripada berada di sini." Christina buru-buru berkemas.
"Nanti akan kuhubungi kalau membutuhkanmu."
"Siapkan bisnis lebih besar, atau aku malas menemuimu!" sahut Christina , kemudian membanting pintu.
Carl berjalan memasuki kamar mandi, sambil menggerutu, "Dasar perempuan jalang."
Baru saja ia hendak membasuh tubuh, tiba-tiba terdengar suara bel di dalam unit apartemennya. "Sebentar!" Dengan enggan ia melilitkan handuk di pinggang, lantas berjalan ke pintu depan. "Untuk apa kamu kembali, Ja—" Carl tak meneruskan kalimatnya, terkejut melihat dua orang yang baru saja datang.
Salah seorang di antaranya adalah seorang pria jangkung, dengan wajah tirus, sepasang mata cekung, hidung mancung yang bengkok ke bawah, serta rambut hitam kelam. Sementara seorang yang lain adalah perempuan mungil berparas cantik, dengan rambut pnjang coklat berombak.
"Edward Westfallen, dan Liana Westfallen," ucap pria tersebut memperkenalkan diri, seraya menunjukkan Tanda pengenalnya. "Adik Anda menghilang, tapi Anda malah bersenang-senang semalaman," tukas Edward, yang terlihat santai sambil mengunyah permen karet.
"Ah, kamu lagi Liana! kamu mau unjuk kemampuan sebagai seorang Detektif?" Carl berkata ketus, merujuk dugaan Edward Westfallen yang tepat sasaran.
Alih-alih dijawab oleh Edward, justru Liana yang angkat suara, "Tidak perlu kemampuan seorang Detektif untuk mengetahui kejadian semalam, jika bertemu dengan perempuan yang keluar dari dalam unit dengan bekas noda pada pakaiannya."
"Ditambah lagi, pakaian serta rambut yang berantakan," timpal Edward, menggenapi kata-kata Liana .
Semburat merah di wajah Carl pun kian kentara. Rasa malu bercampur kesal, membuat darah naik ke wajahnya. "Apakah kedatangan Anda ada terkait kepergian Albert Winston?" Carl bertanya, ketus.
Edward Westfallen tidak menjawab, berjalan masuk. Pandangannya menyelisik ruangan apartemen, serta benda-benda di dalamnya, hingga berhenti di depan lukisan yang menggantung di salah satu dinding.
"Tidak ada apa-apa di sini," tukas Carl .
"Jan Vermeer." Edward memperhatikan lukisan tersebut. "Pelukis Belanda, yang dikenal dengan lukisan interior kelas menengah. Lahir pada tahun 1632, dan meninggal pada usia 43 tahun."
Carl tak terkesan dengan sikap Edward yang lancang. "Kalau ada yang ingin ditanyakan, langsung saja."
Senyum Edward tersungging, sambil memandang Carl . "Rupanya Anda bukan orang yang penyabar. Oh iya, di mana tong sampah? Atau saya boleh membuang permen karet di lantai?"
Carl melemparkan pandangan ke tong sampah di pojok ruangan. "Penyabar? Tergantung maksud kedatangan tamuku."
Melihat ketidakramahan tuan rumah, Liana ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan di sana. "Di mana Anda pada pukul se—"
"Saya punya dua permintaan." Edward menginterupsi Liana , sembari menutup penutup tong sampah.
Carl menatap Edward dengan tajam. "Sebutkan."
Edward kembali tersenyum, seraya duduk di sofa. "Pertama. Apakah Anda berkenan menyajikan minuman dingin pada kedua tamu Anda yang ramah ini?"
Permintaan pertama Edward sungguh di luar dugaan Carl , tetapi ia berusaha bersikap tenang, dan mengambil sebotol minuman dari lemari es.
"Berikutnya," ucap Carl , sembari menuangkan minuman ke dalam gelas.
"Boleh tunjukkan foto terakhir Anda bersama Albert Winston."
Carl tersenyum dengan permintaan kedua Al. "Tidak masalah … ini," ujarnya seraya menunjukkan foto di dalam ponselnya.
Selama beberapa detik Edward mengamati foto tersebut, sebelum akhirnya mengembalikannya. "Kostum yang bagus," ucapnya, tersenyum.
"Tertarik melihat foto Halloween kami?!" tukas Carl sinis, merujuk pada foto yang baru saja ditunjukkan.
Edward kembali tersenyum. "Saya rasa."
"Dua permintaan sudah terpenuhi." Carl berjalan ke pintu depan.
Edward bangkit dari sofa. "Sudah cukup. Kami harus pamit Mr. Winston," kata Edward, menjabat tangan Carl.
Liana mengangguk. "Terima kasih atas waktunya Carl."
"Tunggu .…" Tiba-tiba Carl menahan mereka.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya Liana , menoleh pada Carl .
"Kudengar kesimpulan sementara menyatakan bahwa kepergian Albert Winston akibat diculik oleh Leona Westfallen, benarkah demikian?"
Edward mengangguk, sebelum akhirnya berjalan keluar dari dalam unit. "Sampai bertemu lagi, mr Winston."
Kedua Westfallen tersebut berjalan melintasi koridor menuju lift.
"Sialan! Kenapa juga Leona mau menculik Albert. Polisi memang sudah gila! Sekarang kita mau ke mana?" Tanya Liana masih menahan kekesalannya.
"Ngopi!," jawab Edward, menekan tombol lift.
*
Coffee Shop di bawah Apartemen Carl tampak lengang. Hanya dua orang pengunjung yang berada di sana. Mereka baru saja duduk di bagian luar. Meskipun berada di luar, jalanan yang sepi tidak mengganggu pembicaraan mereka.
"Americano Sir?" tanya seorang perempuan Pramusaji, sambil memegang buku catatan.
"Tentu, darling." Jawab Edward nakal.
"Kalau Anda, Miss?"
"aku ingin melihat menunya ," sahut Liana , setelah menerima menu emudian ia lantas kembali berkata, "Mmm … aku pesan Latte panas."
"Oke, aku segera kembali." Pramusaji itu berlalu meninggalkan keduanya.
"Jadi ada apa dengan tempat ini? apakah kamu pernah kesini?" tanya Liana , mengalihkan pandangan dari pramusaji yang sudah menjauh.
"Iya beberapa kali. Kopi di sini lumayan. Sayangnya, lokasi tempat ini jauh."
"Bukan karena pramusajinya yang seksi?" seloroh Liana , membuat Edward tertawa kecil.
"Ahaha mereka memang seksi, tapi aku tidak mau mengencani para pramusahai. Kau tau kan seleraku bagaimana? Artis dan para sosialita," terang Edward, "Well, bagaimana kelajutanmu dari pertemuan kita dengan Carl tadi ?"
"Ah, sebenernya aku sudah sering bertemu Carl. Dan dia selalu menolakku, selalu mengusirku. Makanya tadi aku sudah malas mengobrol juga dengannya." Liana menghela napas. "Ketika kamu sedang melihat-lihat, ia berkata 'Tidak ada apa-apa di sini.', ia menduga kamu sedang mencari bukti. Padahal ia tahu jika kesimpulan sementara adalah Diculik."
Edward tersenyum. "Artinya?"
"Berarti ia tahu kalau ini bukan kasus penculikan, melainkan melarikan diri," jawab Liana , lalu melanjutkan. "Kamu berhasil memancingnya."
"Hanya itu saja deduksimu?"
Liana mengangguk. "Aku tidak paham maksud dari kedua permintaanmu padanya."
Pembicaraan mereka terhenti sesaat, ketika pramusaji datang membawa pesanan. "Ada pesanan lagi, Sir?"
"Cukup. Terima kasih, Miss," ucap Edward pada Pramusaji seksi yang datang membawa pesanan.
"Well, kalau kalian ingin memesan, aku ada di bar," terang Molly.
"Tentu," sahut Liana .
Pramusaji tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Edward, dan Liana .
"Sampai di mana pembicaraan kita tadi?" Edward bertanya.
"Tentang per—"
"Ah iya, aku sudah ingat. Apa yang kamu pikirkan ketika bertemu dengan perempuan yang baru keluar dari unit Carl ?"
Liana mencerna pikirannya sejenak. "Carl merasa sedih, dan resah dengan kepergian Albert Winston. Karena itulah ia mencari hiburan."
"Itu belum cukup untuk menyimpulkan keadaan hati Carl . Permintaanku yang pertama untuk memastikan dugaan tersebut."
"Apa hubungannya?" tanya Liana , merasa heran.
Sudut bibir Edward kembali terangkat. "Kamu harus lebih teliti, Liana ," tukasnya, "Aku meminta minuman dingin untuk melihat isi lemari es Carl . Lima botol minuman keras yang ada di dalamnya memastikan dugaan itu."
"Bagaimana jika ia seorang pecandu?"
"Empat dari lima botol tersebut masih tersegel, sementara itu perkiraan waktu kematian Albert Winston tidak lama sebelum Lianatnya ditemukan. Kalau ia seorang pecandu, sudah lebih dari satu botol dihabiskan."
"Mungkin ia sudah membuang botol yang lain," sahut Liana , mengemukakan kemungkinan lain.
"Apakah seseorang yang sedang mabuk sempat berpikir untuk membuang botol?!" ucap Edward, membuat Liana berpikir. "Kalau memang ia membuang botol, seharusnya terdapat di dalam tong sampah, tetapi tadi aku tidak menemukannya."
"Oke, masuk akal. Lantas untuk apa kamu meminta fotonya?"
"Foto itu diambil pada saat pesta Halloween bulan Oktober kemarin. Aku ingin melihat perubahan fisik Albert Winston. Tapi perubahan fisiknya terlalu jauh dengan yang kulihat di CCTV Bandara. Badannya lebih berisi dibandingkan yang terdapat di dalam foto tersebut."
"Benarkah?"
Edward menggelengkan kepala. “Yes! Dan itu sangat nyata. Diajuga terlihat terburu-bur, mmegang tangan Leona dan berari-lari. Jaditidak mungkn penculikan,” terang Edward, seraya memperhatikan Liana yang sedang mengolah deduksinya. "Ada satu lagi."
"Apa itu?"
"Kita meyakini jika Carl mengetahui Albert Winston diculik, tetapi jelas bagiku kalau ia bukan pelaku penculikan, atau mungkin bukan satu-satunya pelakunya."
"Dari mana kamu mendapat kesimpulan tersebut?" tanya Liana , penasaran.
"Dari kekuatan genggaman saat aku menjabat tangannya, dapat kuukur tenaganya tidak mungkin mampu memelintir tubu Abert dan memaksanya kabur. Paling tidak butuh dua orang untuk membawa lari Albert seperti itu. Dari CCTV bisa dipastikan kalau Albert Winston melakukan perlawanan."
Penjelasan Edward tak sepenuhnya menjawab rasa penasaran Liana . Ia merasa rekannya tersebut masih menyimpan informasi yang belum ia ketahui.
"Hanya itu?" Liana bertanya dengan sedikit keheranan.
Edward pun tersenyum. "Sementara hanya itu."
Liana menghela napas. "Firasatku mengatakan, kamu masih menyembunyikan informasi lain dariku."
"Tidak sekarang, Liana ," tukas Edward, seraya melihat perempuan berambut pirang yang baru melintas.
Kedatangan perempuan tersebut juga tidak luput dari Liana . "Bukankah itu perempuan yang berada di apartemen Carl ?"
"Iya." Edward bangkit dari tempat duduknya. "Kurasa kencan kita sudah cukup."
"What? cepat sekali! jadi kita kemana? Pulang?" Liana protes.
"Tidak. Aku akan ke motel, dan menyewa perempuan itu," jawab Edward, kemudian berjalan masuk ke dalam coffee shop.
"Dasar Hidung Belang!" Liana menggerutu, lalu bangkit dari tempat duduk.
Liana pulang ke apartemennya. dia mengambil handuk dan segera masuk kekamar mandi, tidak lama Sambil menyeka rambut, Liana berjalan menuju lemari es. "Aku lupa mampir ke swalayan," keluhnya, ketika melihat hanya ada sereal dan s**u di lemari es.
Setelah mengambil dan menuangkan ke dalam mangkuk, ia duduk di sofa Ruang Keluarga. Meskipun baru selesai menyegarkan tubuh di dalam bak mandi, dan sedang menikmati hidangan, tetapi ekspresi wajah Liana masih terlihat letih. Kasus kepergian Albert Winston dan Leona adiknya tak membiarkan pikirannya beristirahat.
Ia menyandarkan diri, lantas menyalakan televisi. "Well, Albert Winston pasti masih hangat diberitakan," gumamnya, mengubah ke saluran berita.
"Setelah dilakukan penyelidikan, Komisaris Kepolisian London. menyatakan bahwa kepergian Albert Winston merupakan kasus penculikan. Menurut dr. Eubert Hudson yang merupakan dokter pribadinya, Albert Winston mengalami depresi akibat pertikaian kedua keluarga , serta karier yang menurun. Akibat Edward tersebut, berat badannya menyusut, dan sering mengonsumsi obat penenang. Pihak keluarga mengatakan Albert sudah lama menjalin hubungan dengan Leona, dank arena latar belakang keluarga maka hubungan mereka sangat terlarang...." Liana terus menonton siaran tersebut hingga usai.
Tidak mungkin. Apakah Edward sudah mengetahui hal ini? Ia menekan tombol pada layar ponsel.
Sementara itu di tempat lain, sebuah ponsel bergetar di atas meja, menginterupsi kehangatan dua orang yang berada di dalam ruangan.
"Tidak diangkat?" tanya perempuan berambut pirang pada Edward Westfallen.
Edward tidak langsung menjawab, dan mencecap bibir perempuan itu. "Tidak, aku tak ingin diganggu. Separuh gajiku untuk menggunakan jasamu malam ini, Christina ," ucap Edward, menarik wajahnya menjauh dari Christina.
Christina tersenyum, seraya melepaskan pakaiannya. "Jadi mau pemanasan?"
"Mmm ... tentu menyenangkan. Tapi dengan caraku."
"Caramu?" tanya Edward menggoda.
"Iya. Pemanasan yang kusukai adalah,"—Edward mengancingkan pakaian Christina —"dengan berbincang-bincang."
"Ah, aku tahu. Mengobrol hal-hal untuk meningkatkan gairah, kan?! Aku tidak menyangka kamu pelanggan yang sangat nakal." Christina berkata, dengan nada menggoda.
Edward tergelak. "Apakah pertanyaanku mengenai Carl Westfallen akan membuatmu b*******h?"
Christina terhenyak. "Kamu mengenalnya?"
"Tidak dekat. Hanya tadi aku baru berkunjung ke tempatnya." Edward menjawab.
Ekspresi Christina berubah seketika. "Jika ini tentang Albert Winston, lupakan. Carl hanya pelangganku, sama seperti yang lain. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang Albert Winston."
Edward kembali tersenyum. "Ah, padahal aku hanya ingin bertanya tentang Carl , tapi justru kamu menyebut Albert Winston."
“apakah kamu mengenalnya?” lanjut Edward lagi.
“Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya mendengar ceritanya dari Carl.kau tau Carl adalah klien setiaku. Dia selalu puas dengan layananku, makanya dia selalu menelponku kembali.” Jawab Christina genit.
“Jadi sejauh apa kau mengenal Carl. Dan apa yang dia ceritakan mengenai Abert?” desak Edward.
“Hmmmm Tidak banyak. Dia hanya mengatakan Albert adik yang bak. Tapi mempunyai hub terlarang dengan anaknya Westfallen. Dan akhirnya Westfallen mencliknya.” Christna menjawab dengan raut wajah tidak peduli.
“LAlu apa lagi?” Tanya Edward.
“Hmmm tidak ada lagi. Kami tidak banyak berbicara. Hanya banyak beraksi saja.” Christina kembali mengedipkan sebelah matanya. Kemudian dengan sedikit memaksa, dia merengkuh Edward kedalam pelukannya.
**