Berjalan kecil diiringi langkah Edward dan Liana yang berada pada sisi kanan kiri, Rose masih terlihat canggung. Benak rasa trauma tentu masih membayang jelas di pikirannya, apa lagi ini menyangkut soal tenaganya yang habis diserap oleh Queen, saat dia berada pada naungan mereka kemarin-kemarin. Jangankan mengingat, mendengar Edward dan Liana membahas soal nama Queen dan juga Penculik saja, Rose sontak bergetar hebat.
“Ka-kamu kenapa? Kamu lapar? Kita makan dulu, ya?” tawar Liana sembari memegang punggung wanita di sebelahnya. Mereka terus berjalan sejajar, melangkah ke arah mobil yang hampir satu harian ini parkir di tempat sama.
“A-aku takut. Aku masih syokh dengan kejadian kemarin,” jelasnya tanpa berani menatap manik manata lawan bicara.
“Ke-kenapa? Queen menyakitimu?” Edward pun menyambar.
“Bukan. Penculik hanya mengancam aku, untuk membunuhku dan membawaku pergi jauh dari kalian.”
“Ah, keterlaluan! Mereka memang jahat, kamu jangan ambil pusing dengan semua perkataan mereka, ya. Segala yang dikatakan itu semua hanya omong kosong!”
“Iya, Penculik licik, tetapi mereka kurang cermat dan berhati-hati. Buktinya kelalaian dan kebodohan mereka sendiri, bisa membawa kami untuk menyelamatkan kamu dari tahanannya, ‘kan?” Liana ikut menimpali. Sejurus Rose mengangguk tanpa juga berani menatap keempat mata lawan bicara.
“Sekarang kita masuk, dan ada yang akan aku bicarakan. Ini menyangkut soal keselamatan Rose, dan mungkin jalan satu-satunya memang begini.”
Tidak banyak menjawab, Liana dan Rose mengiyakan. Mereka masuk ke mobil lebih dulu, sementara Edward berdiri di ambang pintu sembari melirik ke arah sana ke mari. Dia memastikan saja bahwa Penculik tidak ada di sini, bahkan mengintai keberadaan mereka hendak ke mana.
Sudah sama-sama masuk mobil dan memasang sealt belt masing-masing, alih-alih mobil dilajukan dengan kecepatan rendah. Rose duduk di belakang, bersama Liana yang ikut menemani dia dan tidak berhenti mengelus punggung gadis itu. Sedangkan Edward duduk sendiri di depan, menjadi supir bagi kedua wanita yang bersamanya sekarang.
Ketika sudah berada di jalan raya, mobil mulai digerakkan dengan kecepatan tinggi. Edward menambah laju mobil perlahan demi perlahan sampai pada akhirnya berjalan kencang membelah jalanan dan beberapa tikungan di depan. Saling diam tanpa melempar kata satu sama lain, Liana membuka percakapan.
“Jadi, apa yang akan kamu bicarakan, Edward?” tanya Liana kemudian. Gadis itu membuka satu kata demi kata.
“Sebenarnya aku memiliki ide untuk menyelamatkan Rose dari Penculik. Cara ini pasti akan memudarkan dendam mereka pada Rose, terutama pada kita juga.”
“Ma-maksudnya?” Liana masih belum benar-benar paham dengan apa yang dikatakan laki-laki itu. Dia merubah posisi duduknya, sedikit mencondongkan tubuh ke arah Edward.
“Kita akan berangkat ke New Zealand,” ucap Edward spontan.
“Ka-kapan?”
“Sekarang!”
“Apa? Ka-kamu serius? Untuk apa, Edward?! Jangan gila.”
“Ini demi keselamatan Rose. Dengan begitu dia akan bebas dari ancaman teror Penculik yang terus merajalela tanpa henti. Yakinlah, di sana Rose akan aman, Sa.”
Terdiam sejenak dan mencoba berpikir keras, Liana menggeleng kecil. Yang terbesit dalam benaknya hanya pasal kehidupan Rose di sana nantinya. Bukan hanya itu, tetapi jarak yang memisahkan mereka juga terbilang tidak sepihak. Otomatis dia dan Rose terus berjauhan, sampai waktu mempertemukan mereka kembali, itu juga entah kapan.
“Tidak mungkin, Edward. Aku tidak mau berjauhan dengan Rose,” ucapnya lirih.
“Liana, jangan egois! Rose juga berhak hidup tenang. Kalau terus menerus dia di sini, aku yakin Penculik, apalagi Queen, mengancam keberadannya. Kamu tega melihat itu?”
“Kenapa tidak? Ada kita yang siap melindungi dia dua puluh empat jam, Edward. Aku selalu tepat waktu dan full menjaganya agar tetap aman, percayalah!” Mempertahankan ucapannya, Liana terlihat kekeh. Dia begitu tidak rela jika nantinya keberadaan bersama Rose terpaut oleh jarak.
“Ba-bagaimana? Kamu tidak ingin pergi ke sana, ‘kan, Rose? Aku akan berjanji, untuk menjagamu sepenuh waktu.” Mengarahkan tatapannya ke wajah Rose, Liana mulai berkaca-kaca. Manik matanya terlihat hampir saja meluruhkan bulir bening.
“Sepertinya apa yang Edward katakan, itu memang benar, Liana. Aku tidak bisa terus-terusan berada di sini, sementara Penculik terus ambisi mencariku. Sekuat upaya dan tenaga aku menghindar, tetap saja akan tertangkap oleh mereka,” jelas pernyataan dari mulut Rose seketika benar-benar meneteskan bulir bening dari netra Liana. Gadis itu menangis sejadi-jadinya sembari menggeleng berulang kali.
“Tidak, tidak akan! Aku tidak ingin berpisah denganmu, Rose! Bahkan jika disuruh mengorbankan nyawa dan raga, aku siap demi keselamatan hidupmu selamanya.”
“Liana, udahlah! Rose berhak hidup tenang. Tangisanmu akan membebankan dia nantinya. Ingat, Liana, kita bisa kapan saja pergi mengunjungi Rose di sana. Lagi pula ada kerabatku yang kebetulan akan menjaga Rose dengan baik,” ucap Edward sekali lagi.
Seketika suasana hening sesaat. Ketiganya sama sekali tidak tahu apa yang akan dibicarakan lagi. Semua memihak begitu saja, dan keadaan juga menjadi pihak pemicu yang menimbulkan perasaan egois, dilema, bahkan tidak ingin kehilangan.
Mobil masih melaju, dan sebentar lagi akan mendarat di suatu tempat yang biasa dikunjungi oleh Edward, Liana, serta Rose setiap hari.
“Sebaiknya kita turun dulu, Liana, untuk membicarakan semuanya lagi di dalam. Ini perlu dibicarakan baik-baik, demi kepentingan bersama. Ayo, turun dan masuk dulu.” Keluar lebih awal dan membukakan pintu kedua wanita itu, Edward sangat begiru perhatian. Gerak-geriknya terlihat sangat sigap dan gesit. Bahkan membantu kedua wanita tersebut keluar dan melangkah bersama, Edward sedikitpun tidak terlihat tergagap. Langkahnya berjalan sesuai nurani.
“Makasih, ya, Edward!”
“Sama-sama.”
Ketiga orang tersebut melangkah kecil, memasuki bangunan peneduh berwarna abu-abu yang sebelumnya Edward beli dengan harga fantastis. Dari mana dia mendapatkan uangnya? Tentu, dengan cara yang singkat. Jangan tanya bagaimana, sebab hanya dirinya sendiri yang bisa menjawab itu semua.
*
Ketiga orang itu sudah saling berdekatan, terduduk di atas sofa sembari menyandarkan punggungnya masing-masing ke kursi busa yang tengah mereka duduki. Liana berdiri di samping Rose, seraya mengelus lengan gadis itu penuh kelembutan. Sedangkan Edward berada di hadapan, saling beradu tatapan pada Liana dan Rose yang sama-sama terdiam kutu.
“Jadi, kita putuskan lagi soal keberangkatan Rose ke New Zealand. Bagaimana, Liana?” Lamat-lamat Edward membuka obrolan lagi. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke arah Liana dan Rose secara bergantian.
“Aku tidak mau, Edward. Bagaimanapun Rose harus tetap berada di sini, bersama kita sampai selamanya. Biarkan saja Penculik mengancam keberadannya, asal bersama kita, Rose pasti akan baik-baik saja.”
“Tolong, aku mohon jangan egois, Liana. Titik kesadaran kita tidak sepenuhnya akan terus aktif. Kadang di saat kita lalai, Penculik bisa dengan mudah mengambil Rose lagi dan membawanya pergi. Kamu lebih tidak akan bisa bertemu temanmu lagi untuk selamanya.”
“Ta-tapi—“ Hendak beranjak dari duduknya, Rose sigap menahan tangan Liana. Kedua wanita itu saling bertukar tatap, kemudian Rose memberi isyarat anggukan kecil.
“Percaya, Liana, ini demi kebaikan aku dan kita semua. Bukan hanya menyangkut keselamatanku, tetapi hidup kalian tidak akan selamanya terusik dan menjadi beban, hanya karena menjaga aku dari penculikan Queen. Kita semua sama-sama aman dan bebas, ‘kan?” ujarnya membuat lawan bicara tidak bisa berkata apa-apa.
“Kamu akan sendiri di sana. Kita tidak secepat itu bisa bertemu. Aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri, Rose!” Ditimpali tangisan yang semakin membanjiri pipinya, Liana begitu terperanjat. Hatinya belum dan bahkan tidak pernah bisa melepaskan dengan begitu saja.
“Aku akan baik-baik saja, Liana, percaya itu! Jika keadaan benar-benar aman, aku akan kembali lagi ke sini. Kamu tidak perlu memikirkan tentang aku, ya.”
Mendengar begitu besarnya ikatan persahabatan kedua wanita di depannya, Edward juga sekilas terlihat berkaca-kaca. Akan tetapi, apa boleh dikata. Tangisan juga tidak akan mampu membuat keadaan menjadi baik-baik saja tanpa adanya tindakan. Sepertinya cara ini memang perlu, untuk segala alasan dan faktor.
“Yaudah, kebetulan kita semua belum mandi, kalian lebih dulu beres dan bersiap-siap, ya. Aku keluar sebentar, untuk mempersiapkan keberangkatan kita sore ini.” Beranjak dari kursi, Edward melangkah terburu-buru menuju luar rumah. Pria itu juga terdengar mengendarai tranportasinya dan melaju entah ke mana.
“Kamu mandi di kamar depan, ya, di kamar Edward. Aku mandi di kamar mandi umum, dekat dapur. Mungkin kamu sudah paham, walaupun hanya beberapa kali kamu datang ke mari ‘kan?”
“Iya, Liana, terima kasih,” titahnya. “ka-kaki kamu kenapa, Liana? Sampai kondisi seperti ini aku juga tidak tahu apa penyebabnya.” Rose menambahkan.
“Biasalah, ini karena ulah Penculik. Tadi saat proses pencarianmu, Penculik memasang jebakan-jebakan ini.” Liana berkata demikian, sembari menatap kakinya yang sakit.
“Astaga. Maafin aku, Liana, ini semua gara-gara aku. Seharusnya kalian biarkan aku mati di tangan mereka, Liana!”
“Rose, jangan bicara seperti itu! Intinya kamu sudah selamat, dan itu artinya kita bisa bebas dan menaklukkan Penculik. Bukan begitu?” Rose mengangguk malu.
Obrolan usai dan mereka merenggang satu per satu. Sama-sama melangkah ke arah kamar mandi di tempat masing-masing, kedua wanita itu berjalan perlahan-lahan. Mereka tentu masih memikirkan sesuatu yang baru saja dibahas dengan Edward tadi, apa lagi ini menyangkut soal hal serius. Akan tetapi, banyak meminta permohonan pada tuhannya, hati mereka terasa damai seketika.
*
Edward kembali, masuk ke dalam rumah dengan pakaian yang melekat di tubuh sudah terlihat baru. Pria itu juga melirik ke sana ke mari, memanggil nama kedua temannya yang sempat dia tinggal saat pergi ke rumah temannya untuk sekadar menumpang mandi.
“Liana ... Rose ...!”
“Kami di sini, Edward, di belakang!” ujar suara yang tidak lain itu adalah Liana.
Segera melangkah menghampiri asal suara, Edward mendapati kedua temannya tengah duduk di pinggir kolam renang. Mereka melipat kaki, dan menyandarkan dagunya pada lutut sampai benar-benar terlihat meringkuk. Rose menatap kolam renang lamat-lamat, sementara Liana berada di sebelahnya dan melakukan hal yang sama.
“Kalian sedang apa?” titah pertanyaan Edward membuat keduanya berbalik badan.
“Kami hanya menghabiskan waktu bersama, untuk yang terakhir kali, Edward! Setelah ini, aku dan Rose akan benar-benar pisah untuk waktu yang lama. Tapi benar katamu, kita kapan saja bisa sampai ke sana, dan menemui keberadaan Rose di sana. Zaman sudah modern, transportasi udara menjadi jalan satu-satunya agar bisa cepat sampai ke lokasimu nanti!” Ucapan dari bibir Liana terus terdengar lirih. Gadis itu juga tidak berhenti memeluk erat tubuh kecil Rose di dekatnya.
“Sudah, akhiri kesedihan kalian, mari kita berangkat. Kebetulan teman aku yang menghandle semua jadwal berangkat kita sore nanti, dan biaya serta apa pun itu, sudah aku serahkan pada dia. Kita hanya ke Bandara dan langsung terbang.”
Satu per satu pun merenggang. Mereka berpindah posisi lagi, bersiap-siap dan membawa beberapa koper yang besar. Bukan untuk sehari dua hari, tetapi dalam waktu yang panjang, mungkin, Rose akan tetap di sana. Semua demi kebaikan masing-masing, itu saja.
Berangkat dengan tranportasi mobil Edward sebagai lajuan, ketiga orang itu saling merasa kehilangan. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari sudut bibir masing-masing, padahal biasanya bukan ini yang mereka alami. Sedih dan teramat menyakitkan tentu dirasakan semua orang yang akan kehilangan seorang sahabat, apa lagi ini menyangkut soal persahabatan dan rasa sayang.
Mobil terus melaju kencang, bergerak lincah agar waktu untuk tiba di Bandara semakin lebih cepat. Lamat-lamat dan penuh kecanggungan, akhirnya mereka tiba juga di tempat tujuan awal—Bandara.
Sesampainya di sana, pesawat dengan keberangkatan jurusan ke arah New Zealand sebentar lagi akan take off. Untung saja Edward sigap meminta tolong pada temannya agar menyiapkan semua proses ini. Jadi, setiba di Bandara, ketiganya sudah hanya tinggal pergi dan naik ke dalam pesawat.
“Untung saja ada Dimas, dia yang menghandle semua ini. Kalau tidak, kita bisa ketinggalan pesawat. Lihatlah, pesawat jurusan New Zealand sebentar lagi akan berangkat,” ujar Edward kepada dua wanita di hadapan. Mereka terlihat mengiyakan dengan anggukan kecil
“Nah, ayo cepat masuk! Kamu temani Rose, ya, Liana. Hitung-hitung melepas masa-masa kebersamaan kalian yang tinggal menghitung beberapa jam lagi usai. Ingat! Ini bukan akhir dari segalanya. Semangat, ya.” Edward berjalan lebih dulu, masuk ke tranportasi udara yang berada di depan mata. Sementara Liana serta Rose mengikuti dari belakang dan bertemulah mereka di dalam pesawat. Edward duduk sendiri di kursi nomor satu, sedangkan kedua wanita yang berada di belakangnya duduk berdua pada kursi nomor dua—di belakang Edward.
Estimasi tiba ke New Zealand kira-kira berlangsung selama beberapa jam. Butuh waktu yang lumayan lama juga untuk tiba di tempat tujuan.
Meminimalisir waktu agar tidak terlalu terasa lama, ketiga sahabat itu lamat-lamat terpejam bersama beberapa penumpang yang ada. Jarak tempuh memang cukup jauh, membuat mereka terpaksa istirahat lebih dulu sembari meluruskan tulang dan sendi yang usai digunakan untuk menghadapi Queen beberapa jam lalu.
*
Berjalan begitu singkat, akhirnya mereka tiba di suatu tempat. Kota New Zealand yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggal baru Rose, teman Edward dan Liana.
Perlahan turun dari pesawat dan menapak di atas Bandara, langkah ketiganya menjadi sulit bergerak dan ragu untuk terus. Niat untuk kembali ke tempat semula tentu terbesit terus menerus, tetapi mereka harus ingat tujuan awal ini semua demi keselamatan diri masing-masing.
Beberapa meter berjalan, akhirnya mereka bertemu dengan seorang pemuda tampan bertubuh tinggi besar sedang bermain ponsel di keramaian. Dia berdiri tegak, melihat Edward, Liana, serta Rose lantas tersenyum semringah. Gerak dari wajah Edward sama,. Memperlihatkan senyum ramah pada pria di depan sana.
“Hay, sudah lama menunggu? Maaf, perjalanan dari sana ke mari memang cukup lama.”
“Okey, lah, tidak masalah. Silakan ayo langsung ke rumah saya, kedua Nona ini sepertinya sudah sangat lelah, bukan?” Rose dan Liana tersenyum tipis.
Pemuda itu berjalan lebih dulu, menjadi kompas petunjuk bagi ketiga sahabat ini berjalan. Mereka melangkah beriringan, sampai tiba ke suatu rumah yang tidak jauh jaraknya dari Bandara tempat mendaratnya pesawat yang mereka tumpangi tadi.