Sadarkan diri

1580 Words
Mendengar apa yang baru saja diceritakan oleh Jeck, membuat Liana tentu saja merespons dengan napas menghela sejenak. Dia terdiam, kemudian menatap wajah pria itu secara dalam-dalam. Setelahnya, dapat terlihat kembali bahwa secara terang-terangan ternyata Jeck juga balas menatap wajah wanita di depannya. “Sebenarnya....” Berhenti melanjutkan kata-kata itu, Liana yang awalnya terdiam di tempat mendadak langsung bergerak spontan dan terkejut. Dia menyadari bahwa tangan kanannya berada pada punggung Jeck dan mengelusnya sangat lembut. “Maaf, aku tidak sengaja. Bukan suatu rencana untuk menyentuh dirimu di sini,” jelas Liana yang lamat-lamat mendadak terdiam tanpa kata. Wajahnya memerah, termasuk malu yang amat terdalam melihat pergerakan lawan bicara mengarah pada tindakan di luar batas kesadarannya. “Iya, tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit tenang, sejak tanganmu menyentuh tubuhku. Bukan maksud apa-apa, tapi ini benar-benar nyata.” Tidak tinggal diam untuk berbuat sesuatu, Jeck mendekat lagi ke arah Liana. Dia menatap mata sang lawan bicara dalam-dalam, kemudian berkata, “Aku tidak ingin sendiri. Bisa temani untuk beberapa waktu lagi?” pinta pria itu secara lembut. Bingung harus berkata apa, Liana yang sebelumnya terduduk kaku, lamat-lamat lebih mematung tubuh di tempat. Dia sulit menerima segala kata-kata yang baru saja terdengar di ambang telinga dan berhadapan dengan wajahnya sendiri. Mungkin sekarang ini, Liana sedang mencoba berusaha lepas dari apa yang dia lihat. “Maaf, tapi ... tapi kita belum terlalu mengenal. Aku tidak bisa berlama-lama, pun Mom di dalam juga sudah sadarkan diri. Dia butuh aku, mohon pengertiannya.” Mendengar jawaban lemah lembut dan sopan yang dituturkan oleh Liana, membuat Jeck harus bersabar penuh kata. Dia menghela napas berat, kemudian tersenyum tipis dengan gerakan mengarah ke bawah. “Baik, aku terima. Lagi pula apa yang kamu katakan, memang sepantasnya terjadi secara sangat tepat. Kita tak mengenal, dan pasal ibumu yang sadarkan diri, dia sudah pasti membutuhkan sosok keluarga yang utuh. Terima kasih, Liana!” “Untuk apa? Aku tidak memberi apa-apa kepadamu. Anggap saja apa yang barusan terjadi, memang sudah pasti mengarah pada sisi kemanusiaan pada umumnya.” Hendak bangkit dari sana, tiba-tiba saja panggilan seseorang terasa di ambang telinga. Sontak wajah Liana sebagai sang pemilik nama yang lincah menatap ke sana. “Iya, dengan saya?” Bangkit dari kursi tunggu, gadis itu melangkah ke arah lawan bicara yang barusan memanggil. Dia mengerutkan dahi dan sedikit penasaran pasal apa yang hendak diucapkan oleh seorang suster depan mata tersebut. “Iya, suster, ada apa? Barusan suster memanggil nama saya, bukan?” Memejamkan mata sebagai tanda mengiyakan, wanita berseragam putih dengan khas seorang pekerja rumah sakit tersebut mendadak langsung ikut mengangguk pula. Dia berkata terang-terangan untuk menjelaskan pada Liana bahwa pasien di tempat itu, atas nama Jean telah sadarkan diri beberapa waktu lalu. “Ibu Nona sudah sadarkan diri. Sekarang, beliau terus memanggil nama Liana dan saya yakin, itu adalah Nona sendiri.” Mendadak tersenyum lebar-lebar, ekspresi Liana langsung semringah. Dia menatap wajah suster itu dan berterima kasih pada sosok yang saat ini berhadapan wajah dengannya. Sontak, suasana seakan cair dan mengelilingi keluarga kecil Liana. “Terima kasih, suster. Mungkin jika tidak ada pihak rumah sakit yang memberi pertolongan cepat, Mom akan mengalami banyak kesulitan untuk sembuh. Jangankan seperti itu, karena sadarkan diri saja mungkin terkesan sangat urung.” “Sama-sama, Nona. Ini sudah menjadi keputusan dan kesempatan terbaik untuk Ibu Nona.” Tak banyak berkata-kata usai mendengar wanita tadi menyampaikan informasi soal orang tuanya, Liana yang barusan mengira bahwa dunia tidak baik-baik saja dan terlalu kejam, sekarang harus banyak-banyak berterima kasih pada takdir. Dia menarik napas, lantas mengembuskan balik untuk bisa menyikapi apa yang dia rasakan sekarang berjalan baik-baik saja. Bukan sulit, tetapi semuanya dirasa terjadi begitu saja. Semuanya sangat di luar batas kendali dan harus tidak mau dijalankan dengan senang hati, tentunya. Beberapa langkah lepas dari sana, Liana membiarkan suster itu balik ke tempatnya dulu. Usai melihat semua yang dia harapkan terjadi, samar-samar pergerakan kakinya hendak lanjut pada sebuah titik tempuh selanjutnya. Dalam benak, Liana sudah sangat tidak sabar melihat wajah pertama kali Jean dalam keadaan mata terbuka lebar dan bergerak layaknya kondisi biasa. Tidak terbaring terus menerus dan memejamkan mata yang kesannya membuat Liana menangisi pasal itu. “Mom....” Berhenti bergerak saat menyadari ada sosok yang masih terselip dalam ingatan, membuat Liana sendiri terpaksa harus berbalik arah. Dia melempar arah pandang menuju ke sana, dan berubah pikiran secara tidak sadar. “Jeck?” ujarnya ketika mendapati sosok pria itu berdiri di belakang dengan pandangan kosong dan ekspresi datar. Mendekat ke arah sosok itu, Liana memejamkan matanya. Dia bingung harus berbuat apa setelah mengetahui bahwa sampai detik ini juga, Ayah dari laki-laki itu belum sadar dari keadaan kritis. “Jeck, bukan ini maksud dari semua sikapku barusan. Aku bisa jelaskan, Jeck. Kamu tidak berpikir untuk marah, bukan?” Sontak tersenyum miring, wajah Jeck langsung berubah sikap. Dia mendadak mengarahkan ekspresi wajah seperti terkejut sejak melihat dan mendengar Liana meminta maaf kepadanya. “Apa maksudnya, Liana? Ini bukan kesalahan kamu, sungguh! Semua yang dialami oleh pasien di tempat ini tak sama. Kita harus saling memahami, karena jika terus-menerus bersikap egois, sulit menjadi manusia yang normal. Bukan seperti itu kenyataannya?” Tak ada kata-kata yang dapat diucapkan lagi, sontak arah kata-kata itu hanya menuju ke sana. Liana yang berdiri tepat di hadapan wajah pria tersebut seolah-olah urung untuk bisa mengatakan apa-apa lagi. Ini sungguh di luar dugaan, dan sangat sulit dipahami. “Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan seorang laki-laki seperti kamu, Jeck. Kita telah dipertemukan oleh waktu dan keadaan, karena ini bukan disengaja. Terima kasih, sudah memahami apa yang aku rasakan, Jeck!” Balas tersenyum ramah, wajah Jeck berubah hangat. Dia spontan menyadari bahwa sesungguhnya apa yang diucapkan oleh Liana memang benar dengan fakta yang ada. Jika harus biasa saja sejak dikabarkan ibunya sudah sehat, bagaimana tanggapan yang ternilai oleh dunia? Liana berhak bahagia dan tertawa, tanpa harus mengikuti pergerakan orang lain pula. “Aku ingin masuk, menemui Mom yang pasti sudah bersandar di depan ranjang. Kamu....” Terdiam tanpa kata, ekspresi wajah Jeck langsung menyetujui. Dia tidak bisa tinggal diam untuk mengarahkan pikirannya pada segala sosok yang saat ini berada depan mata dan seakan memberi kode isyarat hati. “Aku ikut, Liana. Hitung-hitung, turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh keluargamu.” Sedikit terharu dan merespons dengan perkataan yang tertahan, wajah Liana sontak berubah. Dia masih terus berpikir bahwa Jeck benar-benar baik-baik saja tanpa dugaan yang sebelumnya diarahkan ke sana. * Suasana sudah berubah seketika sejak keberadaan Jeck berada di tengah-tengah keluarga Liana. Pria itu terdiam tanpa kata, lantas sedikit menjaga ucapannya untuk terus bersikap sopan santun di depan kedua orang tua wanita di depannya. “Dad,” panggil Liana pada seorang pria berumur yang terduduk di sana. Sontak menoleh ke arah panggilan, Gregory tersenyum lebar karena mendapati ada sosok Liana di ruangan itu juga. “Liana, sudah kembali? Dari tadi Dad tunggu-tunggu, loh,” ungkapnya ramah. Tidak ada pergerakan yang bisa dilakukan, wajah Liana hanya bisa tersenyum hangat dan menatap sekilas ke arah Jeck. Dia berharap agar ayahnya menyadari itu dan balas menyambar ke posisi Jeck di tempat itu juga. “Tadi Liana sudah kembali ke sini, tapi melihat Dad dan Mom masih pulas, Liana jadi tidak tega jika kesannya mengganggu. Maaf, Liana tidak memberi kabar apa-apa sejak tadi.” Menghela napas dan perlahan setuju terhadap apa yang diucapkan oleh lawan bicara, membuat Gregory sontak bersikap sangat perhatian. Dia meminta agar Liana mendekat ke arahnya, karena ada sebuah perlakuan yang hendak diperbuat untuk sosok putrinya itu. “Sini, Liana, Dad ingin menyayangi kamu di depan Mom.” Seakan lupa bahwa wanita yang sedang terbaring di atas ranjang itu tengah sakit, membuat Liana harus spontan berjalan cepat untuk menuju ke arah mereka. Dia tersenyum hangat, kemudian memandangi wajah kedua orang tuanya dengan sangat intens. “Mom, sudah baikan?” tanyanya penuh perhatian. Mengangguk dan masih belum bisa bergerak sesukanya, ini bisa dimaklumi, mengingat kondisi Jean tidak sepenuhnya stabil. Kalaupun ingin pulih, tentu saja harus menunggu beberapa hari sampai semua energi yang tersimpan perlahan langsung kembali mengisi tubuhnya. “Mom sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih, Liana. Terima kasih, Dad.” Mengelus puncak kepala sang putri, Gregory sangat bahagia bisa melihat keluarganya kembali tersenyum seperti ini. Sudah cukup hening, ketika permasalahan itu mengarah kepada masa-masa terjatuh, tanpa ada senyum atau candaan yang didengar. Sekarang semua berbalik padanya dan akan selalu teringat dalam pikiran masing-masing. “Lihat, Jean, aku sudah berhasil membuat Liana menjadi anak yang patuh. Dia sangat menyayangi kamu sejak dinyatakan keberadaan kita sampai di tempat ini beberapa waktu lalu.” Gregory mengungkapkan pada sosok wanita yang tengah menatap lunglai di depan sana. “Dia sudah pintar membuat suasana dan keadaan ini seperti baik-baik saja. Aku tak pernah mengajarkan soal itu kepadanya, tetapi dia mendapatkan caranya dengan sendiri dan perlahan demi pelan.” Tidak bisa berpikir apa-apa lagi, wajah Jean sepenuhnya mengarah pada sosok yang sendang berhadapan wajah dengan dengan dia. Mereka bertiga tertawa lepas, mengingat soal titik bahagia itu kembali lagi dengan waktu yang tidak disadari. Lupa dengan semua ini, keberadaan Jeck seperti tidak dianggap. Liana yang melirik ke belakang dan menyadari pasal keberadaan sosok itu, lamat-lamat langsung bergerak menuju ke arah yang dia tuju. “Jeck, kemari! Ini adalah Ibu dan ayahku.” Ragu-ragu dan seperti malu untuk memecah kebahagiaan yang dirasakan oleh Liana dan keluarganya, tapak kaki Jeck tersendat. Dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba agar bisa segera mencairkan suasana hatinya sendiri. “Iya, aku masih tak terbiasa dengan kebahagiaan yang keluarga ini rasakan. Aku ... aku sungguh menginginkan itu,” lanjut Jeck dengan ekspresi kaku dan datar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD