Chapter 2

2632 Words
Arra melirik arloji di tangan kirinya dan langsung beranjak, kini jam sudah menunjukkan tiga puluh menit sebelum kelas pria itu berakhir dan Arra tidak ingin kehilangan kesempatannya, lebih baik ia menunggu sedikit lebih lama dari pada tidak bertemu pria itu.           Dan sebelum menuju ruangan Dean ia berbalik menuju ruang kesekertariatan panitia Dies Natalies di mana ia meninggalkan gitarnya begitu saja setelah mendapatkan keputusan yang menurutnya sedikit gila untuk acara Dies Natalies kampusnya, tentu saja mereka yang akan diuntungkan jika Dean berhasil menjadi guest star tapi di belakang kesuksesan itu ia yakin dirinya yang harus merangkak-rangkak agar batu es itu mau berduet dengannya.   ~*~           -Kelas kita berakhir lebih awal, cepatlah ke sini.-           Satu pesan masuk dari Adel membuat Arra tersenyum, ternyata tidak ada ruginya ia menunggu sedikit lebih lama dari jam keluar, nyatanya belum sampai sepuluh menit ia menunggu di depan ruang kelas Dean, Adel sudah mengiriminya pesan jika kelas selesai lebih awal, dan kini ia semakin mendekati misinya untuk menyampaikan informasi mengenai acara Dies Natalies dirinya dengan Dean.           Jantung gadis itu berpacu dengan cepat saat dosen dari ruangan C 4.5.5 keluar diikuti mahasiswa yang lain, ruangan di mana Adel dan Dean baru saja menyelesaikan kelasnya, Arra berdiri dengan perasaan campur aduk, kenapa bertemu dengan Dean rasanya bertemu dengan Shawn Mendes yang ia sukai itu? Saat retina matanya menangkap sosok wajah Dean yang baru beberapa saat lalu ia ketahui rupanya dari foto yang dikirimkan Adel, ia langsung menatap intens sang pemilik wajah Dewa Yunani itu, rahangnya yang kokoh membuat Arra ingin memegangnya dan membelainya, bibirnya yang tebal dan pink yang terasa begitu menggoda serta jakunnya yang juga terlihat sialan sexy membuat pikiran liarnya menguasai otaknya. Astaga Arrabela hentikan pikiran mesummu, sejak kapan kau tertarik memperhatikan seorang pria? Arra membatin dan dengan langkah pelan-pelan ia mendekat ke arah Dean yang sama sekali acuh dengan kehadirannya.           “Permisi ...” Arra menahan lengan Dean saat pria itu berjalan begitu saja melewatinya, membuat Dean menatapnya tajam dan menghempaskan tangan Arra begitu saja dan pergi meninggalkan Arra yang masih menatapnya dengan tatapan terkejut. “Hei, aku memanggilmu.” Arra tidak menyerah, ia mengejar Dean dan mencoba mengimbangi langkah pria itu yang terasa begitu panjang untuknya. “Astaga! Apa pendengaranmu bermasalah? Aku memanggilmu Tuan!” Arra sedikit menaikkan nada suaranya, membuat Dean menghentikan langkahnya dan menatap Arra dengan tatapan tajam yang menghunus.           “Pergi dari hadapanku sekarang juga.” Desis pria itu dengan rahang mengeras membuat Arra sedikit takut, namun saat bisikan menyerah menghantuinya ia segera menggeleng, tidak, ia tidak ingin menyerah, jika menyerah sama saja menyerahkan diri ke neraka, karena ia yakin ada hukuman lebih berat yang sudah disiapkan oleh teman-teman satu organisasinya itu.           “Tapi ada yang ingin aku katakan padamu ...” Cicit Arra dengan suara lemah, dan menatap Dean dengan tatapan memohon, berharap pria itu luluh dengan tatapannya, biasanya jika ia melakukan itu pada semua orang maka tidak ada yang kuasa untuk menolak permintaannya.           “Aku tidak peduli apa urusanmu denganku. Pergi sekarang!” Dean kembali meninggalkan Arra yang sudah mendesah frustasi, namun gadis itu kembali mengejar Dean bahkan mengikuti pria itu hingga tempat parkir.           “Lima menit, tidak tiga menit, aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang penting.” Arra masih berusaha saat Dean sudah mencapai mobilnya dan akan masuk, namun Arra kembali menahan pria itu, menutup pintu kemudi yang sebelumnya telah dibuka oleh Dean dengan sedikit keras, walau ada ketakutan dalam dirinya saat melihat tatapan Dean, namun ia mencoba menyembunyikan ketakutan itu dengan baik.           “Perkenalkan. Aku Arrabela dari Departement of Classical Music. Kau dan aku akan menjadi guest star di acara Dies Natalies kampus kita, kau bisa’kan?” Tanya Arra dengan setengah memohon, Dean masih menatapnya tajam, memejamkan matanya lama dan mendorong Arra tanpa perasaan untuk menyingkir dari mobilnya, membuat gadis itu terhuyung hampir jatuh. Dan tanpa mengatakan apapun pria itu menjalankan mobilnya meninggalkan Arra yang masih mematung, melihat pertama kalinya manusia yang tidak memiliki sifat kemanusiaan.           “Hei, bagaimana?” Suara seseorang menyentak dirinya dari kekesalannya karena Dean, ia membalikkan tubuhnya dan melihat Adel yang menatapnya dengan tatapan menunggu jawaban. “Bagaimana dengan Dean? Kau berhasil membujuknya?” Tanya Adel antusias.           “Dia bukan manusia.” Ujar Arra singkat dan meninggalkan Adel yang masih tercengang dengan jawaban Arra.           “Hei, apa maksudmu?” Teriak Adel setelah tersadar dan melihat Arra yang sudah berjalan cukup jauh di depannya, Arra hanya melambaikan tangannya dan berteriak akan pulang. Hari ini ia hanya memiliki satu kelas dan sialnya ia harus pulang siang menjelang sore karena menunggu pria itu yang bahkan tidak mengakui keberadaannya, seharusnya ia bisa melakukan part time lebih banyak dan mendapat bayaran yang lebih banyak juga tentunya. Dan ini semua karena Dean Keandre. Arra mengumpat dalam hati.   ~*~             Arra memasuki kafe yang sudah dua tahun ini menjadi part time job-nya, para pegawai di sana langsung menyapanya dan tersenyum, begitu juga dengan pemilik kafe, Mike yang telah menganggap gadis pembawa keberuntungan itu adiknya, semenjak Arra bekerja di kafe itu entah mengapa suasana kafe begitu hidup, pengunjung juga lebih banyak datang, mungkin karena sifat Arra yang selalu ramah dan ceria kepada siapa pun, bahkan rasa kekeluargaan antar karyawan pun terbentuk dengan sendirinya.           “Wahh banyak sekali pengunjung hari ini.” Ungkap Arra dengan tatapan bahagia membuat Mike menyentil kening gadis itu dan tersenyum.           “Justru kau akan mendapatkan lembur hari ini. Ahh ada pesanan chocolate cake dari pelanggan kita, dia ingin kau yang membuatnya sendiri,”           “Kenapa begitu?”           “Karena ia ketagihan dengan cake buatanmu tentu saja, minggu lalu kau yang membuatkan pesanan itu dan wanita itu bilang rasa cake-nya berbeda dan lebih enak dari biasanya, anak laki-lakinya juga begitu menyukainya, jadi hari ini ia memesannya lagi. “ Ujar Mike membuat Arra mengangguk dan mulai menuju dapur, ia pikir hari ini ia akan menjadi waiter, tapi sepertinya tidak. Di kafe itu ia terkadang menjadi kasir, waiter atau koki yang membuat bermacam cake untuk menu kafe.           “Oke bos.” Arra menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf O dan segera melaksanakan pekerjaannya. Mike yang hari ini menjadi kasir terlihat begitu tampan, mungkin itu menjadi salah satu faktor banyaknya pengunjung hari ini, karena pria itu jarang sekali ikut terjun ke dunia bisnis kafenya, biasanya ia lebih mengawasi dari lantai dua yang juga merupakan ruang kerjanya.           Setelah tiga jam berkutat di dapur, Arra menyerahkan cake buatannya pada Henry, karyawan termuda di kafe Mike, menyuruh laki-laki yang berusia tiga tahun di bawahnya itu membawanya pada Mike yang terlihat tengah terlibat obrolan dengan wanita paruh baya.           “Semoga anda suka dengan cake-nya Nyonya.” Mike menyerahkan sekotak cake cokelat tersebut, sedangkan Henry sudah kembali lagi ke dapur karena hari ini begitu banyak pesanan, sedangkan wanita itu yang menerima cake cokelat dari Mike langsung tersenyum.            “Ahh terima kasih aku sangat menyukainya begitu juga dengan anakku.” Wanita itu menunjuk seorang pria yang tengah duduk memunggunginya di salah satu meja kafe, Mike hanya tersenyum semanis permen kapas menanggapi ucapan pelanggannya itu.                Sedangkan di dapur, melalui sekat yang menghubungkan dapur dengan kasir Arra memperhatikan interaksi antara Mike dengan pelanggannya, pelanggan yang menurut Mike menyukai cake buatannya, dan pandangannya terarah mengikuti telunjuk wanita paruh baya itu saat wanita itu mengatakan sesuatu pada Mike yang tidak terlalu terdengar di telinga Arra, untuk sejenak Arra mengerutkan keningnya seolah mengenali postur tubuh itu, namun salahkan saja otaknya yang terlalu lambat untuk mengingat dan ia memilih mengabaikannya saat melihat wanita paruh baya itu meninggalkan meja kasir dengan membawa cake cokelat buatannya.   ~*~           Arra melepaskan apronnya saat melihat arlojinya yang telah menunjukkan pukul sembilan malam, ia segera mengganti pakaian kerjanya dan bergegas pulang, pasti ibu dan adiknya sudah menunggunya. Namun baru saja ia menutup pintu lokernya setelah mengganti pakaian, ponselnya bergetar, suara ketakutan Bianca langsung meloloskan jantungnya ke perut.              “Ada apa Bianca?” Tanya Arra ikut panik, ia segera keluar kafe dan berlari menuju halte bus.           “Daddy ... Daddy mengamuk, aku berada di kamar bersama Mommy, dia terus menggedor-gedor pintu, bagaimana ini? Aku sangat takut.” Suara Bianca bergetar hampir menangis atau memang gadis itu sudah menangis, membuat Arra memejamkan matanya dan meremas baju bagian dadanya.           “Kau tenang oke, jangan sampai Daddy bisa membuka pintu itu,  akan segera pulang. Letakkan meja rias di belakang pintu, kau mengerti? Lakukan sekarang.”           “Ya Kak , cepatlah pulang, aku dan Mommy sangat takut.” Bianca mematikan ponselnya setelah itu, Arra menghela napas panjang menunggu bus yang seolah begitu lama datang, ia terus melirik arlojinya saat waktu terus berjalan seolah-olah membunuhnya.           “Argghh kemana semua bus di saat seperti ini.” Arra mengumpat kesal dan mengacak rambutnya frustasi, mencari cara agar ia segera tiba di rumah, dan sebuah ide gila yang muncul begitu saja di kepalanya membuat ia hanya bisa berdoa jika usahanya ini berhasil, atau buruknya ia akan kehilangan nyawa.           Arra melirik ke arah jalan raya dan melihat mobil sport merah metalic melaju mendekatinya, dengan cepat ia berlari ke bahu jalan dan merentangkan tangannya di depan mobil itu dengan memejamkan matanya, dan berdoa dalam hati semoga ia tidak mati karena aksi gilanya itu.           Suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal memekakkan telinga gadis itu dan juga pengemudi di balik mobil sport itu, dua orang pria dengan penampilan casual yang memiliki wajah di atas rata-rata keluar dari mobilnya dengan sumpah serapah yang bisa di dengar oleh Arra.           “b******k! Kau ingin mati?! Jika iya jangan korbankan kami!” Ujar pria yang memiliki dimple di kedua wajahnya itu yang membuatnya terlihat lebih manis.           “Ahh akhir-akhir ini banyak sekali cara orang untuk mendapatkan uang dengan merugikan orang lain.” Arra tahu itu sindiran, mungkin jika di keadaan normal ia akan meninju mulut pria itu, namun saat ini dirinya  terdesak, bukan saatnya ia memberontak, ia hanya perlu sampai di rumah secepatnya.           “Tuan, kumohon antarkan aku ke rumah, aku .. aku sudah menunggu bus sejak tadi, tapi tak ada satu pun yang lewat.” Nada suara Arra terdengar putus asa membuat kedua pria itu saling menatap seolah bernegosiasi lewat mata mereka untuk membantu gadis asing itu atau tidak.           “Ck. Bagaimana jika kau salah satu komplotan penjahat yang akan memanfaatkan kami?” Ujar pria dengan wajah tampan yang Arra yakin jika tersenyum akan membuat semua wanita meleleh, pria itu sedikit lebih tampan dari pria berlesung pipit tadi.           “Tidak-tidak, aku bukan orang jahat, kau bisa menjaminnya, ini kartu mahasiswaku, aku mahasiswa di kota ini, kau bisa mencariku jika aku berbohong, kumohon kali ini saja Tuan, aku harus segera tiba di rumah.” Ujar Arra setengah memelas, membuat kedua pria itu kembali saling menatap dan akhirnya menganggukkan kepalanya.           “Masuklah, kami akan mengantarmu.” Ujar salah satu pria itu yang langsung masuk ke sisi kemudi diikuti pria yang satunya, begitu juga dengan Arra yang menuju ke kursi belakang.           “Jadi kau anak Permata University? Anak eksekutif mahasiswa?” Tanya salah satu dari mereka melihat jaket yang digunakan Arra yang memang merupakan jaket untuk anggota eksekutif mahasiswa.           “Ahh ya begitulah, aku Arrabela.” Ujar Arra mencoba membangun suasana dengan kedua pria itu, karena sejujurnya ia benci kebisuan saat dirinya sedang bersama seseorang.           “Aku Edward dan dia Samuel, kami dari departemen of Vocal Music. Bagaimana denganmu?” Tanya pria yang mengemudikan mobil, yang baru Arra ketahui bernama Edward.           “Ooh kalian anak Permata juga, aku dari Departement of Classical Music, terima kasih telah menolongku.” Ujar Arra, dalam hati, terus merapalkan doa agar segera tiba di rumah dan berharap ibunya dan Bianca baik-baik saja.           “Cukup panggil aku Edward, dan apa posisimu di eksekutif mahasiswa?” Tanya Edward yang terlihat antusias, memang pria itu selalu memandang kagum para aktivis kampus terutama yang berhasil masuk ke jajaran eksekutif mahasiswa.           “Ahh itu, aku kepala departement untuk minat dan bakat mahasiswa. Jadi, mungkin jika kau ingin menyumbangkan ide atau konsep untuk mengembangkan minat dan bakat mahasiswa kau bisa menghubungiku.” Ujar Arra tersenyum, jenis senyuman yang mampu membuat Edward meleleh seketika.           “Ahh iya, aku punya beberapa ide, bolehkah aku meminta nomor ponselmu? Mungkin jika kau tidak sibuk aku ingin membahasnya lebih dalam denganmu.” Edward tersenyum dan mengalihkan tatapannya ke belakang, namun Samuel menatapnya tajam seolah mengatakan. ‘Berhenti menjadikan dia targetmu selanjutnya.’ Namun sepertinya tatapan Samuel tidak digubris oleh Edward buktinya Arra dengan ragu menerima ponsel Edward dan menekan digit angka yang menjadi nomor teleponnya.           “Terima kasih atas bantuan kalian, aku akan mentraktir kalian lain waktu.” Ujar Arra begitu tiba di depan gang menuju rumahnya, kedua pria itu hanya tersenyum sebelum melajukan mobilnya.           Arra dengan cepat berlari menuju rumahnya, ia membuka pintu dengan kencang dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah rumah yang berantakan dengan beberapa perabotan yang telah pecah menjadi serpihan-serpihan kaca, dari pintu depan ia bisa mendengar teriakan ayahnya yang terus menggedor-gedor pintu kamar Bianca, dengan cepat ia berlari menghampiri ayahnya.           “Daddy. Berhenti!” Teriakan Arra membuat perhatian Ronald teralihkan padanya, dan seringai tajam langsung muncul di wajah pria paruh baya itu.           “Ooh mesin pencetak uangku telah kembali, kemari kau.” Arra sudah mengeratkan genggaman tangannya pada tas selempang berwarna tosca miliknya.           “Aku tidak punya uang Daddy, bukankah kemarin kau sudah mengambil semuanya?” Ujar Arra lantang walau nada suaranya terdengar bergetar, Ronald melangkah mendekati anaknya itu dan mencengkram kasar dagu Arra sebelum menghempaskan gadis itu begitu saja hingga membentur sudut meja.           “SIAPA YANG MENGAJARIMU UNTUK BERTERIAK PADA ORANG TUA HAH?!” Ronald berteriak dan menatapnya nyalang.           “Daddy yang mengajariku, Daddy lupa jika selalu berteriak di dalam rumah? Tidak pernah mengajarkanku hal-hal baik.” Arra masih melawan, membuat tangan ringan Ronald menampar wajahnya kuat setelah itu menjambak kasar rambut Arra.           “Sudah berani melawanku rupanya anak sialan?!” Ronald kembali membenturkan kepala Arra pada meja kaca di ruang tamu itu, Arra tidak meringis atau apapun, baginya semua itu sudah menjadi makanan sehari-harinya asal adik dan ibunya tidak mendapatkan kekerasan ayahnya, ia rela melakukan itu.           Sedangkan di dalam kamar Bianca berusaha menggeser meja rias yang tadi ia gunakan sebagai penghalang agar pintu tidak terbuka, namun entah mengapa kini mereka berdua terlihat keberatan padahal tadi saat menggeser meja itu hingga mencapai belakang pintu tidak begitu terasa, Bianca hanya bisa meringis mendengar teriakan Ronald dan juga bunyi benturan yang ia yakini adalah kakaknya yang lagi-lagi mendapat penyiksaan ayahnya, dirinya terus mendorong meja dengan terisak-isak, Daisy yang berniat membantu tidak diperbolehkan oleh Bianca, ibunya memiliki penyakit lemah jantung dan ia tidak ingin sesuatu terjadi pada ibunya.           “Biarkan Mommy membantu, kita harus menolong kakakmu secepatnya.” Ujar Daisy yang sudah beranjak dari ranjang dengan wajah yang sembab oleh air mata, tujuh belas tahun ia melihat bagaimana penderitaan Arra yang selalu disiksa oleh Ronald, dulu dirinya masih sehat dan masih bisa melindungi Bianca dan Arra, namun saat Arra beranjak dewasa tepatnya saat gadis itu berusia tujuh belas tahun ia mulai sering merasakan sakit pada bagian dadanya yang menunjukkan awal dari sakitnya, dan dari sana ia melihat bagaimana sosok Arra bertransformasi menjadi gadis kuat yang selalu ada untuk melindunginya dan juga Bianca, anaknya itu mencari pekerjaan paruh waktu untuk membiayai hidup mereka, namun Daisy bersyukur dengan semua penekanan yang diperoleh Arra tidak membuat gadis itu terpuruk terutama di bidang akademiknya, terbukti dengan dirinya yang berhasil masuk universitas dengan beasiswa full, selain itu Daisy juga tahu jika Arra berprestasi di kampusnya dan sering mengikuti ajang lomba-lomba untuk musik klasik maupun modern.           “Tidak Mommy, Arra akan sedih jika mengetahui ini, kumohon bertahan sebentar lagi, aku akan membuka pintunya.” Ujar Bianca masih berusaha, ia tidak ingin membuat kakaknya khawatir, kakaknya yang paling hebat yang tidak pernah mengeluh dengan keadaan, Bianca tahu bagaimana lelahnya Arra yang harus bekerja sekaligus kuliah untuk membiayai kehidupan serta biaya sekolah Bianca, maka dari itu, untuk meringankan beban kakaknya, Bianca juga bekerja paruh waktu di supermarket komplek rumahnya, ia juga selalu menggunakan uangnya dengan hati-hati karena yang ia prioritaskan adalah membiayai sekolahnya sendiri, walau kadang Arra masih membantunya namun Bianca sebisa mungkin meminimalisir pengeluaran Arra untuk biaya sekolahnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD