Dia berjalan perlahan-lahan ke arahku seperti pemangsa kelaparan, tetapi pada saat yang sama, pemangsa itu hendak menyiksa sebelum melahap.
Matanya yang gelap berkilat dalam keremangan lorong, menatap tajam ke arahku.
Senyum tiba-tiba muncul di sudut bibirnya, menyiratkan pemahaman yang licik, seakan pria itu tahu apa yang terlintas dalam benakku, sesuatu yang ingin kulupakan, tentang bagaimana bibir pria itu pernah menyentuh bibir, leher, bahkan seluruh tubuhku.
Aku berbalik, ingin segera pergi.
Tapi langkahku kalah cepat dari cengkraman tangannya yang kuat dan besar. Dia menyambar pinggangku, membuat aku tidak bisa kemana-mana.
Pria itu memaksaku menghadap ke arahnya.
"Tunggu sebenar, Dove Ryce,” katanya tenang. ”Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, tidakkah kau merasa kita perlu saling menyapa dan bertukar kabar?” Tangannya yang bebas menyentuh tengkukku, ia membungkuk sehingga wajahnya berada di dekat wajahku.
”Tidakkah kau ingat? Kita bisa saja memiliki sebuah keluarga kecil yang bahagia. Jika saja kau tidak mempermainkan aku seperti orang bodoh,” bisiknya dengan nada mengejek. Kemudian bibirnya menutup bibirku, menciumku. Kasar dan penuh kemarahan.
Ciuman itu liar dan biadap, seakan hendak menghukumku karena ingatan kemarahannya. Hari ketika aku terang-terangan menyakitinya.
Aku melayangkan telapak tanganku ke wajahnya. Dan terdengar gema tamparan keras di lorong.
Dia tidak marah, malah memelukku.
Lututku lemas. Dan Aku berusaha memberontak. Tapi tak terlalu keras. Karena aku ingin memeluk laki-laki itu sejenak, mendekapnya erat, merasakan kembali rasa yang pernah kurasakan ketika berada dalam pelukannya bertahun-tahun lalu.
Tetapi aku tahu yang dia berikan bukanlah pelukan, melainkan penghinaan. Aku malu dengan pikiranku, lalu bergulat sekuat tenaga untuk membebaskan pelukannya.
Ketika aku berhasil melepaskan diri, pria memasukkan tangan ke saku celananya dan tersenyum mengejek penuh kemenangan melihat ekspresi marahku.
"Lama tak bertemu, Mantan pacarku,” dengus Ruihan Lu.
***
Perasaan kesalku meluap. Dengan kuat aku menyentak gelas ke meja. Kemudian berdiri, dan melangkah penuh kemarahan menuju Laylu Ford, yang tengah menari di lantai dansa.
Jika saja wanita itu tidak memohon, bahkan menarik dengan paksa, aku tidak akan menginjak kaki ke tempat terkutk ini, dan tidak akan pernah bertemu dengan mantan pacarku, Ruihan Lu.
Jelas-jelas wanita sialan itu yang mengancam supaya ditemani menghadiri pesta Flower Sensual Saturday yang belum pernah kuhadiri sebelumnya.
Tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang. Wanita sialan itu tengah menikmati malam panas penuh gairah. Sedangkan aku dibiarkan duduk sendirian di sudut. Terpinggirkan dalam keramaian berisik penuh kegembiraan dan semangat.
Melihat Laylu tersenyum penuh kepuasan dalam sorot lampu neon, berdansa ditengah gerakan dansa yang sensual, kemarahanku berlipat dua. Dia bahagia diatas penderitaanku.
Laylu tampak bersemangat menebar pesonanya, seolah-olah pria-pria itu bukan lagi orang asing baginya, melainkan teman akrab yang bersatu dalam panasnya kegembiraan malam.
Meski wanita tak tahu terimakasih itu hanya berjarak beberapa meter dariku, tapi usaha yang aku kerahkan untuk mencapainya cukup berat. Aku mesti berusaha menghindari berbagai gerakan tubuh penari yang berputar dan bergerak, serta berusaha keras tidak bertabrakan dengan penari gila yang meliuk bergoyang penuh kegilaan. Bahkan aku bisa merasakan merasakan getaran euforia musik mengalir di bawah kakiku.
Kemarahanku tiba-tiba berlipat empat ketika seorang lelaki asing tiba- tiba mencegatku. Hanya selangkah lagi, aku bisa mencapai Laylu ford.
“Malam yang luar biasa, bukan?” tanya lelaki itu berusaha menciptakan nada suara yang ramah.
Aku melotot marah, dan mengumpat, "Minggir." Kata itu hampir aku teriakan dengan gigi terkatup.
Lelaki itu tertegun sejenak, lalu tersenyum, minta maaf.
"Kecil-kecil ternyata galak, Bung," katanya bercanda mengurangi rasa malu kepada teman di dekatnya.
Ketika aku terus maju, aku menyadari Wanita sialan itu telah menghilang. Aku edarkan pandangan ke sekeliling beberapa kali, dan akhirnya bisa menemukan wanita itu telah duduk di sofa seberang dengan teman-temannya. Dengan kesabaran yang hampir habis, aku mendorong siapa saja yang menghalangi jalanku, tidak peduli dengan umpatan di belakangku.
"Sudahkah kau selesai menguntit?" tanyaku kasar. Meski aku ingin mengutuk dan marah-marah, aku tetap berbisik dengan suara rendah, mencoba agar tidak didengar siapapun, pada saat yang sama berusaha didengar Laylu Ford diantara dentuman musik yang menggelegar dan tawa riuh orang-orang yang bersenang-senang.
Aku dan Laylu bekerja di sebuah organisasi gelap, tapi aku tidak terlibat dalam memata-matai orang lain seperti yang sering dilakukan oleh Laylu. Bahkan sekarang pun aku curiga dia tengah memata-matai seseorang.
Dipermukaan aku hanya guru taman kanak-kanak sekaligus guru komputer, karena sekolah tempat aku mengajar merupakan sebuah yayasan amal sekaligus panti asuhan. Yang menurutku hanyalah kedok. Meski begitu aku terlibat dalam beberapa program ilegal organisasi, seperti menyelidiki kehidupan pribadi orang lain, 'meminjam' data pribadi orang lain, bahkan membobol situs pemerintah hingga mengacau sistem keamanan penjara.
"Apa?" tanya Laylu sedikit meringis melihat wajah marahku.
"Ayo pulang!"
"Mengapa kau begitu terburu-buru?" tanya Laylu lagi dengan penasaran, matanya yang penuh kecerdasan sedikit menyipit ke arahku, tanpa memberi kesempatan untuk menjawab dia melanjutkan, "Apa yang membuatmu begitu terburu-buru untuk pulang? Kau tidak punya anak untuk disusui atau suami yang harus dilayani. Jangan berlagak sok suci, kau bukan gadis kecil yang harus di rumah sebelum jam sepuluh, munafik kau. Tidak kah kau tahu banci saja belum keluar. Sekarangan belum saatnya kita pulang. sabarlah sedikit lagi Sayang."