4. Flora's Family

1076 Words
Brak! Semua yang berada di kantin itu terkejut oleh suara gebrakan meja yang dilakukan Jayden, tak terkecuali Flo, Gita dan Disa. Jayden yang tadinya membelakangi Chika dan kedua temannya, berdiri dan langsung berbalik tepat di hadapan kembarannya itu. "Chik, bisa nggak lo suruh temen-temen lo ini diem?" Jayden menatap Chika tajam. "Apaan sih, Jay. Nggak usah lebay deh." Jayden mengepalkan tangannya dan mendekatkan wajahnya ke telinga Chika dan berbisik pelan. "Gue udah bilang sama lo, kalau gue bakal ngelakuin perjanjian kita asal lo juga tepatin janji lo. Sekarang lo mau gue ngebongkar semuanya? Oke, kalau itu yang lo mau. Gue malah seneng jadi nggak perlu ada yang ditutupin lagi." Flo menggigit bibir dalam. Ingatannya melayang pada kejadian dua hari lalu saat Chika memintanya untuk berjanji tidak mengatakan kepada siapapun di sekolah barunya tentang Flo hubungan mereka bertiga. Tentu saja Jayden sangat tidak setuju dan meminta Flo mengabaikan permintaan konyol Chika. Tapi ia memutuskan untuk memenuhi permintaan Chika itu, karena dengan begitu ia berharap setidaknya gadis itu akan sedikit mengakuinya. Flo berjalan pelan mendekati Jayden. Ia khawatir Jayden akan mengatakan hal yang ia sendiri sudah berjanji akan menyembunyikannya. "Kak Jay, udah dong." Flo memegang lengan Jayden dengan tangan kirinya. "Lo mau pergi atau gue benar-benar ngebatalin perjanjian kita?" tanya Jayden pada Chika, tanpa menggubris ucapan Flo. "Angel, Tania, kita pergi aja. Udah nggak asyik di sini." Chika sempat menatap tajam Flo sebelum pergi meninggalkan kantin itu. Tatapan Jayden beralih pada beberapa siswa yang masih mengerubungi mereka. "Bubar!" Satu kata tajam Jayden berhasil membuat semuanya bubar meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menyangka sang ketua OSIS yang biasanya kalem dan tenang bisa berubah tegas seperti itu. Flo tersenyum lega. Setidaknya, rahasia mereka aman. *** "Gimana hari pertama kamu Flo?" Flo yang sedang menyendok makanannya, mendongak menatap Arya, papanya. Saat ini Flo bersama seluruh anggota keluarganya sedang berkumpul di meja makan untuk makan malam yang sudah disiapkan oleh bi Marni, pembantu rumah tangga di rumah itu. "Baik, Pa. Sekolahnya bagus," jawab Flo sambil tersenyum. Flo tidak tahu harus mengatakan apa lagi soal sekolah barunya itu, karena sepertinya hari-harinya ke depan pasti akan diwarnai dengan tantangan-tantangan baru. Apalagi sekolah barunya adalah sekolah elite dimana mayoritas muridnya berasal dari keluarga berada. Tentunya bisa ditebak bukan bagaimana sikap menonjol para murid sekolah berstatus tinggi daripada sekolah yang biasa-biasa saja? Dan mungkin ia akan sulit diterima, selain oleh teman-teman Jayden. "Ada yang gangguin kamu?" Flo cepat menggeleng menjawab pertanyaan Arya. "Papa tenang aja. Ada Jay yang selalu jagain adik Jay ini," sahut Jayden yang duduk di samping Flo. "Terutama dari gangguan orang-orang yang nggak baik buat Flo." Jayden melanjutkan sambil melirik Chika yang duduk di seberang meja dengannya. Chika yang merasa tersindir, hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Itu harus, Jay. Kamu harus bisa jagain dua putri cantik Papa ini," sahut Arya melirik Flo dan Chika bergantian. Jayden menaruh telapak tangannya di pelipis, seperti orang yang sedang berhormat membuat Flo tersenyum. "Chika, kamu juga harus jagain Flo, ya?" lanjut Arya. Chika hanya mengangguk malas. Terlihat sebal tapi tak mengatakan apa-apa. "Kamu udah dapet temen, Flo?" "Udah, Pa. Temen-temen Kak Jay juga baik sama Flo." Arya melirik pada Jayden. "Disa sama Gita, Pa," jelas Jayden. Arya manggut-manggut mengerti. Maya, istri Arya yang duduk di sebelah suaminya hanya menyimak pembicaraan mereka tanpa berniat ikut berbicara. "Bagus kalo gitu. Gita sama Disa anak yang baik jadi nggak ada ruginya kamu berteman sama mereka." Flo mengangguk. "Iya, Pa." "Chika ke kamar dulu, Pa., Ma." Chika segera berdiri dan langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Raut mukanya jelas menunjukkan kalau dirinya sedang menahan emosi. Flo tahu, Chika pasti masih kesal pada dirinya karena masalah di sekolah tadi siang. Tapi ia bisa apa? Itu juga bukan salahnya kan? "Chika kenapa Jay? Kok kayaknya nggak bersemangat gitu?" Maya yang dari tadi diam akhirnya angkat suara melihat putrinya pergi begitu saja. "Nggak tau, Ma. Lagi patah hati kalu," jawab Jayden sekenanya. "Atau kumat kesurupannya." "Hush, Jay. Jangan kayak gitu sama adek sendiri. Biarpun kalian lahirnya cuma beda lima menit, tapi Chika tetep adek kamu juga," nasehat Maya. "Iya, Ma. Maaf." Jayden menyengir. Bisa saja Jayden bersikap seolah-olah dia sedang bercanda, namun Flo tahu betul bahwa Jayden juga masih kesal karena Chika mempermalukan Flo di depan banyak orang. "Pa, Ma, Flo udah selesai makannya. Flo ke kamar dulu ya." Flo berdiri lalu berjalan pelan menghampiri Arya dan mencium punggung tangan Arya. Arya tersenyum mengusap puncak kepala Flo. Kemudian Flo berbalik ke Maya, dan mencium punggung tangan Maya. Seperti biasa, Maya hanya bersikap acuh dan langsung menarik tangannya begitu saja. Flo berusaha mengabaikan sikap dingin Maya dan tetap tersenyum. "Selamat malam, Pa, Ma, Kak Jay." "Selamat malam juga, Sayang. Jangan terlalu larut tidurnya ya," sahut Arya. Flo mengangguk lalu berjalan pelan ke ruang tamu dan berhenti tepat di depan pintu kamar yang terletak di samping ruang tamu itu. Flo membuka kenop pintu itu menggunakan tangan kiri sementara tangan kanannya memegang pegangan kruk yang ia gunakan sebagai penyangga kaki kanannya. Inilah kamar tidur yang sudah digunakannya selama hampir satu bulan dirinya tinggal bersama keluarga ayahnya itu. Sebenarnya, kamar tidur ini dikhususkan untuk kamar tidur tamu, tapi Arya mengubahnya menjadi kamar Flo karena Flo pasti akan kesulitan jika diberi kamar tidur yang letaknya di lantai dua. Flo masuk dan berjalan pelan menuju meja belajar yang terletak di dekat jendela yang langsung terhubung dengan taman bunga di samping rumah. Flo lalu mendudukkan dirinya di kursi. Ia mengambil sebuah buku dari laci meja. Dear Dandelion Dua kata itulah yang tertulis di sampul buku yang berwarna putih itu. Sekuntum bunga dandelion menghiasi sampul itu. Buku itu bisa disebut buku catatan, atau bisa juga sebagai diary. Flo selalu menuliskan apapun yang ingin ditulisnya menyangkut perasaannya, meski ia lebih sering menulis semacam quote saja. Flo membuka halaman tengah buku itu, lalu mengambil bolpoin. Jemarinya mulai menuliskan apa yang sejak tadi ingin ditulisnya. Tentang pengalaman hari ini. Tentang Chika, Disa, Gita, dan juga ... Rio. Ia menceritakan semuanya agar bisa lebih tenang. Flo segera memasukkan bukunya ke laci begitu mendengar pintu kamarnya dibuka dari luar. Seorang gadis dengan rambut dicepol asal-asalan berdiri di depan pintu lalu menutup pintu itu perlahan. Ia berbalik menatap Flo tajam. "Kak Chika?" ucap Flo. "A-ada apa?" tanya Flo bingung. Ia segera meraih kruknya dan berdiri. Tidak biasanya Chika mendatangi kamarnya seperti ini karena selama sebulan mereka serumah, Chika terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Flo. "Lo puas sekarang?" tanya Chika tajam. Flo mengerutkan kening. Puas? Puas apa? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD