Three : Hello for Leo

1021 Words
Vian pasrah ikut dengan Lotta dan Arsson menuju Medan, begitu mendengar kabar Ibu mereka menghilang dari rumah sakit. Sejak Ayahnya menyerahkan perusahaan pada Vian, kedua orangtuanya memilih Medan untuk tempat menghabiskan masa tuanya. Entah mengapa mereka memilih Medan, mungkin sang Ayah senang melihat barisan pohon kelapa sawit yang teratur. Mungkin... Begitu sampai di bandara, mereka sudah dijemput oleh pegawai Ayahnya. "Kata lo, gue dicari Papa selama di Jakarta. Lah ini Papa masih di Medan, kok," gerutu Vian. Dari awal keberangkatan dari bandara Soekarno-Hatta, Vian sudah ngedumel tidak jelas. "Lo b**o atau apa sih? Papa punya suruhan kali. Semua pegawainya disuruh cari seorang Vian yang mengabaikan perusahaannya hanya karena ditinggal jalang cantik yang memperalatnya." sinis Lotta yang terus-terusan merasa muak melihat sikap Vian yang seperti anak kecil. Padahal Vian sudah berumur 33 tahun dan masih saja merajuk. Sungguh ironis. "Terus Mama kenapa bisa hilang? Payah banget penjagaannya." "Mama tuh sukanya ngilang kalau lagi kacau dan ada masalah. Kayak lo gitu. Masa lo sudah 33 tahun jadi anaknya gak paham juga?" Lotta memang sangklek kalau ngomong. Dia gak sadar diri kalau dia juga anak sang ibu yang dibicarakannya. "Sadar diri, kampret." cibir Vian. "Ihh... Si Bangke satu ini." "Sayang~ Sabar... Ingat itu kandungan kamu." ucap perlahan oleh Arrson yang khawatir dengan meledaknya emosi Lotta. "Kak Arrson, itu tolong di tenangin jiwa dan batinnya Kak Lotta. Pusing dengernya." "Yan, kamu juga sadar diri! Kamu itu juga salah!" Hah~ Vian akan selalu diposisi yang salah. Sialnya-itu memang kenyataan. . . . . . "Nenek sudah gak sakit?" Leo menghampiri ibu-ibu renta yang dilihatnya kemarin kesakitan. Ibu renta itu tersenyum melihat Leo dan memberi kode agar Leo duduk dipangkuannya. "Sini. Duduk sama Nenek sini. Kamu yah yang tolongin Nenek kemarin?" tanya ibu renta itu. Leo mengangguk. "Iya. Leo panggilin suster Cecilia biar tolongin Nenek." "Terima kasih yah sayang... Siapa namamu?" "Leo... Leonan Starvian Agustinus. Umur 3 tahun. Cita-cita jadi pemain bola." ucap Leo polos memperkenalkan dirinya selengkap-lengkapnya. Tawa keluar dari mulut ibu renta itu. "Kamu pintar banget sih... Kamu juga mirip anak Nenek loh. Namanya, Vian. Mirip pas kecil sih... Sekarang sudah besar." Leo hanya mengangguk saja seolah mengerti padahal dia tidak paham apa yang dikatakan ibu renta itu. "Leo punya Papa dan Mama?" tanya si ibu renta setelah sadar kalau tempat yang menampungnya saat ini adalah panti asuhan sebuah Gereja. "Leo punya Mama tapi gak punya Papa. Papa gak pernah ada sama Leo dari kecil." Ucapan Leo membuat hati si ibu itu teriris. Kasihan sekali anak sekecil Leo harus kehilangan sang ayah. Ibunya sungguh luar biasa bisa merawat Leo hingga sepintar ini. "Mama dimana?" "Mama kerja cari uang. Buat Leo sekolah dan beli mainan. Nanti sore, Mama jemput Leo sama Om ganteng." "Om ganteng?" Ibu itu terkekeh mendengarnya. "Iya, Nek. Om gantengnya Leo... teman kerja Mama." Ah~ rupanya ibunya Leo sudah menemukan sosok ayah baru untuk Leo. "Nenek boleh cium pipi Leo buat ucapan terima kasih?" "Boleh kok. Kata Mama anak baik pasti dapat ciuman. Mama juga bilang kalau Leo jadi anak baik pasti Papa Leo akan datang untuk Leo." . . . . . "Kita langsung ke panti asuhan ini aja, Pak." titah Lotta menyerahkan alamat yang didapatnya dari orang suruhannya yang mencari sang ibu. Masih dengan tim yang sama, mereka bergegas menuju lokasi tempat ibu mereka berada. "Jauh banget Mama kaburnya." ucap Vian tanpa sadar. "Kamu juga sama." "Kak Lotta mulai lagi deh..." "Sudah istriku. Tenanglah." Arsson sang penengah mulai khawatir lagi. Keheningan dibuat agar kedamaian terjaga di dalam mobil. Tanpa terasa, mereka sudah sampai ketujuan mereka. Vian dan Arrson segera masuk dalam gereja dan bertanya pada penjaga disana apakah ada ibu mereka yang hilang. Jawaban penjaga itu memuaskan hati mereka karena informasi itu benar adanya. "Vian kamu susul ke halaman belakang, aku ajak Lotta dulu buat nemuin Mama." Vian mengangguk setuju pada Arrson dan Vian segera melihat kesetiap sudut pemandangan halaman itu. "Mama!" Vian berlari ke arah ibunya yang sedang mengamati anak-anak bermain bola di halaman. Ibunya terkejut dengan Vian yang berlari ke arahnya. "Vian? Kenapa kamu disini?" tanya ibunya bingung. "Semua mencari Mama. Tahu gak sih kalau Mama itu sedang menghilang?" "Mama gak menghilang tapi sedang menenangkan diri." Vian memeluk sang ibu dengan perasaan lega dan dia menangis. "Sudah... Jangan cengeng. Mama gak suka itu. Sini, Mama kenalin sama malaikat penolong Mama. Anak ini mirip banget sama kamu pas kecil... LEO, SINI NAK KEMARI." Vian melihat seorang bocah 3 tahun berlari kearahnya dan ibunya. Mirip! Sangat mirip dengan sosok dirinya saat kecil. Astaga! Apa ini kembarannya? Tapi kenapa perasaan Vian aneh? . . . . . Jane baru saja turun dari taksi dan segera masuk kedalam Gereja untuk menjemput buah hatinya tersayang. Raffael masih harus melakukan pertemuan, jadi Jane menjemput Leo sendirian saja. Entah kenapa, Jane terasa sepi menjemput Leo tanpa Raffael. Aneh. Jangan sampai perasaan cinta itu tumbuh. Sadar dirilah, Jane! Jane yang sudah dihalaman belakang dengan mudah menemukan sosok anaknya itu dan mengernyit bingung dengan sosok 2 orang asing yang bermain dengan Leo. Siapa? batin Jane. Jane mengambil langkah cepat menuju anaknya dengan penasaran dan seketika itu juga akhirnya Jane mengambil langka berhenti. Vian dan mantan Ibu mertuanya? "Mama!!!" Leo berlari menuju Jane dengan wajah senang karena Jane sudah menjemputnya. Vian dan mantan Ibu mertuanya mematung melihat sosok Jane yang dipanggil oleh Leo. Vian, terlihat shock dan melirik kearah Leo lalu kearah Jane. Sosok mungil yang mirip dengan dirinya waktu kecil. Umurnya 3 tahun dan... oh Ya Tuhan!!! Vian melihat ibunya juga tidak kalah terkejutnya dengannya. "Mama?" ucap Vian melihat Jane yang masih membeku. Jane segera menggendong Leo dan memeluk anak itu dengan erat. Takut kehilangan, itu yang dirasakannya. "Mama? Jane... Kau Jane kan?" pertanyaan bodoh keluar dari mulut Vian. Jelas. Dia masih terguncang. Jane tidak menjawab. Dia hanya membalikkan badan dan segera bergegas pergi dari sana. "Tunggu!" Vian menyusul langkah Jane dan meraih pundak wanita yang dulu adalah istrinya. "Lepaskan. Jangan sentuh aku!" sinis Jane. Leo melihat ibunya tidak suka dengan om-om yang baru saja dikenalnya. Leo memeluk ibunya erat. Melihat hal itu, hati Vian terasa pilu. "Jane... Apakah itu anakku?" tanya Vian dengan nada lirih. "Bukan. Dia anak haramku." ucap Jane dan meninggalkan Vian dengan seribu penyesalan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD