Penghangat

938 Words
"Bang, sempit... sakit juga tahu!" kesal Emil begitu kaus ukuran anak-anak ini dipaksakan masuk melewati kepala, lalu ke gunung kembarnya. Inilah ide menghangatkan yang ada di kepala Dika. "Itu cara satu-satunya buat mengganti kaca mata kuda milikmu. Kalau tidak mau, biarkan saja bergantungan bebas. Asal jangan menempel di punggungku saja nanti." Jawaban tertega yang keluar dari mulut tetangga Emil, sekaligus kakak iparnya. Ide yang ditawarkan Dikamembuat Emil garuk-garuk kepala. Sedikit menengok kejadian beberapa menit sebelumnya. Terjadi sedikit adu argumen antara Dika dan Emil, memutuskan untuk terus menerobos hujan atau menunggu reda di teras took yang sudah tutup. Pertengkaran mereka mereda setelah Dika menawarkan ide kepada Emil untuk saling menghangatkan. Setelah sebelumnyaEmil sempat syok dan berteriak dengan suara kencang melebihi petir yang mendadak ingin beradu. Saling menghangatkan dalam otak Emil ternyata berbanding terbalik dengan yang Dika amaksudkan.Mungkin karena hujan sedang deras-derasnya, hingga membuat otak Emil memikirkan yang ‘iya-iya’. Padahal aslinya ia alim juga, kadang-kadang. Dika mengajak Emil ke sebuah Distro yang menjual pakaian laki-laki. Kenapa di sana? Karena itulah toko terdekat dari tempat mereka berteduh. Berhubung baju Emil dari yang terluar sampai yang terdalam sudah basah--laki-laki yang entah kerasukan arwah siapa--dengan suka rela memilihkan Emil beberapa kaus dari ukuran anak-anak hingga dewasa. "Cobain yang kecil juga buat ganti kaca mata kudamu. Aku yakin kaus itu sama dengan cekungan kembarmu. Tidak jauh beda fungsinya. Sama-sama menopang agar rapat dan tidak memantul," ucap Dika begitu menyodorkan beberapa kaus yang harus Emil coba. Dasar kurang pengalaman dan ide yang Dika cetuskan benar-benar di luar nalar, ia memilihkan kaus ukuran anak SD. Ketika Emil mencoba begitu sesak, juga sempit. Dua gunung yang harusnya masih memiliki jalan setapak sebagai jarak, malah berdempetan. Memang benar kaus terus membuat rapat, tapi bikin sesak napas juga. "Bang, aku nggak apa-apa deh nggak dibeliin be-ha, tapi jangan maksa pakai kaus beginian dong! Nyesek tahu, mana 'barang' kebanggaanku juga nempel jadi satu. Entar orang ngira mereka kembar siam gimana?" Emil mengajak kompromi. Dilihatnya laki-laki itu menghela napas seraya berkacak pinggang, yang Emil intip dari pintu kamar ganti. "Ya udah, terserah kamu. Asal tidak menempel saja saat kubonceng nanti, pastinya akan sangat mengganggu." "Yaelah, Bang! Situ takut amat ternoda sama bola tenisku. Iman juga iman situ. Jagain dong. Kayak aku setan aja suka gangguin." Kesal juga kan kalau dituduh gitu? Emil apalagi. Padahal kalau disodorin ke wajah Dika, Emil yakin makhluk bermata empat itu langsung tak bisa kedip. *** "Hem... enak." Bakso dengan kuah panas mengepul memang pilihan yang pas saat hujan yang dingin seperti malam ini. "Buruan dimakan, jangan malah tidur!" peringat Dika sambil memukul kening Emil dengan sumpit kayu, yang akan ia gunakan untuk mengaduk mi ayam di mangkuknya. "Masih nikmatin baunya, Bang. Ganggu orang lagi menghayati aja." Emil kesal karena adegan ia menikmati aroma makanan sebelum disantap terganggu. Dari aroma dapat membuat kita tahu bahan apa yang digunakan, juga menambah nafsu makan. Beberapa aroma masakan biasanya akan membuat kita biasanya merasa tenang. "Buruan dimakan!" Oke. Emil mulai makan saja daripada dibentak-bentak terus sama orang di sebelahnya. Entah apa salah dan dosa Emil sampai-sampai ia ingin menyanyi lagu Jaran Goyang saja kalau begini. Dika makan dengan tenang. Sumpit yang ia gunakan untuk mengetuk kening Emil tadi, ia jadikan perantara helaian mi mmenuju ke mulutnya. Gerakan bibirnya yang dimajukan beberapa kali agar sisa mi yang menjuntai dapat masuk sempurna, membuat Emil membayangkan bagaimana jika bibir itu tidak digunakan untuk membentaknya. Melainkan untuk mencium Emil, mungkin. Wah, imajinasi yang berlebihan rupanya. Efek hujan dan dingin. Emil menghela napas berat. "Kamu suka pedas?" tanya Dika saat masing-masing sibuk menikmati makan malam yang romantis. Terbantu karena suara hujan saja sebenarnya. "Nggak juga. Kenapa?" Emil menolehkan wajahnya menghadap Dika, sambil mengunyah mi warna kuning dan putih yang bercampur. "Kalau nggak suka, kenapa sambelnya banyak sekali? Lima sendok kan, tadi kamu tuanginnya? Terakhir kali kamu makan pedas terlalu banyak, berujung mencret dan dirawat di Rumah Sakit." Emil merasa harus bertepuk kaki dengan kecermatan Dika menghitung jumlah sambel yang ia tuang. Namun, tidak harus membahas mencret juga di dalam keadaan ingin mengenyangkan perut seperti saat ini. Menyebalkan dan menjijikkan. "Abang takut aku mencret di motor? Tenang aja, aku udah siapin daun jambu biji yang bakalan aku kunyah saat ini juga!" bentak Emil kasar dan mendorong jauh ke depan mangkuk bakso yang tersisa setengah. Emil tahu dan sadar diri memang pernah bikin pencemaran saat bersama Bang Asdos, tepat disaat acara temu keluarga Sila dan Rey. Tetapi, itu kan sudah lama. Kenapa harus dibahas? Emil merasa dirinya tidak pernah benar di mata kakak iparnya tersebut. Apakah dosa menghilangkan kertas dan mencret di jok motornya amat tak terampuni? Kesal juga selama ini selalu dibentak, dipaksa, dengan kesalahan masa lalu. Nafsu makan mendadak hilang. Tangan Emil bersedekap dan wajahnya berpaling ke samping,berlawanan sisi dengan Dika. Rasa marah dan kesal, menyelimuti Emil. Sedetik. Lima detik. Satu menit pun berlalu hingga Emil merasakan, sebuah sentuhan hangat menempel di bibirnya. Bukan bibir Dika yang menciumnya. Melainkan pentol yang ditusuk ke ujung garpu, setelah sebelumnya sudah Dika tiup. "Maaf. Ini makan saja." Emil tergoda. Rasa lapar menyerangnya karena memang urusan perut tak bisa diajak kompromi. Aroma bulatan daging bakso yang bercampur dengan saus sambal, seketika menyerukan air liur untuk segera menetes. Baiklah, Emil mengibarkan bendera putih. Ia menoleh dan membuka mulut menerima suapan daging bakso, yang entah mengapa rasanya jadi sangat enak dibanding beberapa saat lalu. Apa karena beda tangan yang menyuapi? Entahlah. Mungkin karena Emil sudah sangat kelaparan. "Makan saja, habiskan. Aku tahu kamu lapar." Dika meletakkan garpu setelah menyuapi Emil. Hanya satu suapan. Padahal Emil sudah berharap menyikat habis semua, tak terkecuali mangkuknya. Selebihnya, mereka menikmati kembali makan malam yang tertunda diiringi alunan musik dari rinai hujan. ----------------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD