“Jangan lupa janji lo, ya!” ujar Kenisha mengingatkan lagi setelah ia mengantarkan Keisha ke rumah Felicia.
“Lo nih, gue mau naik angkutan umum, nggak lo bolehin. Sok-sok mau nganterin gue padahal diem-diem mau memperbudak gue,” protes Keisha sewot. Ia melepaskan helm.
“Ih, ini kan namanya nolongin kakak.”
“Beda 10 menit doang jangan sok berasa lebih tua 10 tahun dong, sampe gila hormat begitu.”
Kenisha tertawa. “Ya udah. Sana belajar. Nanti kalau udah selesai kasih tahu aja. Gue jemput lagi.”
“Nggak usah buru-buru. Lo nge-date aja dulu yang lama. Padahal lo juga bingung kan mau izin gimana sama Bunda buat pacaran sama Frando?”
“Telepati lo makin ngeri aja, ya.”
“Nggak butuh telepati buat baca raut muka yang polos banget ini,” tukas Keisha sambil menunjuk wajah Kenisha dengan geli. “Udah, ah. Gue masuk dulu. Hati-hati lo.”
“Siap. Salam sama Felish, ya.”
Keisha melambai hingga motor Kenisha sudah tidak terlihat lagi. Pintu pagar besar itu dibukakan, ia disambut oleh seorang pegawai perempuan rumah Felicia yang berseragam putih-hitam, membimbingnya hingga ke dalam rumah. Mau berapa kali pun ia ke sini, tetap saja rasanya derajat sosialnya tiba-tiba naik sekian tingkat tiap ia datang. Seperti sedang bertamu ke rumah anak sultannya Indonesia.
“Silakan, Nona Keisha. Nona Felicia sudah menunggu.” Bersama dengan kalimat persilaan itu, Keisha sampai di lantai dua rumah Felicia. Duduk di ruang belajar yang rasanya kelewat luas jika dimaksudkan untuk menampung tamu si anak pemilik rumah untuk bisa belajar bersama. Ini malah seperti ruang rapat kebesaran, tapi dengan sentuhan feminin. Untung temanya lesehan, sempat pakai meja persegi panjang dan kursi formal, Keisha merasa harus presentasi sebentar lagi. Pak Abraham Kemal itu memang luar biasa, ya. Keisha malah mulai tergoda untuk memanggilnya Yang Mulia.
“Lho? Juro? Lo di sini?” tanya Keisha bingung saat mendapati Juro dan Felicia duduk di bantal berukuran jumbo yang tersedia.
“Cuma mampir bentar, kok,” sahut Juro singkat.
Ia lalu bangkit. Mengusap singkat kepala Felicia sebelum beranjak pergi. “Makan. Gue beneran bakal seret lo kalau lo telat makan lagi,” peringatnya pelan sebelum melangkah menjauh.
“Iya-iya, ah,” sahut Felicia kesal.
“Duluan ya, Kei. Jangan serius banget belajarnya,” guraunya.
“Buat orang-orang yang otaknya biasa aja kayak gue mah harus serius lo. Beda sama yang jenius kayak lo,” sahut Keisha balas menggoda.
“Apa, sih?” Juro tertawa sebelum akhirnya benar-benar pergi.
Keisha kini beralih pada Felicia, menyusulnya untuk duduk di seberangnya. “Juro sering ya ke sini?”
“Lumayan.”
“Oh.” Setelahnya hanya diam. Sadar sedang diperhatikan, Felicia akhirnya menaikkan pandangan.
“Ngapain ngelihatin gue kayak gitu, Kei?”
Keisha hanya menggeleng. “Nggak, kok. Gue selalu ngerasa ada yang aneh kalau liat lo sama Juro,” akunya.
Felicia menatapnya seolah sedang melihat hantu. “Kei, seriously? Ini Juro lho yang lagi kita bicarain. Nggak mungkin, lah.”
“Nggak ada yang nggak mungkin, kali.”
“Pemikiran lho itu yang salah. Emang kalau gue bilang, lo sama Fairel kelihatan beda, menurut lo gimana?”
“Beda, lah. Fairel emang wataknya begitu. Dia kayak gitu sama siapa aja. Lha ini, Juro sehangat itu cuma sama lo doang.”
“Emang dia dingin sama lo? Nggak, kan?”
“Bukan itu maksud gue.”
“Kei, otak lo kebanyakan dicekoki drama romantis, deh. Stop bahas hal mustahil kayak gitu. Mending juga lo bantu pikirin gimana caranya biar Dala mau nerima gue.”
Keisha menarik napas dalam. “I am give up. Urus sendiri aja percintaan lo. Nggak tertarik gue.”
“Tadi lo yang mulai!” kesal Felicia.
Keisha mulai membuka-buka buku pelajaran di depannya. “Kok belum ada yang datang?”
“Nggak tahu. Danu sama Reno lagi di jalan. Febi katanya agak telat karena mau nganter adiknya les dulu,” jelas Felicia.
“Mau mulai coba mikirin naskahnya apa gimana?” tanya Keisha.
“Boleh,” jawab Felish. Ia berjalan ke kamar lalu kembali sambil membawa laptop.
“Assalamualaikuuuum!”
Baru saja Felish menyalakan laptop, dua orang anak laki-laki sudah berjalan mendekat.
“Waalaikumsalam,” balas Felish. “Nah, kebetulan lo berdua udah dateng. Buruan pikirin ide buat ceritanya. Mau buat cerita yang gimana?”
“Yaelah, Fel. Baru juga duduk. Kasih minum dulu, kek. Malah langsung disuruh mikir,” ujar Danu pura-pura lelah.
“Lo sok-sok capek, padahal kan lo dateng ke sini nebeng mobilnya Reno,” ujar Keisha.
“Ya makanya itu, setidaknya kasih minum buat Reno,” balas Danu sambil tertawa.
“Nggak, kerja dulu, baru minum. Ayo, mau bikin drama yang gimana?” kilah Felish.
“Yang biasa-biasa aja, gimana? Anak sekolahan, jadi nggak usah banyak-banyak properti,” usul Reno.
“Nah, itu! Yang romantis gitu lhoo, kayak sinetron yang di TV itu. Yang zzt-zzt-zzt!” seru Danu berapi-api.
“Apaan, sih?” Keisha dan Felish menatap cowok itu dengan tampang bingung.
“Danu ngomongin serial itu, yang ada vampir sama serigala.” Reno bantu menjelaskan.
“Ooh! Ngomong yang jelas dong! Zzt-zzt apaan lagi? Emang orang kesetrum?”
“Ih, itu efek videonya, filmnya. Nggak tahu ya lo? Yee, udah nggak tahu, ngatain lagi,” kesal Danu.
“Ah, udah, ah. Masa bikin yang begitu? Lo jadi serigala, mau? Gue bantuin pakai rumput biar jadi bulu samaran lo,” usul Felish sambil tertawa memikirkan idenya sendiri.
“Nggak sekalian lo bawain gue semak-semak sama pohonnya?” balas Danu kesal.
“Nggak, ah. Ribet banget. Yang biasa aja. Daily life. Terus selipin konflik dikit.”
“Iya. Misal si Reno jalan ke sekolah,” mulai Keisha.
“Terus ditilang polisi,” sambung Felish.
“Lolos dari polisi, dia lanjut lagi. Eh, mobilnya malah mogok,” sambung Danu.
“Terus pas ke bengkel, dia ngeliat cewek.” Reno berusaha memperbaiki jalan hidupnya dalam drama.
“Iya, terus si cewek lagi jualan kue,” usul Felish.
“Ternyata ceweknya buta. Dia mau nyeberang jalan,” sambung Danu bersemangat.
“Terus si Reno bantuin nyeberang.” Keisha ikut memeriahkan.
“Terus pas dibantuin, si cewek malah teriak. Minta tolong karena si Reno yang pegang-pegang dia. Terus Reno digebukin deh sama warga,” ujar Danu sambil tertawa.
“Terus salah paham. Padahal Reno cuma mau bantuin,” lanjut Felish.
“Cewek itu nyesel banget, sedih sampe nangis,” sambung Keisha.
“Tapi Reno keburu mati,” ujar Danu kejam.
“GUE PULANG DULUAN AJA YA, GUYS. BYE!”
Semua sontak tertawa melihat Reno yang bergegas bangkit seolah benar-benar akan pergi. Danu menariknya agar kembali duduk. Cowok itu masih tampak sebal meskipun sudut bibirnya tertarik sedikit karena geli.
“Ya udah. Kalian pikirin dulu idenya, ya. Gue mau ambilin makanan dulu,” ujar Felish sambil bangkit.
Semua orang manggut-manggut. Keisha tersenyum haru. Cukup tersentuh melihat bagaimana cewek itu berusaha terjun langsung dalam melayani teman-temannya yang datang meskipun Felish bisa saja menyuruh para pegawai orang tuanya yang berkerja di rumah ini—yang jumlahnya banyak sekali—untuk menyiapkan jamuan mereka. Itu jelas bukan permintaan sulit.
“Woy, Nu. Lo nggak kasihan sama Febi kalau disuruh akting begitu? Tega, ih,” protes Keisha sambil tertawa. Danu berniat menyusun adegan dimana Febi harus akting untuk jadi bucinnya Reno.
“Becanda doang, Kei. Kan cuma buat seru-seruan.” Danu berujar.
“Kasih tahu Febi dulu tapi,” protes Reno ikut merasa kasihan pada Febi.
“Iya, nanti kalau orangnya dateng gue yang ngomong, deh.”
“Lo tahu nggak sih Febi kalau ngamuk itu serem? Ntar gue yang dimarahin!” seru Reno.
Danu dan Reno masih sibuk berdebat. Keisha sudah lelah berusaha melerai. Akhirnya ia memutuskan pergi dari sana. Menyusul Felish yang belum juga kembali. Keisha menuruni tangga melingkar yang tersusun dari lantai granit berwarna hitam dan abu-abu. Rumah itu cukup lengang. Hanya ada beberapa pegawai yang sesekali bolak-balik atau membersihkan sudut-sudut rumah. Keisha berniat berbelok ke dapur, tapi suara di ruang tengah mengusik batinnya.
Ada suara bayi yang sedang merengek sambil sesekali menangis.
Hah? Di rumah ini ada bayi? Anak siapa? Felish kan nggak punya adik.
Keisha berbelok arah. Gugup karena berniat mengintip. Dari belakang sofa, ia melihat anak perempuan berusia satu tahunan yang sedang dipangku oleh seorang laki-laki. Ia tidak tahu siapa, karena yang dilihat Keisha hanyalah bagian belakang kepalanya. Cowok itu mencoba membujuk si bayi.
Keisha baru ingin bertanya saat tiba-tiba cowok itu bangkit. Membawa anak itu dalam gendongannya sambil menimang perlahan, masih berusaha menenangkan. Keisha melongo di tempat.
“ELO??!” seru Keisha karena kaget. “KOK LO DI SINI?” teriaknya lagi.
“SSSSTTT!” ujar Erlangga panik. Menyuruh Keisha diam karena takut membuat bayi yang akan ditidurkannya itu malah bangun.
“Lo ngapain di sini?” Keisha kembali bertanya, kali ini sambil berbisik. Melirik waswas pada bayi dalam gendongan Erlangga. Bersyukur karena anak itu tidak jadi bangun.
“Nidurin anak, masa lo nggak liat?” jawab Erlangga asal. Cowok itu melangkah meninggalkan Keisha, berjalan menuju dapur.
“Di rumah ini? Lo nidurin anak di rumah ini?” tanya Keisha lagi. Masih tidak percaya. Keluarga Felicia bukan orang sembarangan. Tidak semua orang bisa berteman dekat dengan keluarga Kemal, apalagi bertamu seenak jidat begini. Terus kenapa Erlangga bisa ada di sini?
“Nggak, cuma pengin mampir aja.”
Rahang Keisha kian menganga mendengar jawaban Erlangga. Sekarang ia ingin sekali memukul kepala cowok itu, tapi jika benar ia kenalan—atau malah kenalan kelewat baik—keluarganya Felish, bisa-bisa ia yang bakal kena masalah.
“Gue serius. Kok lo bisa di rumah Felish, sih?” buru Keisha lagi.
“Lho, lo kenal Sasha?” tanya Erlangga lagi.
Keisha merengut. Sasha, panggilan yang malah kelewat akrab. Serius deh, Erlangga ini siapa, sih?
“Gue sahabatnya Felish,” jawab Keisha. “Kalau lo siapanya Felish?” tanyanya kemudian.
“Gue? Calon suami. Eh nggak ding, soalnya anaknya udah lahir. Jadi, gimana jelasinnya, ya,” Erlangga sibuk sendiri dengan pikirannya.
Hah? Apa katanya? Suami?