17. Penjelasan Saja, Bukan Pembenaran!

1185 Words
13 OKTOBER 2020 ALJAVAR GANINDRA ADHINATA ___________________________________ SEMENJAK pertemuanku dengan Lovia di cafe waktu itu, aku belum bertemu dengannya lagi. Nomorku pun tampaknya di-blokir. Mungkin karena marah padaku. Padahal aku tidak punya hubungan dengan Alea lagi. Aku hanya sedang memenuhi janjiku untuk bertemu dengannya lalu membahas masalah pekerjaan yang dia tawarkan padaku. Jikalau Alea membahas soal perasaan atau masa lalu, aku pun hanya diam dan memilih bermain ponsel. Semenjak aku memutuskan jatuh cinta pada Lovia, semua perempuan sudah tak lagi menarik di mataku. Perempuan yang dulunya amat ingin kumiliki pun hanya angin lalu. Setelah menyelesaikan masalah di proyek, aku langsung pulang ke rumah dan mandi. Mumpung masih sore, aku akan datang ke rumah Lovia terlebih dahulu. Aku bisa saja datang ke kantornya. Tetapi aku takut jika malah terjadi pertengkaran antara aku dan Lovia karena salah paham ini. Aku hanya berusaha untuk menyelesaikan masalah kami, karena bagaimanapun juga, kami akan segera menikah. Aku juga ingin melihatnya sekarang, melihat apakah dia baik-baik saja atau sedang merasa kesal padaku. "Pak, martabak cokelat satu sama martabak telur satu." Ucapku kepada Bapak tukang martabak yang berada di depanku. "Baik, Mas." "Ramai, Pak?" Tanyaku berbasa-basi sambil menunggu si Bapak membuat martabaknya. Bapak itu menoleh sebentar, "sepi Mas akhir-akhir ini. Hari ini aja baru Mas-nya yang beli. Biasanya orang pada pulang kerja aja, enggak pada mampir kesini, Mas. Ada cafe baru dekat sini, menunya juga lebih kekinian kata anak muda jaman sekarang, mah." Aku mengangguk singkat, memang ada sebuah cafe baru di dekat sini. Mungkin cafe tersebut memang ditujukan untuk anak-anak muda yang hobi nongkrong sampai malam sambil minum kopi dan makan camilan. Aku paham betul jika para pedagang kecil di pinggir jalan seperti ini lama-kelamaan tidak terjelajahi orang-orang. Kadang merasa miris dengan persaingan pasar, tetapi mau bagaimana lagi? Aku pun sering datang ke cafe. Selain karena lebih nyaman, produk-produknya pun terjamin. Tapi bukan berarti pedagang di pinggir jalan dagangannya tidak oke. Semua itu pada intinya hanya tentang tempat. "Ini Mas, sudah siap." Aku berdiri dari dudukku, "oh iya, Pak. Berapa?" "Lima puluh ribu, Mas." Aku mengeluarkan uang seratus ribu dari dalam saku celanaku, "Pak ini sisanya 'kan lima puluh ribu, tolong dibuatkan martabak dua dan dikasih sama dua anak pemulung yang duduk di bawah lampu taman, ya. Makasih." Aku langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu balasan dari Bapak martabak. Aku buru-buru tancap gas sebelum Lovia sampai rumah. Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit dan aku sampai di halaman rumah Lovia. Sambil tersenyum ramah kepada Bapak tukang kebun, aku dipersilakan untuk masuk ke dalam. "Assalamualaikum, Yah." Salamku kepada Ayah yang sedang duduk santai di depan televisi. Ayah menoleh ke arahku, "lho, Nak Javar, walaikumsalam. Kok enggak bilang kalau mau kesini?" Aku berjalan mendekat lalu mencium punggung tangan Ayah, "mampir aja, Yah. Tadi habis pulang kerja terus kesini deh. Ini, Yah, Javar ada oleh-oleh. Mau nyogok, biar direstuin sama anaknya." Ayah tertawa mendengarkan candaanku, lalu mengambil bungkusan berisi martabak yang aromanya sudah menyeruak kemana-mana. "Javar enggak tahu Ayah, Bunda, dan Lovia suka martabak apa. Jadinya, Javar beli dua." Ucapku berbasa-basi yang ditanggapi Ayah dengan cengiran. "Makasih lho Nak Javar, repot-repot deh. Kalau masalah martabak, Ayah sama Bunda suka. Tapi Lovia yang enggak suka keduanya. Makanan kesukaan Lovia itu pecel. Sekalian diet, katanya." Ucap Ayah yang mengajakku duduk. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku, celingukan mencari Bunda yang kata Ayah baru keluar sebentar ke minimarket yang ada di depan komplek. Kami berbicara banyak hal, apalagi kami berdua mempunyai profesi yang sama. Ayah berbagi banyak pengalaman tentang dunia pekerjaan kepada-ku. Ayah juga tidak pelit ilmu. "Assalamualaikum, Yah. Lovia pul—" Aku menoleh ke sumber suara, ada Lovia yang langsung menutup mulutnya setelah melihatku. Aku tersenyum tipis ke arahnya walaupun hanya dibalas dengan wajah malas. Lovia mendekat, bukan padaku tentunya. Tetapi bersalaman pada Ayah. "Lovia masuk ke kamar ya, Yah. Capek banget soalnya," ucapnya meminta ijin kepada Ayah. Aku berdiri sebelum dia benar-benar pergi, "Lovi, aku boleh ngomong sebentar, enggak?" Lovia memalingkan wajahnya, "aku capek, kita ngobrolnya besok aja." Aku hanya bisa menghela napas panjang ketika melihatnya menjauh dariku. Berjalan menuju tangga dan menoleh setelah Ayah memanggilnya. Aku pun kaget karena Ayah yang memanggil Lovia. "Bicara dulu, sepertinya kalian perlu bicara empat mata. Di gazebo depan sana, ngobrol. Kalau ada masalah diselesaikan, supaya masalahnya tidak berlarut-larut." Ucap Ayah kepada Lovia. Lovia cemberut, "ya udah!" Aku mengekor di belakang Lovia setelah pamit kepada Ayah. Lovia berjalan menuju keluar rumah dan duduk di gazebo yang ada di depan rumah. Kami duduk bersebelahan tanpa kata. Aku pun masih berusaha untuk mencari kata-kata yang pas agar Lovia percaya padaku. Sayang, Lovia sepertinya sudah tidak sabar. "Aku mau jelasin soal kemarin, Lovi." Ucapku membuka suara. "Aku sama Alea enggak ada hubungan apapun. Setelah aku putus sama dia dan memutuskan untuk suka sama kamu, aku enggak pernah dekat lagi sama perempuan." Sambungku. Lovia tersenyum sinis, "kamu udah bilang kata-kata kaya gitu sama berapa perempuan?" "Aku ketemu sama dia lagi di Sabang waktu aku ada proyek besar. Dia bilang, kalau misalkan datang ke kota ini, aku harus temuin dia. Waktu itu aku iya-in aja. Ternyata dia menagih janji itu, karena dia tahu, aku bukan orang yang suka ingkar janji. Enggak hanya itu, kami membahas kerjaan. Cuma seputar pekerjaan dan hanya pekerjaan." Jelasku kepada Lovia. Aku penasaran apa tanggapannya nanti. Apakah dia percaya, atau tidak. "Hm," hanya deheman yang keluar dari mulutnya. "Itu tadi pembelaan, 'kan? Kamu enggak mau mengakui aja kalau dekat sama mantanmu itu." Sindirnya kepada-ku. Aku menggeleng pelan, "tadi itu cuma penjelasan saja, bukan pembelaan. Karena memang benar kok, aku dan Alea enggak ada hubungan spesial apapun." "Ya udah," jawabnya dengan cepat. "Ya udah gimana? Masih marah sama aku?" Tanyaku memastikan. "Siapa yang marah? Orang enggak ada yang marah!" Jawab Lovia dengan sedikit penekanan. Menurutku, yang masih menjadi rahasia dari sikap para perempuan adalah, bilang tidak marah tetapi bicaranya suka nge-gas. Apa itu definisi tidak marah? Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, "terus kamu blokir nomorku kenapa? Enggak marah namanya? Kamu cemburu, ya?" Lovia mengerutkan keningnya lalu tertawa hambar, "aku? Cemburu? Bangun, Mas, kamu kebanyakan mimpi." Mas? Apa Lovia baru saja bilang Mas kepada-ku? Aku hanya bisa terdiam sambil menatapnya dari samping. Sungguh indah ciptaan-Mu ya Rabb. Betapa beruntungnya diriku bisa bertemu dengannya, bahkan akan menikah dengannya. Diam-diam aku tersenyum menatapnya. "Gimana kerjaan kamu?" Tanyaku berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Lovia menoleh ke arahku, "udah selesai. Kenapa enggak datang pas pertemuan kemarin?" "Kapan?" "Waktu bahas masalah pernikahan. Memangnya, Mas setuju?" Tanyanya kepada-ku dengan serius. Aku menganggukkan kepalaku, "aku setuju-setuju aja, asalkan nikahnya sama kamu. Memangnya kamu enggak setuju, Lovi?" Lovia diam sambil menatap lurus ke depan, "Mas masih cinta sama aku? Masih suka?" "Iya! Sangat suka!" "Ayo masuk ke dalam kalian, sudah mau magrib. Nak Javar diajakin Ayah ke masjid tuh." Panggil Bunda yang membuat kami beranjak dari gazebo. "Iya, Bun." Jawab kami kompak. Aku hanya bisa melihat Lovia dari belakang yang sedang merangkul Bunda. Setelah itu Lovia berjalan ke lantai atas, katanya mau mandi. Dan aku hanya duduk di sofa ruang keluarga untuk menunggu Ayah. Kami akan pergi ke masjid setelah ini. Walaupun aku tidak tahu bagaimana perasaan Lovia, tetapi aku sudah berusaha menjelaskan semuanya kepadanya. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD