31 JULI 2011
DIANDRA LOVIA SARADIKA
_______________________________
SORE ini tampak cerah dan kami—aku dan Bang Syail—memutuskan untuk pergi keluar. Sebenarnya aku malas sekali keluar kamarku, masih lelah karena sehabis pindahan dari rumah kami yang lama. Dulu, kami tinggal di daerah pedesaaan, rumah milik Mbah Kakung dan Mbah Putri. Sayangnya, mereka sudah meninggal ketika aku duduk di bangku SMA kelas dua. Tidak lama setelah Mbah Putri meninggal, Mbah Kakung pun menyusul—katanya sih seperti cinta sejati yang ada di film-film. Alasan utama kami pindah ke perkotaan seperti ini adalah karena aku mulai kuliah tahun ini.
Sebenarnya ada Universitas swasta yang lumayan dekat dengan daerah rumah kami dulu. Sayangnya, Ayah keukeuh untuk mendaftarkan aku di Universitas negeri—katanya nilaiku lumayan. Tetapi bagiku, negeri atau swasta, sama saja. Tergantung dari manusianya. Mungkin juga, karena Bunda ingin tinggal bersama kembali dengan Bang Syail. Ya, kami tidak tinggal bersama dengan Bang Syail karena tempat tugas Abangku berada di daerah ini. Ya, kalian bisa menebak apa profesi Abangku ini... Polisi.
Semenjak Abang menjadi polisi, banyak sekali perempuan yang mendekati Abang. Dari kalangan polisi wanita, mahasiswa, perawat, dokter, pegawai bank, dan masih banyak lagi. Terkadang mereka menyapa Bang Syail lewat pesan di sosial media—berusaha untuk mendekati Abangku ini. Tetapi, sayangnya, Abang masih ingin fokus dengan karirnya sebagai seorang polisi. Masih ingin mendapatkan banyak pengalaman, penghargaan, dan melakukan banyak pengabdian kepada negara. Oke, jika aku menjadi perempuan yang bukan adiknya, pasti aku juga terpesona.
Abang menghentikan laju mobil yang dikendarainya, ini bukan mobil milik Bang Syail. Mobil ini milih Ayah, baru dipinjam Abang untuk mengajakku jalan-jalan. Abang punya satu motor matic biasa. Mesinnya kadang suka rusak, mungkin sudah beberapa kali masuk bengkel karena termasuk ke dalam motor tua. Abang bukan tipikal orang yang mudah membeli apapun sesukanya. Abang adalah orang yang selalu memikirkan manfaat daripada gaya. Abang punya banyak tabungan dari jaman SMA, ditambah gajinya sekarang walapun tidak banyak. Abang mampu membeli motor, atau Abang bisa memintanya kepada Ayah. Tetapi Abang tidak berpikir demikian.
Kalau masih bisa dipakai, kenapa harus beli yang baru? Itu adalah pesan yang selalu Abang tanamkan kepadaku. Jangan terbakar dengan barang-barang milik orang lain. Terkadang kita mampu membeli, tetapi tidak terlalu membutuhkan. Lebih baik menabung banyak uang tetapi tidak kelihatan, daripada punya banyak barang tetapi tidak punya tabungan.
"Ada apa, Bang?" Tanyaku ketika Abang keluar dari mobil setelah menepikan mobil kami.
Abang melongokkan kepalanya kembali ke dalam mobil, "jangan keluar! Tunggu di sini, dulu! Ingat, jangan keluar!"
Aku hanya mengangguk cepat dan menatap kepergian Abang dengan terburu-buru. Aku melihat kemana Abang pergi, ternyata ke arah kerumunan orang-orang. Entahlah apa yang terjadi di sana, yang jelas Abang langsung tanggap—membelah jalanan dan masuk ke dalam kerumunan itu.
Sebenarnya aku penasaran dan ingin sekali melihat apa yang terjadi, tapi Abang akan marah jika aku nekad untuk keluar sekarang juga. Tidak lama kemudian ada suara sirene ambulance dibarengi dengan mobil polisi yang berhenti dengan cepat. Dua orang polisi keluar lalu meminta orang-orang yang berada di area itu untuk pergi menjauh karena akan dipasang garis polisi. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, samar-samar aku melihat dua orang polisi itu memberikan hormat kepada Bang Syail.
"Aku tidak mengerti dengan mereka semua. Kenapa harus pakai hormat segala sih?" Bingungku lalu kembali menyandarkan punggungku pada sandaran kursi.
Klik. Abang masuk ke dalam mobil seraya tersenyum tanpa beban. Lalu Abang kembali menstater mobil kami dan melajukannya ke sebuah mall paling besar di kota ini. Aku hanya bermain ponsel sambil memasang earphone yang mengalunkan lagu Armada-Hargai Aku.
"Sampai..." Seru Bang Syail heboh setelah memarkir mobil di parkiran.
"Mau beli apaan sih di sini? Aku malas banget," gerutuku kepada Bang Syail seraya melepaskan earphone dari telingaku.
"Katanya mau cari kemeja putih dan rok hitam buat OSPEK?" Tanya Bang Syail kembali. "Bukannya kemarin belum sempat beli? Besok udah berangkat, 'kan?" Sambungnya.
Aku hanya mengangguk, "untuk apa OSPEK? Mau balas dendam tapi ke adik tingkat, ya!"
Bang Syail mengelus kepalaku lalu tersenyum, "coba ambil positifnya deh, Dek. Kalau misalkan dengan adanya OSPEK begini secara tidak langsung akan mendekatkan antara senior dan junior. Siapa tahu kalau dalam dunia kerja nanti, kamu bisa ditawarin kerja sama seniormu. Kita 'kan enggak tahu masa depan. Iya enggak?"
"Abang mana ngerti, 'kan enggak ikutan OSPEK!" Kesalku lalu turun dari mobil.
Bang Syail tertawa lalu mengikuti langkahku, "kalau Abang ikut OSPEK, nanti pada bubar. Iya enggak?"
Aku menaikkan sebelah alisku lalu akhirnya tertawa, "memangnya mereka takut sama polisi?"
Bang Syail menggeleng, "polisi bukan untuk ditakuti, kok. Paling mereka pikir lagi razia SIM atau helm."
"Apaan sih! Garing bercandaan, Abang." Ucapku lalu menggandeng lengan Bang Syail agar tidak ada perempuan-perempuan yang melirik ke arahnya.
Kami berjalan menuju ke salah satu toko dan mencari kemeja putih serta rok hitam. Bang Syail dengan telaten menemaniku untuk belanja—tidak hanya belanja perlengkapan untuk OSPEK, tetapi belanja bulanan juga. Kadangkala Bang Syail membetulkan jilbabku yang miring, memasukkan poniku yang kelihatan, dan terus merangkul pundakku.
Setelah berputar-putar dan selesai berbelanja, kami masuk ke restoran cepat saji yang ada di mall tersebut. Akhirnya perutku terisi juga setelah sekian lama meraung-raung minta diisi. Abang memisahkan kulit ayam dari ayamnya—bukan untuk dimakan terakhir, tetapi karena Abang tidak suka kulit ayam.
"Bang, mau kulitnya enggak?" Tanyaku kepada Abang yang sedang minum.
Abang menggeleng pelan, "ambil aja, Dek. Masih enggak suka kulit kok, Abangmu ini."
Aku tersenyum sumringah, lalu memakan makanan Abang. Kami bercerita sedikit tentang dunia kerja dan apa yang akan aku lakukan beberapa tahun yang akan datang. Apalagi sekarang aku mengambil jurusan Ilmu komunikasi yang sebenarnya tidak terlalu aku inginkan. Sebenarnya aku tidak ingin mendaftar kuliah tahun ini, tapi Ayah mendesakku dan akhirnya memilih jurusan yang katanya cocok dengan skill-ku. Padahal, aku tidak tahu apa yang aku lakukan dengan mengambil jurusan itu, mau jadi apa aku di masa depan pun tidak terbayangkan sama sekali. Semoga saja feeling Ayah benar, memilihkan program studi Ilmu Komunikasi untuk menjadi tujuan hidupku empat tahun ke depan.
"Aku bingung deh, Bang." Curhatku kepada Bang Syail setelah kami selesai makan.
"Bingung? Karena?" Tanya Bang Syail yang mengalihkan fokus matanya kepadaku.
Aku menggelengkan kepalaku bingung, "aku enggak tahu tentang jurusanku sendiri. Aku bingung mau fokus ke bidang apa setelah masuk kuliah, Bang."
Bang Syail sedikit berpikir, "kalau Abang boleh kasih saran, kenapa kamu enggak jalanin dulu aja. Jadi, mau fokus kemana, tinggal nunggu dulu aja—setelah kamu benar-benar yakin. Pokoknya, pilih yang menurut kamu paling menyenangkan. Kalau senang, pekerjaaan sesulit apapun pasti ringan."
"Kaya Abang?" Tanyaku.
Abang mengangguk, "kalau kamu kesulitan, kamu boleh cerita sama Abang. Jangan percaya sama quotes yang bilang kalau lebih baik masalah disimpan sendiri. Kamu punya Abang, jangan pernah main rahasia-rahasia ya. Kalau punya pacar juga bilang. Kamu 'kan cantik, pasti bakalan banyak buaya yang deketin kamu. Jangan mau!"
"Apaan sih, Abang. Ngerusak suasana aja." Ucapku kesal lalu memukul lengannya.
Abang tertawa lalu mengajakku untuk keluar dari mall itu dan pulang ke rumah.
°°°