2. Jaman Gadget

1737 Words
Satu persatu dari sepatu yang berjejer di rak, hampir dicoba semua oleh Tasya. Mana pun yang dia lirik, akan dia coba. Tentu saja, kalau dia suka maka akan dia bayar barangnya. Meski ada lebih dari sepuluh sepatu dalam sekali belanja. "Gue suka semuanya." desahnya usai mencoba sepatu terakhir yang dia sukai. Ini sudah hari kelima belas Tasya ada di Jogja. Dia sangat menikmati kesehariannya, tinggal di kota kelahiran memang menyenangkan. Tasya dibuat pusing oleh sepatu yang harus dia pilih. Bola matanya kembali bergerak ke kanan dan kiri selama beberapa kali untuk memilih setidaknya dua pasang sepatu yang akan dia bawa pulang. "Oke, gue pilih yang ini aja." Tasya mengambil dua pasang sepatu. Yang satu sepatu kets berwarna tosca dan satunya lagi high heels berwarna gold. Tak berapa lama, seorang pramuniaga datang untuk membungkus barang pilihan Tasya. Gadis itu berbelanja sendiri, tanpa ditemani siapa-siapa. Jadi mau tak mau, Tasya juga harus membawa barang belanjaannya sendiri. Hari ini, Tasya tidak berhenti belanja sepatu saja. Masih ada pakaian, tas, make-up, jam tangan, perhiasan dan apa saja yang ingin dia beli. Di tangan mungilnya sudah ada banyak paper bag berisi barang-barang yang sudah disebutkan. "Ah, gue laper." keluh Tasya seraya melihat ke arah perut datarnya. Tanpa pikir dua kali, Tasya langsung menuju ke kafe tempat biasa dulu dia makan di sana saat masih masa sekolah. Tasya tersenyum senang, karena tempat itu masih ada dan tatanannya pun masih sama. Tidak ada yang berubah sama sekali! Pandangan Tasya kini tertuju pada sebuah meja kosong yang ada di pojok bagian kiri. Di samping meja itu, ada pot tanaman hijau yang namanya tidak diketahui oleh Tasya. Kebetulan, di meja itu kosong. Tasya segera berjalan ke sana untuk meletakkan barang belanjaannya, baru dia memesan makanannya. Tasya memang sengaja melakukan itu, agar tidak ada orang lain yang menempatinya terlebih dulu. Saat sedang menunggu makanan, Tasya tak sengaja melihat sepasang kekasih berseragam SMA yang baru saja tiba dan sedang memesan makanan di sampingnya. Tanpa Tasya minta, ingatan tentang kisah cintanya bersama Virgo semasa sekolah dulu kembali terngiang di pikirannya. "Mbak, nasi goreng spesialnya dua. Yang satu pedes nggak pakai micin sama nggak pakai acar terus telurnya jangan dicampur tapi diceplok. Yang satu lagi biasa tapi telurnya didadar ya! Minumnya es teh manis dua." dengan lihainya, Virgo memesan makanan untuk dirinya dan Tasya. "Oh ya, french fries-nya satu." Virgo kembali menambahkan pesanan terakhir yang hampir dia lupakan. Tasya tersenyum senang mendengar Virgo mengucapkan pesanan mereka. Kekasihnya itu sudah sangat hapal dengan kesukaan Tasya. Bahkan Virgo sampai hapal hingga ke hal-hal kecil yang bisa dan tidak bisa Tasya makan. Virgo menolehkan wajahnya ke arah Tasya, lelaki itu ikut tersenyum melihat gadisnya tersenyum manis. Hal ini membuat Tasya jadi semakin tersipu malu. "Kenapa?" Virgo malah bertanya, karena dia juga bingung akan arti tatapan Tasya. Kepala Tasya menggeleng, dia hanya menunjukkan ibu jarinya kepada Virgo sebagai tanda pujian. Virgo lagi-lagi terkekeh mendapat pujian dari Tasya hanya karena dia hapal semua tentang Tasya. "Kita udah pacaran bertahun-tahun. Ya masa gue nggak hapal sama apa yang lo suka dan nggak lo suka." katanya disertai cengiran khas Virgo yang membuat Tasya bisa salah tingkah jika ditatap seperti ini. "Gue nggak suka kenalan sama cowok baru dan memulai lagi dari awal. Apalagi harus ngasih tahu tentang hal-hal kecil yang lo udah tahu semuanya. Jadi gue minta, lo jangan pernah ninggalin gue." pintanya tiba-tiba pada Virgo. Kening Virgo mengerut, dia menjulurkan lidahnya meledek ke arah Tasya lalu mereka sama-sama tertawa. "Emang gue mau ke mana?" "Ih, bukan itu maksud gue." rengek Tasya. "Iya, gue nggak akan ninggalin lo. Gue cuma punya lo." Jantung Tasya berdetak kencang mendengar bahwa Virgo hanya miliknya seorang. Gadis mana yang tidak suka jika diberi janji seperti ini oleh kekasih yang dia cintai? Begitu pula dengan Tasya yang sangat senang mendapat janji dari Virgo. "Gue kangen sama lo, Virgo. Pokoknya, gue bakal secepatnya nemuin lo." gumamnya sebelum Tasya menyuapkan nasi goreng pesanannya yang baru saja dia bawa ke meja. *** Indra berjalan mengendap-endap memasuki rumah kedua orang tuanya setelah dia berhasil masuk dengan bantuan Della. Wanita itu adalah seorang kepala maid yang bertugas memenuhi semua kebutuhan Indra. Barusan, Indra meminta bantuan maid yang sudah mengasuhnya sedari kecil itu buat membukakan pintu untuknya. Saking tidak maunya Indra ketahuan oleh sang mama, dia sampai melepas sepatunya agar tidak menimbulkan suara. Lelaki itu memberikan sepatunya ke sembarang maid yang berjalan di belakangnya. Bahkan, Indra saja tidak tahu siapa yang memegang sepatunya sekarang. Ekor matanya melirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Ini sudah tengah malam, dan dia baru saja pulang dari rumah teman dekatnya. Meski berjalan pelan, Indra tetap mempercepat langkahnya menuju tangga yang menghubungkan ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Jangan sampai ketahuan Mama. Batin Indra berdoa. Beberapa maid yang berjalan belakangnya pun ikut-ikutan melepas sepatu kerjanya agar tidak membuat keributan di tengah malam begini. Dalam hati, Indra merasa tidak tenang. Dia takut ketahuan oleh Luna pulang jam setengah dua malam. Meski Indra anak laki-laki, tapi Luna tidak ingin melihat putranya pulang terlalu malam begini. Kecuali kalau tadinya Indra sudah pamit akan pulang tengah malam kepada Luna, baru mamanya tidak akan marah pada Indra. "Habis dari mana kamu? Jam segini baru pulang?" "Astaga! Mama! Bikin kaget aja." refleks tangan Indra mengusap dadanya. Suara cempreng milik Luna barusan sangat mengagetkan Indra ketika lelaki itu sedang mengendap-endap menaiki anak tangga. Kunci motornya saja sampai terjatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang membuat Luna semakin penasaran. Indra merutuki kebodohannya karena lupa memasukkan kunci motor ke dalam saku jaket. Ibu satu anak itu mendekat, dia melihat putra semata wayangnya dari atas sampai bawah. Luna mengerutkan keningnya sebentar. Kenapa Mama harus tahu segala sih, kalau gue baru pulang? Tak henti-hentinya Indra mengomel di dalam batinnya. "Kamu habis dari mana?" untuk kedua kalinya Luna bertanya pada anak tunggalnya. Indra yang tadinya membungkuk, kini jadi menarik punggungnya ke belakang sampai dia berdiri tegak. Seberani mungkin Indra membalas tatapan Luna yang menyeramkan. "Aku habis dari rumahnya Virgo, Ma." jawabnya pelan. Mendengar jawaban Indra, Luna jadi mendesah pelan. Dia memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya Luna mengurut pelipisnya yang terasa berat. "Cepetan tidur sana! Besok acara penting, Mama nggak mau kalau kamu sampai membuat keributan." Tanpa banyak kata lagi, Luna langsung meninggalkan Indra begitu saja. Sementara Indra, dia meremas jaketnya karena kesal. Meski begitu, Indra juga tidak bisa marah atau memberontak kepada Luna. Pandangan Indra kini tertuju pada Della dan kawan-kawannya. Hal ini membuat Della hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda, kalau Indra sebaiknya segera istirahat. "Ish, ngeselin semuanya." gerutunya sambil membalikkan badan lalu berjalan menuju kamarnya. Della memberi perintah kepada semua maid yang bertugas melayani Indra untuk kembali ke kamar masing-masing. Begitu pula dengan dirinya yang memilih untuk tidak mengganggu suasana hati Indra saat ini. Di dalam kamar tidurnya, Indra terus-terusan mendesah. Dia memikirkan apa kata kedua orang tuanya beberapa hari lalu tentang perjodohan. Bagi Indra, usianya masih sangat muda dan tidak perlu dijodohkan segala. Indra yakin kalau dia bisa mencari pasangan sendiri. Tapi yang tidak dia yakini, apa dia bisa menyukai wanita? Bukan, Indra bukan lelaki penyuka sesama jenis. Dia lelaki normal yang menyukai perempuan. Hanya saja, Indra tidak percaya apa itu cinta. Hatinya terlalu beku untuk merasakan asmara. Bagi Indra, adanya wanita hanya akan membuatnya membuang waktu secara sia-sia. "Pa, aku udah gede. Ini udah jaman modern, jamannya apa-apa pakai gadget. Terus Papa masih mau ngejodoh-jodohin aku kayak jamannya Siti Nurbaya gitu? Aku nggak bisa terima." Indra langsung menolak saat Farhan memberi tahunya bahwa dia akan dijodohkan dengan putri dari rekan kerja Farhan. "Mau ini jamannya gadget, jamannya Rano Karno jadi Doel, jamannya kerajaan Majapahit atau jamannya Siti Nurbaya, kalau Papa udah bilang kamu harus menikah sama perempuan pilihan Papa, maka kamu tidak punya pilihan buat menolak." Farhan mengetukkan jari telunjuknya ke atas meja makan sebanyak tiga kali. "Udah, kamu iyain aja apa kata Papa. Lagian, Mama sudah jamin kalau gadis itu gadis baik-baik. Dia punya masa depan cerah, putrinya orang terpandang, berpendidikan dan tentunya dia pandai dalam urusan bisnis." Luna menyahut begitu saja tanpa melihat ekspresi wajah Indra yang sudah hampir marah namun ditahan. "Kamu 'kan bilang kalau kamu nggak mau gabung di Aloona, jadi kamu harus punya pasangan yang paham tentang bisnis dan mengelola perusahaan. Mama rasa, dia gadis yang cocok untuk jadi istri kamu." Indra kembali duduk di kursinya setelah tadi dia sempat berdiri ketika mendengar bahwa Farhan dan Luna akan menjodohkannya dengan perempuan yang tidak dia kenal. "Ya tapi 'kan, Ma. Aku itu mau nikah sama cewek yang aku suka dan dia juga suka sama aku. Aku pengen nikah atas dasar cinta, bukan karena aku pengen punya orang yang bisa mengelola perusahaan secara cuma-cuma." Indra masih berusaha menolak serta mencoba memberikan pengertian pada Farhan dan Luna. Farhan menghela napas seraya menautkan kesepuluh jemarinya menjadi satu. Dia mengangguk-angguk pelan menanggapi Indra. "Oke, kalau itu mau kamu. Papa nggak akan maksa kamu nikah sama gadis itu. Tapi Papa punya syarat, gimana?" Mendengar ini, Indra jadi semangat. Dia langsung mengangguk tanpa pikir panjang. Sedangkan Luna, dia sudah melotot ke arah Farhan karena tidak setuju pada apa yang Farhan katakan barusan. "Apa pun syaratnya, pasti aku turutin." "Keluarkan nama kamu dari kartu keluarga, terus kamu bikin KK sendiri. Yang lebih penting, jangan berharap warisan dari Papa sepeserpun!" kata Farhan dengan santainya. Kata-kata Farhan barusan, tentu saja membuat Indra seketika jadi panas dingin. Dia tidak menyangka kalau papanya akan berkata demikian. Tadinya Indra kira, kalau Farhan tidak akan sampai setega ini pada putranya sendiri. "Bagaimana? Kamu sanggup menerima syarat dari Papa?" "Gue sih nggak peduli kalau gue nggak dapet warisan. Tapi gue nggak mau kalau harus berhenti jadi anaknya Papa sama Mama." gumam Indra seraya meremas rambut pendeknya. Tatapan Indra fokus ke arah langit-langit kamarnya yang berwarna hitam. Plafon kamarnya memang sengaja dicat warna gelap seperti kemauannya. "Gimana gue mau nikah? Orang gue aja belum siap jadi suami. Terus ntar kalau bini gue hamil sama ngelahirin, gue jadi ayah dong? Gimana caranya jadi ayah?" tanyanya pada dirinya sendiri yang juga tidak tahu apa jawabannya. "Bikinnya sih pasti bakalan enak. Kalau jadi anak itu loh, yang bikin puyeng." desah Indra lagi entah sudah yang ke berapa kali. "Gue masih dua puluh dua tahun, masih muda banget kalau semisal gue punya anak di umur segini." "Hah... Otak gue buntu." pekiknya sambil mengacak-acak rambutnya. Indra merasa sedikit frustrasi. Terlebih lagi, Indra adalah anak tunggal. Dia tidak memiliki saudara untuk dijadikan tempat berkeluh kesah dan dimintai pendapat. Maka dari itu, tadi Indra pergi menemui Virgo untuk mencurahkan apa yang dia rasakan kepada teman baiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD