Dia, Faradina Saleha Az-Zahra

1540 Words
Beberapa tahun silam. "Bang!" panggil seseorang. Lelaki berkacamata minus itu membalik badan. Ia menenteng beberapa buku tebal sembari berjalan menuju masjid kampus. Mumpung berada di kampus UI (Universitas Indonesia) yang berlokasi di Depok, ia menyempatkan diri untuk meminjam beberapa buku di perpustakaan kampus tadi. Kemudian berjalan menuju gedung Rumpun Ilmu Kesehatan. Kebetulan ada perlu dan sekalian.... "Kenapa?" "Udah ditunggu di masjid. Ada acara penerimaan anggota baru. Biasa lah," tuturnya yang membuat lelaki itu mengangguk lantas pamit. Ia berhenti sebentar lantas memasukan semua buku-buku tebal itu ke dalam tas. Kemudian berjalan menuju parkiran motor. Niatnya? Tentu saja membawa motornya ke masjid kampus. Kadang-kadang ia memang suka datang ke sini karena organisasi yang ia ikuti lebih banyak berkumpul di kampus yang berlokasi di Depok dibandingkan di Salemba. Ia membawa motornya keluar dari parkiran dan kurang dari lima menit, ia sudah sampai di masjid kampus. Ia memarkirkan motornya. Lalu mengeluarkan buku-buku tadi di masukan ke dalam paper bag yang ia ambil di dalam jok motor. Usai menaruh buku-buku itu ke dalam jok, ia langsung berjalan memasuki masjid kampus. Ah, ia suka sekali berada di sini. Kenapa? Rasanya adem saja. "Bang Hasan! Udah ditunggu!" Ia mengangkat jempolnya. Sebelum masuk ke dalam masjid, ia memutuskan untuk mengambil wudhu dulu. Ini hanya lah kebiasaan kecil yang rutin ia lakukan ketika hendak memasuki masjid. Masjid kan tempat ibadah. Jadi ia hanya menempatkan dirinya untuk masuk dalam keadaan bersuci. Begitu memasuki masjid, ia melihat banyak mahasiswa yang sudah berada di dalamnya. Ia melintas di belakang mereka kemudian berjalan ke arah samping. Sang pembawa acara memberi kode agar ia mendekat karena seharusnya, ia sudah berbicara di depan sedari tadi. Tapi karena terlambat, panitia mengulur waktu. Ketika akhirnya tiba pada gilirannya, ia sempat terpaku sebentar. Matanya menangkap sosok perempuan yang melihat ke arahnya. Ya, bukan hanya perempuan itu yang melihat ke arahnya tapi semua orang yang berada di dalam masjid ini juga melihat ke arahnya. Ia berdeham saat ditegur oleh pembawa acara. Kemudian mengucap basmalah sebelum memulai kata-kata. "Siapa-siapa?" bisik-bisik para ikhwan. Kala itu, Hasan sudah selesai berbicara dan ia berdiri di dekat para panitia laki-laki. Matanya turut teralihkan pada seseorang yang sedari tadi dibicarakan. Ia bahkan baru sadar kalau semua orang di sini membicarakan gadis itu. "Katanya anak FKM." "Oh ya? Jurusan-jurusan?" Mereka masih berbisik-bisik tapi Hasan tak begitu mendengar karena tangannya ditarik oleh panitia lelaki lain. Walau masih terdengar kehebohan di antara panita-panitia lelaki. Hingga tiba-tiba semua terdiam ketika gadis yang sedari tadi menjadi pusat perhatian hendak berbicara dengan microfon yang dipegangnya. Sedari tadi, acara perkenalan memang dimulai antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama yang ada di sini. Agar saling mengenal saja. Walau yah, dalam organisasi apapun pasti tak luput dari yang namanya jatuh hati dan cinta lokasi. Ya kan? "Assalamualaikum warahmatullahi wabarahkatuh," ucapnya lembut. Mata Hasan turut menoleh ke arahnya tanpa bisa dicegah. Semua laki-laki di sini seakan menunggu-nunggu momen ini. Momen apa? Momen ingin berkenalan siapa namanya. Karena sedari awal kedatangannya, parasnya yang cantik dan meneduhkan itu menyita perhatian para lelaki yang ada di sini. "Perkenalkan, nama saya Faradina Saleha Az-Zahra dari Fakultas Kesehatan Masyarakat," sebutnya yang membuat para lelaki tersenyum dan beberapa dari mereka spontan berbisik-bisik. Heboh dengan namanya yang jelas berbeda dengan gadis-gadis lain. Terlebih..... Faradina, bisiknya dalam hati. Hasan tersenyum sedikit. Senyum yang sama sekali tak dapat ia cegah. "Jurusannya apa, Dek?" tanya sang pembawa acara. Itu karena semua tampak kepo. "Kesehatan Lingkungan, Kak." Aaaaah. Mereka kompak mengangguk-angguk. Sementara gadis itu mulai merasa risih karena semua mata yang tertuju ke arahnya. Ia paling malas dan tak suka jika menjadi pusat perhatian seperti ini. Rasanya begitu malu. Sementara Hasan tersadar saat bahunya ditepuk okeh wakil ketua organisasi. Lelaki itu bahkan terkekeh lantas menyenggol bahunya. "Dia adik kelas ku waktu SMA, mau ku kenal kan, Bang?" bisiknya bercanda. Tapi kalau serius juga tak masalah. @@@ "Anaknya kalem, pemalu, gak banyak omong lah," tutur Ridwan. Hasan jadi agak malu karena bertanya persoalan perempuan pada rekannya ini. Ya memang sih, ia mengenal dekat. Tapi sejujurnya, baru kali ini ia bertanya persoalan perempuan. Biasanya ia hanya suka berpacaran dengan buku-buku kedokteran. Ia juga lebih mencintai mereka. Lah ini? Kemudian Ridwan menepuk-nepuk bahunya. Lelaki itu pamit karena dipanggil panitia lain. Sementara Hasan menghela nafas. Ia baru saja keluar dari pelataran masjid saat tak sengaja melihat gadis itu yang baru menurunkan sepatunya di lantai. Kemudian memakainya dan Hasan sampai lupa berkedip menatapnya yang tampak anggun padahal hanya memakai sepatu. Astagfirullah, keluhnya dalam hati. Lantas menahan tawa dalam hati kemudian berdeham. Saat ia mendongak, perempuan itu sudah bergerak menjauh. Ternyata gadis itu menyusul sahabat-sahabatnya yang sudah berjalan lebih dulu. Saat Hasan mengendarai motor dan melintasi jalanan depan Fakultas Hukum, ia berpapasan dengan gadis itu dan teman-temannya yang sedang menyebrangi jalan. Instingnya mengatakan kalau gadis itu kemungkinan tinggal tak jauh dari area rel kereta api di antara Stasiun Pondok Cina dan Stasiun UI. Sementara Hasan bergerak menuju Jakarta. Ia mengekos di daerah Salemba. Ah bukan kosan sih tapi apartemen. Biar kata mendapat beasiswa di sini, tinggalnya sih di apartemen karena yang membayar ya orangtua. Dan namanya orangtua pasti ingin terbaik untuk anaknya. Berhubung ia dan kembarannya tak begitu menyusahkan biaya kuliah. Ah omong-omong, ia memang punya kembaran laki-laki yang sedang kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung) di jurusan Arsitektur. Kalau ia memang lebih suka bermain dengan yang namanya makhluk hidup. Kalau kembarannya lebih suka mendesain bangunan. Kembarannya bernama Husein. Hobi menggambar. Ah ia juga sih. Tapi hasil gambar Husein lebih mendetil dibandingkan dengannya. Wajar lah. Jurusan ia dan Husein saja berbeda jauh. Yang digambar pun berbeda jauh. Yang satu menggambar tengkorak manusia dan yang satu menggambar bangunan. Satu jam perjalanan ia tempuh untuk bisa sampai di gedung apartemen. Ia memarkirkan motornya kemudian menenteng buku-buku dan tasnya menuju apartemennya. Begitu keluar dari lift, matanya memincing melihat seseorang tampak duduk di depan pintu apartemennya. Tampak asyik sendiri dengan pulpen dan sebuah kertas. Tebaknya sih sedang menggambar. "Lah? Gak bilang?" tuturnya pada kembarannya yang entah kapan sampainya. Husein nyengir. Ia segera berdiri lantas memasukan kertas juga pulpennya. Ia hanya menggambar masjid. Kebetulan dalam perjalanan tadi, ia berhenti di sebuah masjid untuk solat. Lalu terpesona dengan desainnya. Ia sempat mengambil beberapa fotonya dan mencoba mempelajari pola desainnya. Ya, begitu lah hobinya semenjak kuliah memasuki tingkat tiga ini. "Kapan sampe?" "Belum lama." Hasan melirik kertas yang masuk ke dalam tas itu. "Belum lama tapi gambarnya hampir jadi ya," sindnynya yang membuat Husein tertawa. "Aku bilang jujur, dikata bohong pula. Aku bilang bohong, dinyinyirin pula. Dah macam betino kau ni," ledeknya yang membuat Hasan terkekeh ketika sedang membuka pintu apartemennya. Geli saja mendengar bahasa Husein yang setengah Palembang dan Indonesia itu. Rasanya sudah lama tak berbicara dengan bahasa wong kito galo karena kini mereka lebih banyak tinggal di Pulau Jawa. Apalagi kedua orangtua kadang hobi berpindah-pindah negara. Ibu dan ayahnya kan pengusaha. Jadi lebih sering pergi ke mana-mana dibanding menetap di satu daerah. Dan lagi, kedua orangtuanya memang bukan asli Palembang meski tinggal lama di Palembang. @@@ Dua minggu kemudian Hasan kembali datang ke kampus UI yang ada di Depok. Lelaki itu sengaja menyempatkan diri. Selain karena memang ada urusan di sini. Ia memarkirkan motornya kemudian melepas helmnya. Tak lama, ia berjalan masuk ke gedung Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK). Biasanya, yang lebih banyak nongkrong di sini ya mahasiswa Kedokteran Gigi dan Kesehatan Masyarakat. Sementara mahasisw Kedokteran Umum lebih banyak bermukim di kampus UI yang berlokasi di Salemba. Seperti Husein. Ia berjalan lurus ke arah tangga mushola yang ada di gedung RIK ini. Lantas melepas sepatunya dan bergabung dengan para ikhwan untuk menunaikan solat zuhur. Usai solat, ia kembali menuruni tangga dan terkaget saat tiba-tiba Faradina dan teman-temannya melintas di depan tangga. Gadis anggun itu menyita perhatiannya. Gamisnya yang mengayun, pashiman khas yang menempel dikepalanya. Modis tapi syar'i. Dan.... "Faradina!" panggil salah seorang lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang Hasan. Hal yang membuat Hasan turut menoleh dan mengikuti langkah lelaki yang mendekati Faradina dan kawan-kawannya itu. Kening perempuan itu mengernyit bingung. Mungkin karena tak mengenal si lelaki tapi tiba-tiba dipanggil. Walau ia tetap mengangguk. Dan gadis itu semakin bingung saat lelaki itu hanya memberikan sebuah amplop lantas pamit pergi dengan malu-malu. Teman-teman gadis itu terbahak. "Apaan-apaaan?" Mereka kompak panasaran. Ingin pula merampas amplop yang dipegang gadis itu tapi.... "Apa gue bilang, Far! Ih! Banyak yang naksir tauk!" seru teman-temannya. Kata-kata itu entah kenapa malah membuat Hasan menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Matanya menatap Faradina yang masih kebingungan sembari melihat amplop ditangannya. Walau tak lama, gadis itu dan rombongannya berjalan memasuki gedung RIK. Hasan menghela nafas. Ia sudah menduga kalau saingannya akan banyak sekali. Di sepanjang acara kemarin saja, semua ikhwan membicarakannya. Ada banyak perempuan yang jauh lebih cantik dari gadis itu. Apalagi artis-artis muda tanah air. Tapi bukan yang seperti itu yang mereka cari melainkan perempuan seperti gadis itu. Mungkin ia bisa bilang langka? Atau ia bisa bilang istimewa? Karena perempuan itu terlihat lebih cantik justru dengan pakaian yang dikenakannya juga sikapnya yang tampak lembut dan..... "Astagfirullah!" seru Hasan lantas mengusap wajahnya sendiri. Ia tak boleh terus mengkhayal perempuan itu. Biar kata hatinya terpaut. Terpaut pada siapa? Dia, Faradina Saleha Az-Zahra. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD