Arya bergerak melintasi Semenanjung Utara dengan kecepatan yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah menguasai Batin sepenuhnya.
Ia tidak lagi mengandalkan jalan setapak, melainkan mengalir di atas dahan pohon dan melintasi puncak bukit, dibimbing oleh kompas spiritual yang ditanamkan Kinara dalam pesan Batinnya.
Kekuatan Pewaris Cahaya memberinya keunggulan; ia tidak perlu bersembunyi.
Namun, pesan Kinara menyentuh luka lama.
Setiap kali ia merasakan kerinduan Kinara dalam resonansi Batinnya, ia harus mengingat kembali sumpah yang ia buat lima tahun lalu. Ia harus melepaskan.
Perjuangan internal ini lebih berat daripada pertarungan fisik manapun.
Saat Arya mendekati wilayah Gua Serigala, ia beristirahat di sebuah hutan pinus tua.
Dalam keheningan itu, pikirannya kembali pada Resi Bima.
Resi Bima telah meninggal setahun setelah Arya pergi.
Kakek tua itu sudah terlalu lelah menanggung beban rahasia Keluarga Naga.
Arya menemukan gubuknya kosong setelah kemenangan atas Bhairawa. Resi Bima hanya meninggalkan catatan kecil: "Pengorbananmu adalah Dharma-mu. Kau bukan raja. Kau adalah fondasi. Aku telah memberimu semua yang kumiliki. Kini, kau harus menggunakan Batin untuk mengajarkan dirimu sendiri. Pergilah. Aku bangga, Pewaris Naga." Arya menyadari, Resi Bima tidak hanya mengajarinya Silat Bayangan, tetapi juga kemandirian spiritual. Warisan Resi Bima bukanlah jurus, melainkan kunci untuk membuka potensi Batin tanpa batas, menjadikannya gurunya yang abadi.
Refleksi itu menguatkan tekad Arya. Ia adalah fondasi, dan fondasi harus tetap tak terlihat.
Jebakan di Mulut Gua
Gua Serigala terletak di tebing curam, mulutnya menyerupai rahang binatang yang siap menelan. Sebelum Arya bisa mendekat, ia merasakan adanya distorsi di udara—sebuah jebakan sihir.
Kalana, Penyihir Hitam baru, sudah menunggunya. Kinara telah memperingatkannya tentang jebakan, tetapi Kalana lebih cerdik. Ia tidak menggunakan Jenderal Bayangan, melainkan ilusi masa lalu yang mematikan.
Tiba-tiba, Arya melihat sosok orang tuanya berdiri di mulut gua, diselimuti cahaya remang-remang. Ayahnya, Pangeran yang diasingkan, tersenyum lemah. "Kenapa kau menolak takhta, Anakku? Kau telah menyia-nyiakan pengorbanan kami," bisik suara ilusi itu. "Kami ingin kau bahagia, di atas segalanya."
Jantung Arya berdenyut sakit.
Ia tahu ini palsu, tetapi ilusi itu menyerang akarnya—keraguannya tentang pengorbanan. Namun, pengalaman di Dimensi Roh telah menguatkannya. Arya memejamkan mata, membiarkan cahaya Batinnya menyinari.
Ia mengumpulkan Cahaya Penuh, melepaskan gelombang energi murni.
Ilusi itu terbakar, memperlihatkan jebakan sihir berbentuk jaring laba-laba yang terbuat dari energi Batu Bayangan yang siap mengikatnya.
Arya melompat ke udara, menggunakan Jurus Naga Langit Berputar dan memotong jaring itu dengan Keris Naga Langit.
Batu Keseimbangan dan Kalana
Di dalam gua, Kalana sedang melakukan ritual.
Ia duduk di depan Batu Keseimbangan, sebuah lempengan batu purba yang dikelilingi oleh tumpukan Batu Bayangan yang berkilauan.
Batu Keseimbangan, yang seharusnya memurnikan energi, kini dipaksa Kalana untuk memancarkan kebencian Bhairawa.
"Kau datang, Penjaga Senyap! Atau haruskah kusebut... Penjaga Konyol!" ejek Kalana, wajahnya ditutupi oleh tato sihir yang berkedip. "Kau mengalahkan Bhairawa, tapi kau takut pada kekuasaan. Kau meninggalkan takhta untuk wanitamu, dan sekarang kau datang untuk menyelamatkan wanitamu lagi!"
Arya tidak menjawab. Ia hanya membiarkan cahaya Batinnya menguat.
Kalana melepaskan tiga Jenderal Bayangan sekaligus, kali ini mereka memiliki bentuk yang lebih padat, menyerupai raksasa bayangan yang melambangkan Keadilan yang Tuli, Kesetiaan yang Buta, dan Kearifan yang Dingin.
Pertarungan pun pecah. Arya menghindari serangan fisik, menyadari bahwa sentuhan pun dapat menguras Batinnya. Ia menggunakan Keris Naga Langit untuk memotong energi Batu Bayangan yang mengalir dari altar, bukan untuk menyerang Jenderal Bayangan itu sendiri. Strateginya adalah menghilangkan sumber, bukan mengatasi dampaknya.
Satu per satu, aliran energi ke Jenderal Bayangan terputus. Wujud raksasa itu mulai goyah.
Kalana marah. Ia menggunakan kekuatan Batu Bayangan terakhirnya untuk menciptakan satu Jenderal Bayangan terkuat—sosok Arya sendiri, tetapi dengan mata merah dan senyum bengis.
"Lawan dirimu sendiri, Pewaris Cahaya!" raung Kalana.
Arya melawan klon bayangan dirinya, pertarungan yang benar-benar menguji batas Silat Bayangannya. Ia harus mengimbangi setiap gerakannya, setiap pukulan Batinnya, tanpa membunuh bayangan itu. Pada momen kritis, Arya melihat kelemahan: klon bayangan itu tidak memiliki cahaya Keris. Arya melepaskan Kerisnya, membiarkan Keris Naga Langit terbang dengan sendirinya, dipandu oleh Batin.
Keris itu menembus Batu Keseimbangan Kalana. PRANG!
Batu Keseimbangan hancur, melepaskan ledakan cahaya murni yang menyucikan seluruh gua. Energi sisa Bhairawa menghilang, dan Kalana roboh, kekuatannya lenyap. Jenderal Bayangan terakhir runtuh menjadi debu.
Arya, kelelahan, mengambil Kerisnya. Ia telah menyelamatkan Mandira sekali lagi, tetapi kali ini, ia tahu Kinara yang telah memberinya keunggulan strategi. Arya berbalik, siap untuk menghilang, ketika ia melihat sesuatu di sisa-sisa Batu Keseimbangan yang hancur. Bukan sihir, melainkan sebuah simbol kuno: Lambang Lima Naga yang Hilang.
Ancaman itu bukan hanya Kalana, melainkan sebuah faksi yang jauh lebih tua. Ada Pewaris Naga lain yang selamat dari kudeta.
Arya menghilang dari Gua Serigala, membawa sebuah pertanyaan baru: Siapa Pewaris Naga yang hilang ini, dan apakah ia akan menjadi sekutu, atau ancaman terbesar bagi Keseimbangan Mandira?