Bab 1

998 Words
“Mbak, minta tolong bayarin dulu, ya. Kunci brankas saya kebawa suami. Padahal dia punya brankas sendiri, masih saja suka salah bawa kunci.” Untuk ke sekian kalinya akhirnya aku yang membayar pektan COD miliknya. Bu Haminah atau yang lebih sering kupanggil Bu Minah. Dia adalah tetangga baru yang setiap hari selalu ada saja barang-barang yang dibelinya melalui online. “Bu Min, nanti sekalian, nih, bayarnya sama paketan yang saya bayarin dua hari yang lalu?” selidikku, karena sudah faham wataknya yang lelet untuk membayar hutang. Akhir-akhir ini aku lebih berani bertanya agar dia tidak lupa atas utang dan tanggung jawabnya. “Ya, ampuuun Mbak, tenang aja sih cuma duit segitu sih, kecil. Pasti saya bayar, kok.” Dia berlalu sambil mengambil paketannya yang masih berada di tanganku setelah serah terima dengan kurir COD. Si tukang kurir segera melajukan sepeda motornya, mungkin dia pun sudah merasa risih karena hampir setiap kali mengirim paketan akan menonton perdebatan ini terjadi. Awal kepindahan dia, aku memang sering menalangi paketannya karena memang mengira dia sedang tidak memiliki uang dan itu adalah paket yang penting. Namun pada akhirnya aku menyaksikan sendiri barang-barang yang dibelinya hanya untuk kesenangan semata. Kadang tas, sepatu, pakaian dan hampir setiap hari COD tanpa henti. Aku hanya menggeleng kepala. Sudah enam bulan terakhir ini emosiku sedang diuji. Memiliki tetangga baru yang selalu mengaku banyak uang dan kaya. Namun hobi meminjam, berhutang dan paling parah membayarnya lama. Aku mengambil paketan milikku, seragam sekolah untuk Adinda—putriku--yang baru mau masuk TK bulan ini. Karena aku selalu sibuk mengurus bisnis proprti keluarga, aku menjadi lebih suka berbelanja online. Aku menutup pintu pagar rumah segera, khawatir Bu Minah datang dan membuat pusing lagi. Betul saja, baru aku memunggungi gerbang rumahku suara cempreng itu sudah memanggil kembali. “Mbak, Mbak Resti!” Aku menoleh, tetap menyunggingkan senyum untuk menghormatinya sebagai orang yang lebih tua. “Mbak, hari ini saya sudah janji mau membelikan Reni tas sekolah, tapi ya itu tadi, kunci brankasnya kebawa suami saya, pinjam dulu Mbak, lima ratus ribu saja, sore saya ganti.” Aku menatapnya, sedang menimbang-nimbang. Karena utang dua bulan lalu yang seratus ribu bekas membeli bedak, kemudian yang seminggu lalu juga dua ratus ribu bekas membeli pakaian juga belum di ganti. “Bukannya, kemarin sore Bu Minah dapet arisan 'kan? Saya masih inget Mbak Isma bilang di grup ibu-ibu komplek kita kalau yang dapet arisan sampean, Bu.” Aku mencoba menghindarinya, bukan karena tidak memiliki uang, tetapi aku sudah memiliki alokasi sendiri untuk setiap jatah uang bulanan yang diberikan suamiku. Sementara itu, dia dengan seenanknya meminjam dan bukan karena alasan emergency. Dia meminjam hanya untuk membeli kebutuhan-kebutuhan sekunder yang sebetulnya masih bisa di kesampingkan. “Kalau gak mau ngasih, gak usah judes gitu juga dong, Mbak. Saya bukan orang miskin ya, yang gak sanggup bayar. Duit segitu doang, gak seujung kuku gaji suami saya,” ucapnya sambil mencebik. Aku menarik nafas agar tidak terpancing emosi. “Ya, alhamdulilah Bu, suaminya gajinya besar, harusnya bisa dimanaje dengan baik sehingga bisa memilah mana yang penting mana yang gak penting, segala sesuatu itu memiliki skala prioritas Bu Min, begitupun dengan alokasi keuangan bulanan saya,” ucapku panjang lebar. “Eh Mbak Resti, jangan dikira saya gak bisa manaje, ya. Kalau gak bisa manaje mana mungkin panti asuhan yang saya kelola bisa berjalan lancar hingga sekarang, kalau ngomong hati-hati, lidah lebih tajam daripada pedang.” Dia melengos pergi meninggalkan gerbang rumahku. Aku hanya mengelus d**a. Dalam pikiran sebetulnya sedikit kesal pada ayah yang memilih suaminya Bu Minah sebagai pengelola panti asuhan yang dulu didirikan olehku. Namun seburuk apapun tabiat Bu Minah, memang berbanding terbalik dengan karakter Pak Dermawan suaminya. Lelaki yang sudah mendapatkan kepercayaan dari ayah dalam waktu cukup lama untuk mengurus kantor cabang properti di kota ini. Ayah memberinya fasilitas dan gaji di atas rata-rata karena kinerja bagusnya. Aku pun setuju, meski aku belum pernah bertatap langsung dengan lelaki itu. Namun dari setiap laporan keuangan yang di berikan terlihat jelas grafik peningkatan cukup signifikan. Dan selalu disiplin dalam menyampaikan laporan. Aku, putri tunggal pewaris perusahaan properti yang bergerak di bidang real estate dan perhotelan. Merantau ke kota ini untuk menemukan kehidupan sendiri di luar bayang-bayang kesuksesan orang tua. Di kota rantau ini akhirnya aku bertemu Mas Indra, seorang lelaki yang hanya karyawan biasa. Staff HRD dari sebuah perusahaan asing yang sedang berkembang. Penghasilan yang dia dapat memang jauh lebih kecil daripada uang gaji yang ayah berikan untuk Pak Dermawan. Karenanya aku heran ketika Bu Minah selalu meminjam ke sana dan ke sini dengan alasan yang tidak masuk akal. Hari gini, memang masih ada yang menyimpan uang dalam brankas di rumahnya? Kalaupun ada, itu bukan alasan, apakah dia tidak mengalokasikan dana di luar yang dia simpan? Aku menikah dengan Mas Indra dengan akad dan resepsi sederhana. Karenanya warga di sini pun tidak mengetahui dengan jelas siapa aku sebenarnya. Sebelum menikah dengan Mas Indra, aku hanya memperkenalkan jika pekerjaan ayahku hanyalah berwiraswasta. Setiap hari ketika Mas Indra berangkat kerja, aku pun akan disibukkan dengan loading pekerjaan yang dilimpahkan ayah padaku. Setiap hari deretan email dan laporan dari beberapa hotel dan homestay harus aku check. Beberapa perjanjian sewa apartement, dan pekerjaan lainnya aku kerjakan di dalam kamar sambil mengawasi Adinda bermain. Aku baru saja meletakkan bungkusan paket ke atas meja ruang tengah ketika terdengar gedoran keras di pintu pagar. Aku bergegas keluar. “Nih, ya, cuma duit receh segitu, kamu pikir saya gak bisa bayar!” Bu Minah melemparkan uang tiga lembar seratus ribuan ke wajahku. “Mba Resti, jadi orang jangan sombong, ya... baru kaya dikit aja udah belagu, mobil aja belum punya, rumah aja masih cicilan, huh,” ucapnya sambil mencebik kemudian berjingkat meninggalkanku. “Bu Minah, Ibu di ajari sopan santun tidak? Walau usia saya lebih muda, tapi tolong jaga tata krama, Bu Minah jangan selalu merasa di atas angin karena suaminya manager terus menganggap semua orang bisa direndahkan begitu saja! Bagaimana kalau pemilik perusahaan memecat suami Ibu? Apakah ada yang masih bisa Bu Minah banggakan?!” teriakanku berhasil menghentikan langkahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD