Part 1- Seseorang dari Masa Lalu

1128 Words
Hiruk pikuk koridor kelas dua belas membuat siapapun menggeleng-gelengkan kepalanya. Terutama para guru. Saking malasnya menegur siswa yang akan segera lulus itu, mereka memilih untuk mengabaikannya. Mungkin memang para siswa itu 'stress' menjelang ujian-ujian yang akan mereka laksanakan beberapa bulan ke depan. Jadi biarlah mereka berbuat sesukanya. Koridor kelas dua belas adalah yang paling dihindari oleh adik-adik kelas, terutama para siswi. Tentu saja mereka takut digodain oleh para siswa senior di sekolah mereka. Karena para cowok di kelas dua belas terkenal bandel bahkan masih sering tawuran. Untuk siswa kelas sepuluh dan kelas sebelas hanya segelintir anak yang sering ikut tawuran. Karena sekolah sudah mulai ketat. Jika terlibat tawuran, bisa-bisa langsung dapat surat peringatan dan orangtua mereka akan dipanggil ke sekolah.  Berbeda dengan para siswa yang sekarang sudah kelas dua belas, peringatan seperti apapun tidak membuat mereka takut. Berbeda dengan siswa kelas sepuluh dan kelas sebelas yang masih 'sedikit' lebih penurut. Terutama Arfan, pria berambut hitam pekat dengan manik mata yang sama hitamnya itu tidak pernah takut pada apapun. Jangankan surat peringatan, orangtuanya sering dipanggil ke sekolahnya pun tidak masalah baginya. Sayangnya sekolah tidak berani mengeluarkan Arfan dari sekolah karena kakek nenek Arfan adalah pemilik sekolah ini.  Arfan adalah siswa yang tampan tapi tidak pintar dan tidak bodoh juga, alias nilainya selalu pas dengan rata-rata. Tidak kurang, lebih pun hanya sedikit. Kulitnya yang putih bersih sedikit menggelap karena aktifitas outdoor cowok itu yang sangat banyak. Selain jago olahraga, ia juga jago berantem. Ya, tawuran misalnya. Bahkan goresan di alis kanannya adalah pertanda bagaimana kerasnya dunia tawuran yang pernah ia lewati. Tidak hanya itu, ia juga sering ikut balap liar dan terkadang... seks bebas meski hanya pada gadis-gadis tertentu. Yang jelas ia sudah pernah melakukannya meski tidak sering. Setidaknya ia masih takut kena penyakit kelamin yang nggak jelas dan selalu memastikan lawan mainnya adalah 'gadis yang bebas dari penyakit'. "Wey anak baru tuh!" sahut Avaro, salah satu playboy yang sering main dengan Arfan dan yang lainnya. Ia terkenal gonta ganti pacar setiap bulan seperti beli paket data saja. Entah kapan ia akan tobat. Ia mengedikkan dagunya ke arah siswi dengan rambut hitam lurus yang dikuncir ekor kuda sedang berjalan didampingi oleh Bu Dwi, wali kelas mereka.  "Wih! Body-nya mantep, Ar!" sahut Delon, pria yang terkenal jahil dan paling dihindari oleh adik kelas karena suka menggoda mereka dan tidak tahu tempat.  Arfan hanya memperhatikan gadis yang baru saja melewatinya dengan tatapan lurus seolah tidak terganggu dengan keadaan sekitarnya. Bahkan siulan Delon yang biasanya bikin salah tingkah itu pun terabaikan. Satu sisi sudut bibir Arfan naik, membentuk senyum yang penuh arti. "Jatah gue itu mah!" "Semua aja jatah lo, nyet!" Avaro menabok kepala Arfan menggunakan buku yang dipegangnya. Biarpun playboy dan suka pacaran, otaknya masih lebih baik dari sahabatnya itu. "Lo kan baru jadian sama Mutia! Belum sebulan masa udah mau ganti lagi!" sahut Arfan tak mau kalah. "Yeeee! Kan buat bulan depan, nyet!" maki Avaro lagi tapi Arfan memilih untuk mengabaikannya dan langsung beranjak dari tempatnya.  Arfan malah berjalan menuju kelasnya ketika suara bel sudah berbunyi. Apalagi Bu Dwi dan si anak baru itu sudah masuk ke sana. Dari jauh saja gadis itu terlihat 'menarik', apalagi dari dekat. Ia tak sabar ingin tahu nama gadis itu. "Wey! Kesambet lo bengong terus!" Ia menyenggol lengan Erfan, saudara kembarnya yang hanya berbeda warna rambut dan warna mata saja dengannya.  Erfan. cowok berambut cokelat gelap dengan pupil mata berwarna cokelat juga itu pun berdecak kesal ketika diganggu oleh saudara kembarnya. Tapi Arfan tampak cuek dan melewatinya seolah tidak merasa jika sudah mengganggunya. Pandangannya kembali fokus pada gadis yang berdiri tak jauh di depannya. Bahkan gadis itu sempat menatapnya dengan ekspresi kaget, seperti Erfan kini.  "Semuanya cepat duduk. DELON! AVARO! Cepet kalian masuk! Jangan godain anak orang terus!" teriak Bu Dwi yang sangat hapal dengan kelakuan muridnya itu. Untung saja mereka sudah mau lulus jadi stok kesabarannya cukup lah untuk satu tahun ke depan.  Delon dan Avaro dengan santainya masuk ke kelas setelah menggoda anak baru yang berdiri di samping Bu Dwi itu. "Tahu aja bu kalo kelas ini butuh yang bening-bening," ucap Delon sembari menggerlingkan matanya. Bu Dwi hanya melotot kesal disahuti oleh para siswi lain yang kesal dengan tingkah Delon. Setelah semua muridnya duduk, ia pun menoleh pada siswi baru di sampingnya. "Silahkan perkenalkan diri kamu." "Nama saya Nathania," ucap siswi baru dengan suara lembut itu. "Saya pindahan dari Jogjakarta." "Duh! Udah gue duga sih dari Jogja, abisnya manis sih kayak gudeg!" sahut Delon dengan tak tahu malunya. "Wey! Cewek gue tuh! Jangan digodain!" balas Arfan sambil melempar kertas ke arah sahabatnya itu. "Ngaku-ngaku aja lo, boss!" Delon tampak tak terima. "Sudah sudah! Kalian tuh nggak bisa lihat makhluk betina sedikit ya!" "Yaelah bu! Betina... dikira ayam apa." Arfan menyahut lagi. Sementara gadis bernama Nathania itu memilih untuk diam.  "Sudah. Kamu duduk di... " Bu Dwi tampak mencari kursi kosong di kelasnya dan melihat Arfan mendorong Avaro agar pindah ke tempat Erfan, lalu muridnya itu mengusap-usap kursi kosong di sampingnya sembari memasang senyuman tengil. Bu Dwi geleng-geleng kepala melihatnya. "Di samping Arfan. Nggak apa-apa, kan?" Arfan langsung tersenyum senang saat tahu jika anak baru itu akan duduk di sampingnya. "Menang banyak lo!" sahut Avaro yang tak terima setelah terusir dari tempat duduknya. Meski teman sebangkunya berwajah mirip dengan Arfan, tetap saja mereka berbeda jauhhhh. Bisa-bisa ia mati beku duduk di samping pria sedingin Erfan. Nathania langsung berjalan menghampiri kursinya dan duduk di samping Arfan.  "Tenang aja. Selama lo di dekat gue, lo aman kok!" ucap Arfan dengan percaya diri. Nathania hanya tersenyum kecil, memilih untuk tidak menanggapi pria seperti Arfan. Jarinya sibuk mengetuk-ngetuk meja ketika Bu Dwi memulai pelajaran pagi itu. Tatapannya tertuju pada punggung yang berada tepat di depannya. Keningnya sedikit berkerut ketika melirik cowok di sampingnya.  Kenapa gue nggak tahu kalo Erfan dan Arfan satu sekolah? Bukannya mereka dulu pisah sekolah, bahkan ini pertama kalinya gue ngelihat Arfan secara langsung. Batin Nathania, bingung. "Nggak usah bingung bedain gue sama Erfan. Pokoknya yang ganteng itu gue deh," bisik Arfan agar tidak terusir dari kelasnya Bu Dwi. Kan sayang kalo sampai membiarkan Nathania duduk sendirian di sini.  Nathania hanya menghela nafas. Rencananya pindah sekolah demi mencari ketenangan, yang ia dapatkan malah calon kekacauan. Ia tak yakin jika kehidupannya di sekolah baru ini akan tenang. Apalagi ketika ada mantan di dalam kelasnya. Kenapa semua kebetulan seperti ini? Erfan berusaha fokus dengan pelajaran pagi itu, meski suara ketukan di belakangnya cukup mengganggu. Karena saat belajar, ia menyukai ketenangan. Suara berisik sedikit saja sudah bisa membuyarkan segala fokusnya. "Bisa diem nggak sih?" Ia menoleh sedikit ke belakang tanpa menatap si pelaku yang mengetuk-ngetuk meja itu. Ia tahu itu kebiasaannya Nathania. "Sorry." "Eh, jangan galak-galak sama calon bini gue, lo!" sungut Arfan sembari menepuk bahu saudara kembarnya itu. Tapi Erfan mengabaikannya. Arfan suka sama Nathania? Batin Erfan.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD