1. Ketua OSIS

1600 Words
Annelisa Luvita telah terlambat di hari pertama masuk sekolah sebagai murid baru SMA. Gadis itu terus saja melirik jam tangan birunya yang sudah menunjukan pukul 6.45. Dan saat ini dirinya sedang menunggu sang Mami yang sedang mengepang rambut panjangnya menjadi dua bagian. "Mih, tolong lah. Aku bisa terlambat." "Diem, kamu harus nurut sama Mami. Hari pertama itu pasti kegiatannya capek. Mami gak mau rambut kamu jadi lepek gara-gara keringetan. Kalo dikepang kan aman, paling dikit yang kena." "Tapi ini beberapa menit lagi bakal masuk, Mih." Ratna yang sudah siap karena akan pergi ke restoran milikknya, langsung mengambil tas dengan cepat yang ia tinggalkan di meja makan tadi. "Ayo Mami anter kamu. Dijamin gak bakal terlambat." Anne hanya menurut saja, padahal dalam hatinya ia sedang menggerutu. "Kok bawa motor sih, Mih?" Gadis itu keheranan. Maminya tidak biasa kalau pergi kerja atau kemana pun itu kalau pakai motor. Benda kendaraan itu biasa dipakai kalau pergi ke pasar saja. "Mau bikin terlambat?" Anne baru kepikiran. Di waktu yang sesingkat ini ujung-unjungnya pasti telat kalau membawa mobil, belum lagi terjadi macet. Akhirnya dia menuruti Maminya, yang penting datang ke sekolah bisa tepat waktu. Sungguh tidak disangka, Ratna membawa motornya seperti sedang berada di arena balap. Anne sampai takut terjadi kecelakaan karena saking kencangnya Ratna berkendara. Namun, tidak lama lagi menuju sekolah, Maminya mendapat telepon terus menerus. Akhirnya dengan terpaksa menghentikan laju motornya. "Hallo Melly? Ada apa?" "Nyonya Mami cepet ke restoran, ini penting." "Iya tenang, Mami lagi anter anak dulu." Ranta memutuskan sambungannya dengan segera karena Anne terus mendesak bahwa ini tinggal beberapa menit lagi. "Kalem sayang, Mami bakal cepet sampe dan kamu gak akan terlambat." Motor pun kembali dijalankan, Anne hampir saja terjengkang kalau tidak segera berpegangan pada pundak Maminya. "MIH UDAH TELAT!" teriak Anne ketika jam tangannya sudah menunjukan pukul 7 tepat. Mendengar itu Ratna menjalankan lebih kencang lagi. Tapi percuma saja, ternyata gerbang sudah ditutup. Anne mengerutkan bibirnya, dengan kesal setengah mati dia turun. "Tuh kan, Mami sih..." "Halah ngeluh terus. Kalo niat kamu samperin tuh penjaga. Gak bakal mungkin kamu disuruh pulang, sekolah juga butuh murid," ucap Ratna ikutan kesal karena disalahkan terus. "Udah sana, Mami mau ke restoran dulu. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Anne tidak lupa menyalami Ratna sebelum wanita itu pergi lagi. Lalu ia segera berlari menuju gerbang, telat sedikit pasti ada keringanan kan? Hari pertama sekolah masih menggunakan seragam SMP. Gadis berambut kepang dua itu berlari menuju gerbang sekolah dengan nafas memburu. "Pak, tolong jangan dikunci dulu. Kasih aku masuk." "Gak bisa, dek. Ini udah telat." "Yah jangan gitu dong, Pak. Ini hari pertama aku masuk SMA, aku antusias banget." Melihat ekspresi wajah Anne yang begitu memelas, penjaga sekolah merasa iba. Akhirnya pria itu mengizinkannya masuknya. "Pak terima kasih. Aku gak bakal lupa kebaikan bapak." Gadis itu segera berlari tanpa mendengar jawaban penjaga tadi. Hari pertama saja ia sudah telat. Ini tidak ada dalam rencananya sama sekali. Semua karena Maminya. "Hei! Kamu peserta didik baru?" tanya seorang cowok dari jarak jauh. "Iya." "Kanapa bisa telat." "Ya ... karena telat." "Jawaban apa ini," gumam si cowok. "Yaudah sini ikut saya." Dengan takut karena nada bicara yang tegas, Anne mengikuti kakak kelasnya. Upacara baru saja dimulai, tapi gadis itu ditempatkan di barisan berbeda. Dia bergabung dengan beberapa cowok yang masih mengenakan seragam SMP. Sepertinya orang-orang ini yang akan mendapati hukuman. Acara mulai berjalan. Ketika akan mengibarkan bendera, mata gadis itu melihat seseorang yang tidak asing baginya. Namun tidak begitu jelas, selain karena jauh matanya juga sedikit agak minus. "Gak mungkin kak Iqbaal. Kata Karin kan gak sekolah di sini." Dalam hati ia terus berucap bahwa cowok yang menarik tali bendera itu bukan orang yang dikenalnya. Sudah lama juga dirinya tidak melihat cowok itu, pasti akan berbeda dan si penarik tali itu bukan orang yang dimaksud. Upacara telah selesai. Murid berseragam putih abu dan juga para guru meninggalkan lapangan. Menyisakan peserta didik baru dan anak-anak OSIS berpakaian almamater kebanggaannya. "Heh, lo dari sekolah mana?" tanya seseorang di sampingnya. Gadis itu menoleh. "Aku lulusan SMP Satu Bangsa." "Oh." "Kalian yang delapan orang. Saya ambil alih, maju sepuluh langkah, jalan!" Satu-satunya gadis yang berada dalam barisan itu, terkejut dan mencoba menyamakan langkahnya dengan yang lain. Tapi ada hal yang lebih terkejut lagi. Cowok yang penarik bendera tadi, adalah cowok yang ia maksud. Sekarang cowok itu sedang menatapnya. "Balik kanan, gerak!" Intruksi lagi. Delapan orang itu di hadapankan di tengah lapangan dengan ratusan murid berpakaian seragam berbeda. Siapa yang tidak malu, sudah dibariskan yang berbeda sekarang malah dijadikan bahan tontonan. "Dia siapa, Raf?" tanya si kakak kelas yang tadi mengintruksi. "Peserta didik baru." Satu lagi cowok yang katanya anak baru juga, dibariskan dengan 8 orang tadi. Cowok berseragam putih abu dengan kemeja tanpa atribut lengkap serta kacing atas terbuka, di tempatkan di samping Anne. "Lihat teman kalian, hari pertama sudah telat. Apa di sekolah sebelumnya tidak diajarkan dispilin?" Malu, itulah yang diraskan gadis berkepang dua itu. Dia terus menunduk dan hanya melihat sepatu barunya. "Ish, dikira diginiin gak malu apa. Zaman sekarang masih berlaku yang beginian?" gumamnya kesal. Ternyata si cowok berseragam putih abu itu mendengarnya. "Lo inget baik-baik siapa yang udah bikin malu di hari pertama sekolah kita. Angkat muka lo, dan lihat siapa orangnya." Gadis itu awalnya menatap bingung pada cowok itu. Tapi akhirnya dia mengikuti apa yang dikatakan orang di sampingnya. Si kakak kelas itu adalah orang yang tadi membawanya ke lapangan. Ia tidak tahu namanya, tapi ia pasti akan mencari tahu. "Udah?" Anne menoleh lagi. Dia mengangguk sambil tersenyum tipis. "Kalian semua bubar dan ikuti kak Rafto ke aula. Di sana kalian akan dibagi gugus untuk kegiatan kita. Dan yang sembilan orang tetap di sini." Beratus-ratus murid itu bubar mengikuti beberapa anak OSIS. "Baal, lo gak ikut ke aula?" "Biar yang di sana diurus Rafto sama Dianty. Gue bakal urus yang ini." "Oke, gue juga di sini." "Dan untuk kalian semua. Jika merasa ada salah maka akan dapat hukuman. Saya asben dulu nama kalian." Satu cewek bertubuh tinggi itu mencatat nama-nama yang telah melanggar hari ini karena kesiangan. "Kamu?" Gadis yang ditanyai namanya mendongak. Matanya saling tatap dengan seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ditemuinya lagi. Dan sekarang ia kembali menjadi junior dari cowok itu. "Annelisa Luvita," jawabnya pelan. "Kamu?" "Iqbal Febrian." "Ra, lo udah catat semuanya?" tanya seseorang yang datang mendekat. "Udah, Baal." Cowok itu mengangguk. Lalu kembali melihat adik-adik kelasnya yang melanggar. "Saya tidak akan menanyai alasan kalian kenapa berada di sini. Sekarang ambil posisi push up dan lakukan lima puluh kali, komando ada di saya." "Saya juga, kak?" tanya Anne memberanikan diri. "Iya." "Eum ... bisa gak saya squat jump aja?" "Saya bilang semuanya." "Woy!" Cowok yang bernama Iqbal Febrian itu mendorong bahu kakak kelasnya yang menyuruh mereka untuk push up. "Yang bener aja dong. Dia cewek, squat jump juga sama beratnya." "Lo santai dong!" Dari arah belakang teman si kakak kelas itu juga melakukan hal sama pada Iqbal. "Gue santai!" "Yaudah biasa aja, lakuin aja apa hukumannya. Udah dikasih ringan masih aja protes." "Mikir! Push up 50 lo kira gak berat apa? Bisanya cuma nyuruh." "Belagu, ya! Belum juga jadi murid udah songong." "Udah, Jan. Jangan cari ribut, kita ikuti kemauan mereka." "Gak bisa gitu dong, Baal. Ngapain ngelakuin kesalahan kalo gak mau kena hukuman?" "Hei, kamu! Udah deh jangan cari ribut," ucap Anne berbisik pada cowok yang telah membelanya. "Lo jangan terima gitu aja dong. Kita udah dipermaluin di depan banyak orang, sekarang suruh-suruh seenaknya. Ini gak adil buat lo, kesalahan dikit tapi bisa bikin lo teler." "Ih, nggak. Masih sanggup kok." "Lo kan belum nyobain. Jadi orang jangan nurut-nurut aja, dia bukan orang yang harus disegani." "Sembarangan ya, lo! Iqbaal ini ketua OSIS SMA Cakrawala." "Oh, kalo gue bilang pemilik sekolah ini adalah gue, lo bisa apa?" "Napa pada ribut dah. Kalian mau ngelaksanain hukuman atau nggak? Kalo gak mau, ikut gabung sama yang lain sana," sentak gadis bernama Namira. Semua diam. "Cepat kerjain hukumannya. Dikiria ngurus murid beratus-ratus ini gampang apa." "Dan itu yang cewek boleh squat jump," kata ketua OSIS kemudian. Setelah 50 hitungan orang-orang yang melanggar itu berdiri kembali dengan nafas ngos-ngosan. Lutut serta tangan mereka terasa lemas dan bergetar. "Silahkan kalian gabung dengan yang lainnya." Baik anggota OSIS atau anggota yang mendapat hukuman bubar dari lapangan. Seorang gadis mengambil tasnya yang di simpan di bawah pohon. "Iqbal, tungguin!" Ada yang dua orang yang berhenti. Iqbaal si ketua OSIS dan Iqbal si murid baru yang tidak memiliki sopan santun. Anne menatap malu pada Iqbaal, kakak kelasnya. Dan cowok itupun menatapnya aneh, itu membuat gadis itu semakin malu. "Maaf, kak." Gadis itu melewati Iqbaal yang berada dekat dengannya. Sedangkan Iqbal si anak nakal agak jauh dari mereka. "Lo manggil siapa tadi?" tanya Iqbal saat Anne sudah sampai. "Kamu lah." "Oh. Si ketua OSIS itu pacar lo?" tanyanya tiba-tiba. "Hah? Apaan sih?" Anne menoleh ke belakang. Ternyata Iqbaal berada tak jauh darinya. Dan matanya selalu menatap ke arahnya. "Nebak aja. Dari tadi gue liatin si ketua OSIS itu suka liat-liat ke lo mulu." "Ya, wajar lah. Dia kan punya mata." "Gue juga sama kali. Tapi sorot matanya tuh beda, yakin gue mah lu ada sesuatu sama dia." Anne menghela nafas. Kenapa orang ini baru kenal tapi sudah begitu kepo. Ia saja tidak menyangka jika ia dipertemukan kembali dengan Iqbaal. Bahkan ini juga bukan rencananya selama di SMA nanti. Gadis itu kembali menoleh ke belakang. Dan masih seperti tadi, ketua OSIS itu berjalan sendirian sambil melihat ke arahnya. Anne menghela nafas. "Intinya, kak Iqbaal mantan aku," bisik Anne pada akhirnya. Entah mengapa dia malah berani berkata jujur pada orang asing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD