2.

985 Words
Rianna memandangi wajah cantik yang semakin hari semakin menirus. Rona di wajah cantik itu perlahan turut menghilang karena kini yang dilihatnya hanyalah wajah pucat dan bibir yang mulai pecah-pecah. Dengan telaten Rianna mengusapkan pelembab bibir ke bibir tipis yang biasanya berwarna merah muda itu. Rianna menegakkan tubuh dan menghela napas panjang. Kedua tangannya meraih tangan kanan kakaknya yang terhubung dengan pulse oximeter dengan perlahan dan menggenggamnya lembut. Berharap kehangatan tangannya bisa menyadarkan kakaknya kembali. "Mbak, kapan Mbak bangun?"? gumamnya lirih. Ibu jari Rianna mengusap punggung tangan kakaknya dengan perlahan. "Mbak gak kangen sama Hanna? Dia benar-benar rindu sama Mbak. Sekarang dia malah manggil aku Mama. Kalo dia terus-terusan manggil aku Mama, nanti aku gak bakal balikin dia sama Mbak loh. Kan Bundanya itu Mbak, bukannya aku." Lanjutnya masih dengan suara lirihnya. Rianna meneteskan airmatanya tanpa ia inginkan. "Aku rindu sama Mbak. Hanna juga. Memangnya Mbak gak rindu sama Hanna, sama Aku. Mas Hardi juga kangen ditengokin Mbak. Masa iya Mbak tega gak nengokin dia?" ucapnya dengan suara tercekat. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan perhatian Rianna. Dia menoleh dan melihat perawat senior masuk ke ruang inap yang kini dikunjunginya. "Kamu disini, ternyata." Suster Kinan yang selama ini menjadi mentor Rianna dan juga sudah Rianna anggap sebagai ibunya sendiri itu berjalan mendekat dengan senyum penuh pengertian di wajahnya. "Ibu pikir kamu udah pergi." "Belum, Bu. Sebentar lagi. Masih kangen sama Mbak Raia." Jawab Rianna dengan senyum sendu. "Kamu udah beresin administrasinya, Na?" tanyanya lagi. Rianna terpekur. Ah, masalah itu ternyata. Ia menggumam dalam hati. "Belum, bu. Hari ini rencananya baru mau aku beresin." "Gimana sama kakak kamu?" Tanya Suster Kinan lagi. "Biaya perawatan disana bisa terbilang lebih mahal kalau diperhitungkan dengan biaya hidup kamu nantinya, Na." ujar Suster Kinan lagi. Dan ya, Rianna sudah memikirkan itu pula. Tapi rasanya tidak mungkin jika Rianna meninggalkan kakaknya yang sedang koma disini dan dia bekerja di kota lain. Jelas sekali dia harus membawa kakakknya kesana, bagaimanapun caranya. Ia harus bisa mengontrol keadaannya setiap hari meskipun ia tahu dengan kesibukannya nanti di dalam atau luar rumah sakit ia hanya akan memiliki sedikit waktu. Tapi tak apa. selama orang-orang yang dicintainya berada dalam jangkauannya ia merasa itu sudah cukup. Mereka berbincang tentang rencana yang sudah Rianna buat. Sampai akhirnya Suster Kinan meninggalkannya tak lama kemudian. Rianna kembali berpamitan pada sang kakak yang masih terlelap dalam tidurnya. Setiap malamnya Rianna berdoa semoga kakaknya segera membuka mata. Delapan belas bulan. Kakaknya mengalami koma setelah kecelakaan yang dialaminya dan suaminya. Meninggalkan seorang putri cantik yang kini sedang aktif-aktifnya. "Mbak, aku pergi dulu. Mungkin besok aku baru balik lagi. Mbak cepet bangun ya." Rianna bangkit, mencium kening sang kakak dan berlalu pergi meninggalkannya. Pulang menuju kontrakan kecilnya. Rianna disambut dengan senyum hangat bocah cilik yang selama ini menjadi semangat hidupnya. "Mama!" Pekikan itu terdengar lantang. Rianna merentangkan tangan dan tubuh mungil Raihanna begitu saja masuk ke dalam pelukannya. Ajeng, gadis yang diminta Rianna untuk menjaga sang putri selama dia bekerja turut berjalan di belakangnya. "Kakak beneran bakalan pindah ke Jakarta?" tanya remaja itu. Rianna mengangguk. "Kakak gak punya pilihan lain, Jeng. Namanya juga kerja dibawah telunjuk orang." Jawab Rianna. Mereka kemudian masuk ke dalam kontrakan satu kamar itu dan mengunci pintu di belakangnya. "Kamu mau nginap disini?" tanya Rianna lagi. Ajeng mengangguk. "Hanna udah makan?" tanyanya pada Ajeng. Sementara bocah yang tadi menyambutnya kini sudah asyik bermain dengan alat gambarnya. "Udah. Tadi maunya makan sama nugget." Jawab Ajeng lagi. "Kalau semisal Kakak sama Hanna pergi ke Jakarta, nanti pas Kakak kerja, Hanna sama siapa?" tanya remaja itu. Sebenarnya itu juga yang sedang Rianna pikirkan saat ini. Selama ini, jika ia sedang bekerja, ia bisa menitipkan Hanna pada Ajeng atau pada panti tempat dimana dulu Rianna tumbuh. Karena ibu panti tidak keberatan dengan hal itu. tapi di Jakarta, tempat yang sebenarnya juga asing bagi Rianna. Ia pun merasa bingung. Rianna sudah melakukan pencarian di media sosial mengenai tempat penitipan anak. Namun jika ia perhitungkan. Dengan gajinya, biaya sewa rumah selama kerja dan juga biaya makan mereka. Untuk membayar biaya 'day care' rasanya terlalu berat bagi Rianna. Uang yang ada dalam tabungan Rianna pun sudah semakin menipis, selama ini hasil kerjanya semenjak lulus SMA dan kuliah ia gunakan untuk biaya hidup sehari-hari dirinya dan Raihanna. Tabungan milik kakakknya juga hasil penjualan rumah peninggalan suaminya, beserta seluruh asuransi yang diterima sebagai kompensasi kecelakaan yang dialami Mas Hardi dan Mbak Raia sudah tinggal sedikit juga. Semua uang itu sudah Rianna gunakan untuk biaya rumah sakit Mbak Raia. Dan jika Rianna menghitung sisa uang miliknya dan milik kakaknya dan menguranginya dengan seluruh biaya pindahan. Rianna hanya akan bisa menyewa day care selam tiga sampai empat bulan saja. Dan setelah itu, dia harus bagaimana. Pekerjaan sebagai perawat bukanlah pekerjaan layaknya karyawan kantoran yang pergi pagi pulang sore. Terkadang Rianna mendapat tugas jaga dimana dia berangkat malam dan pulang pagi. Dan disaat seperti itu, tidak aka nada day care yang bisa menjaga Raihanna. Semua itu membuatnya pusing. Tapi Rianna tidak punya pilihan lain. Dia masih harus bertahan hidup. Demi kakaknya Raia dan demi putri mereka Raihanna. "Kalo semisal Ajeng udah lulus, Ajeng boleh nyusul Kakak?" pinta gadis itu dengan wajah penuh harap. Rianna tersenyum, ia meraih tubuh mungil Ajeng dan merengkuhnya. "Tentu aja boleh, tapi sebelum itu kamu harus ijin sama Ibu." ibu yang dimaksur Rianna adalah ibu pengurus panti yang selama ini menjaga mereka. "Iya, Kak. Ajeng juga udah bilang sama Ibu kok. Ibu bilang, kalo Kakak ngasih ijin, Ajeng boleh ikut sama Kakak." Rianna hanya mengusap kepala remaja itu. Saat ini Ajeng sedang duduk di kelas dua SMA, masih ada waktu setahun lagi sampai gadis itu menyelesaikan pendidikannya. Satu harapan yang ada dalam hati Rianna. Semoga disaat itu kakaknya sudah bangun dan kembali bersama mereka. Semoga saat Ajeng selesai sekolah, Rianna sudah memiliki kehidupannya yang dulu. Kehidupan bahagia dimana kecemasan adalah nomor sekian dalam urutannya. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Yang nanyain / Mau tau visual tokoh,, mampir ke IG ya... Restianirista.wp nama akun nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD