Chapter 1

1655 Words
Suara gemricik hujan di pagi hari serasa menenangkan. Bau tanah yang tersiram oleh derasnya air hujan menciptakan aroma khas yang menusuk hidung. Mendung hitam masih terlihat pekat menyelimuti langit. Meski sebagian airnya sudah di tumpahkan membasahi bumi pagi ini. Di balik jendela kamar, seorang cowok sedang terpaku melihat air yang terus bertumpah tanpa henti. Manik matanya terus mengawasi gerak air yang jatuh ke lantai balkonnya. "Dev," sapa seorang wanita yang membuat cowok itu menoleh. "Iya,ma," jawabnya sambil memandang wajah seorang wanita yang akhir-akhir ini dia panggil 'mama'. "Kamu udah beres-beres, sayang?" tanyanya lembut. Cowok itu menatap sendu sang mama, "Devan jadi pindah?" tanyanya untuk kesekian kali. Wanita itu mengangguk. "Malam ini kita berangkat," jawabnya sambil mengelus lengan anak laki-lakinya yang sudah beranjak dewasa. "Devan masih pengen disini, ma." linangan air mata terasa di pelupuk mata Devan. Air mata itu siap untuk terjun kapan saja. "Mama ngerti, berat meninggalkan semua kenangan di kota ini. Tapi, semua mama lakukan untuk kebahagiaan kamu. Kita harus pindah. Mulai sekarang mama dan papa yang akan mengurus kehidupan kamu," jelasnya dengan penuh kasih sayang. Akhirnya dengan berat hati Devan mengangguk pasrah. Dia mengikuti apa kata sang mama. Mulai detik ini kehidupannya akan berubah. Dia akan memiliki orang tua yang lengkap. *** Sore ini sebelum dirinya berangkat untuk meninggalkan kota Yogyakarta. Devan menyempatkan bertemu dengan sahabatnya. Ini adalah bentuk salam perpisahan meski gadis itu mungkin tidak sadar. Devan terduduk di kursi taman nomor 5. Tempat favorit untuk menghabiskan waktu bersama Reina. Apa lagi di belakang kursi itu terdapat taman kecil yang di penuhi bunga krisan. Bunga yang di sukai oleh gadis itu. Berkali-kali dia mencoba menenangkan hatinya. Meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Meski kenyataan yang akan di hadapi belum tentu berjalan sempurna. Di samping dia duduk, sudah dia siapkan sebuah kotak berlapis kain beludru warna merah tua. Devan berniat memberikan hadiah terakhirnya pada Reina, gadis yang entah kapan akan dia temui kembali. "Devan!" suara riang Reina terdengar di telinga Devan. Dia menoleh ke arah datangnya gadis itu. Senyum lebar dia tampilkan dengan terpaksa. Tapi masih sanggup menutupi kerisauan hatinya. "Udah lama nunggu?" tanya Reina dan duduk di sebelah Devan. Sikapnya masih sama, ceria. "Engga, kok. Baru aja dateng," ucap Devan sambil tersenyum. Reina mengangguk, "Ada apa? Tumben nggak langsung ke rumah, malah ngajak ketemu di sini?" tanya Reina dengan rasa penasaran. Devan tersenyum. "Nggak kenapa-napa. Pengen aja duduk disini sama lo," jelasnya berbohong. Reina berusaha meneliti wajah cowok di sampingnya. Apakah cowok itu sedang berbohong. "Oh gue tau! Pasti lo kangen kan?" ucapnya sambil tersenyum mengejek. Devan hanya tersenyum sambil melihat raut wajah ceria yang akan segera dia tinggalkan. Begitu tentram dan nyamannya saat melihat wajah gadis itu. Devan lalu teringat akan hadiahnya. Dia mengambil kotak itu dan memberikannya pada Reina. "Nih, hadiah buat lo." dia memberikan kotak itu dengan hati penuh gemuruh. Ini adalah salam perpisahannya. "Wah, apa ini? Gue buka ya?" Mata Reina berbinar dan siap membuka kotak hadiahnya. "Jangan!" cegah Devan, tangan besarnya menghalangi tangan Reina membuka kotak itu. "Loh kenapa?" tanya Reina, mengapa dia tidak boleh membuka kotak hadiah itu. "Buka kotak itu kalau lo ketemu gue lagi. Dan jangan lupa untuk cerita apa isi di dalam kotak itu," jelas Devan penuh teka-teki. Senyuman manis masih dia pertahanan di bibirnya. "Emang lo mau pergi?" tanya Reina. Dia sedikit bingung dengan kata Devan barusan. Devan menggeleng, "Gue nggak kemana-mana. Gue pasti bakal jagain lo disini," Raut Reina curiga, apa Devan menyembunyikan sesuatu darinya. "Janji?" "Iya,gue janji," ucap Devan sambil menautkan jari kelingkingnya dengan Reina. Gadis itu tersenyum lebar. Meski dia merasa ada kejanggalan di hatinya. Mengapa tiba-tiba Devan bersikap manis seperti ini. Dan mengapa aura sedih begitu terasa di antara mereka. Reina berusaha mengabaikan resah di hatinya. Dua sahabat yang saling menyembunyikan rasa itu pun tersenyum bahagia. Mungkin untuk Devan senyuman ini adalah senyuman paling menyiksanya. Yang harus dia lakukan sebenarnya memeluk Reina erat sambil menangis. Mengatakan selamat tinggal atau mengatakan perasaannya selama ini. Bukan tersenyum penuh kedustaan yang mengiringi perpisahan mereka. "Besok lo harus dateng di acara perpisahan sekolah," ucap Reina mengingatkan. Lagi-lagi Devan mengangguk dan tersenyum seolah besok dia akan hadir di acara tersebut. Grimis tiba-tiba datang mengguyur bumi di kala senja mulai terlihat. Mungkin semesta tau isi hati Devan saat ini, Sedih. Dan untuk mewakili adalah hujan di penghujung senja hari ini. "Kita berteduh dulu, Rein," ucap Devan dan membawa Reina pergi untuk berteduh. *** Sinar matahari sudah menerobos di cela-cela jendela kamar milik Reina. Gadis itu sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. "Pagi, bundaa," sapanya ceria saat sudah berada di ruang makan. "Pagi sayang, udah siap? Sini sarapan dulu." ajak Sonya pada anak gadisnya. "Bang Beni mana, bun?" Tanya Reina kepada Sonya sang bunda yang masih menyiapkan sarapan. "Masih di kamar kayaknya, bentar lagi juga turun," Ucap Sonya sambil memberikan sepiring nasi kepada Reina. Reina hanya menganggukkan kepalanya dan mulai memakan sarapanya. "Pagi, bundanya Beni!" Seruan dari arah tangga terdengar begitu kencang yang membuat Reina sedikit kesal. "Nggak usah pakek teriak juga woy, ini bukan di utan." ketus Reina sebal dengan tingkah sang kakak. Beni hanya terkekeh saat melihat wajah Reina yang berubah kesal padanya. Cowok itu memang suka menjahili adik kesayangannya, berbeda dengan Reina yang terkadang tak menganggap Beni sebagai kakak, karena sifat Beni yang sangat usil menurutnya. "Udah ah, ayo sarapan dulu." ajak sang bunda untuk meminimalisir akan terjadinya perang mulut antar kakak beradik itu. Setelah menghabiskan sarapannya, Reina bergegas berangkat sekolah karena anti baginya untuk berangkat telat. "Reina berangkat ya, bun." Pamit Reina sambil mencium punggung tangan Sonya. "Iya sayang, hati-hati ya," ucap Sonya mengingatkan. "Iya,bun. Assalamualaikum," "Waalaikumsalam," jawab Sonya singkat sambil memakan makanannya. Tanpa sadar Beni tertinggal oleh sang adik yang sudah berlalu pergi. "Heh, dek. tungguin abang, Ya Allah di tinggal," Teriakan Beni yang masih duduk di meja makan tak menghentikan langkah Reina yang sudah hampir sampai ke pintu depan. Bodo amat, batin Reina. "Bunda,Beni berangkat, Assalamualaikum." pamit Beni kepada sang bunda. "Waalaikumsalam, hati-hati," Beni berlari ke halaman depan untuk mengejar Reina yang ternyata sudah duduk di kursi penumpang. "Lelet deh," ucap Reina ketus pada sang abang. "Ya sorry dong dek," tak butuh waktu lama mobil hitam itu meninggalkan halaman rumah besar dan mulai membelah jalanan ibu kota yang sudah mulai ramai pagi ini. *** Reina sudah berada di Sma Dwija. Setelah berhasil turun dari mobil sang kakak dia langsung pergi tanpa kata. Baginya mengucapkan kata saat turun dari mobil Beni hanya akan membawa bencana. Reina melihat sekelilingnya. Sudah banyak murid yang datang di pagi hari ini. Jam menunjukan pukul 7 kurang 5 menit wajar jika sekolah sudah terlihat ramai. Karena jam masuk sekolah adalah 07.15. Rumah Reina dan sekolah lumayan dekat. Hanya butuh waktu 15 sampai 20 menit saja untuk sampai di sekolah. Wajar jika dia tidak khawatir untuk terlambat. Para murid banyak yang masih nongkrong di tempat parkir. Ada juga yang sekedar duduk sambil mengobrol di sekitar lapangan basket. Dan yang paling banyak adalah berjalan di koridor yang akan membawa mereka ke kelas masing-masing. Reina sudah sampai di kelasnya. 11 Ipa 2 adalah tempat dia menimba ilmu sejak dua bulan yang lalu kepindahannya. "Reina!" teriakan super keras dan nyaring terdengar ke penjuru kelas. Bagi penghuni kelas ini sudah tau siapa pemilik suara super keras itu. "Ara!" sentak seorang cowok yang duduk di bangku nomor 3 dari depan. Dia adalah sang wakil ketua kelas. "Eh, Dito," suara Ara melembut. Dia berusaha tersenyum manis di hadapan Dito. "Bisa nggak sehari nggak teriak!" ketus Dito kesal karena Ara sering berteriak di kelas. Ara hanya membalas dengan cengiran kuda andalannya. "Maaf," ucapnya dan berlalu menuju bangku di sebelah Reina. "Lo bisa nggak sih?dateng tuh sopan, nggak usah pakek teriak kayak tadi, huh?" nampaknya bukan hanya Dito. Reina juga sebal dengan kebiasaan Ara. "Hehe, sorry, Na. Gue lagi seneng aja hari ini," ucap Ara masih dengan senyuman lebarnga. "Kenapa?" tanya Reina sedikit penasaran. "Aldi, ngajak gue jalan," jawabnya penuh kegirangan. Reina terdiam, dia kira sahabatnya tadi terkena penyakit atau pun kesambet setan. Nyatanya hanya masalah cowok. "Cuma gitu aja lo seneng?" tanya Reina lagi. Ara mengangguk dengan semangat, "Udah lama gue menantikan moment ini, Na," "Yakin dia juga naksir sama lo? Kan dia playboy bisa aja dia ngajak lo jalan cuma karena kasihan," ucap Reina. "Ih, lo mah kalau ngomong gitu amat." Ara bersedih. "Iya deh iya deh, semoga aja dia juga suka sama lo," ucap Reina menenangkan Ara. "Nah gitu dong. Kan enak didengernya," ucap Ara dengan wajah kembali sumringah. Reina hanya menggeleng mungkin ini yang di namakan kasmaran. Orang akan terlihat aneh saat merasakan jatuh cinta. Maklum hati Reina sudah lumayan lama hampa sejak kepergian Devan tanpa kabar. Dia sudah lama tidak merasakan rasa suka pada lawan jenis sejak kejadian itu. Tak berapa lama bell pun terdengar dan kegiatan belajar mengajar pun segera di mulai. *** "Na, lo ke kantin dulu deh. Gue mau ke toilet bentar." Ara segera berlari menuju toilet karena sudah tidak bisa lagi di tahan. Reina hanya mengangguk lalu pergi menuju kantin. Kantin berada di lantai bawah dekat dengan lapangan basket. "Woy,lempar bola itu!" perintah seorang cowok yang bermain basket di lapangan. Reina melihat bola basket yang berada di depan kakinya. Dia kembali memandang cowok yang tadi memintanya melempar bola. "Woy, lo denger nggak!" teriak cowok itu lagi. "Nggak sopan amat, bilang tolong kek. Asal teriak doang," ucapnya dan pergi membiarkan bola itu masih di sana. "Wah, bener-bener," gumam cowok tadi sambil mengambil bola. Matanya melihat hilangnya punggung Reina di keramaian kantin. "Awas aja lo!" geramnya sebelum kembali ke lapangan. Ara datang pas setelah bakso pesanan Reina di antar ke meja mereka. Tanpa aba-aba Ara langsung memakan bakso itu. "Lo laper apa doyan?" tanya Reina di depannya. "Laper gue, Na," ucapnya sambil mengunyah makannya. "Lanjutin deh, kurang bisa nambah lagi," ucap Reina. "Habis ini lo ke perpus?" tanya Ara. Reina mengangguk, "Katanya habis ini jamkos, yaudah gue ke perpus buat nyari tugas kemaren," Jelas Reina. "Gue ikut," Reina hanya mengangguk dan melanjutkan makannya. Mereka berdua menikmati acara mengisi perut mereka yang keroncongan sejak 2 jam lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD