Sudah malam, dan Lili tetap di kamarnya
Kramnya sedikit meningkat, dan menstruasi sudah dimulai, tapi bayangan sebelumnya masih terus bersemayam dalam pikirannya.
"Bagaimana rasanya kalau dia ada di dalam diriku? Dia begitu besar, sangat berbeda dari Mike," bisiknya pada dirinya sendiri.
Mike pernah menjadi cinta monyetnya beberapa bulan yang lalu, dan Lili kehilangan keperawanannya bersama pria itu.
"Lili...."
Tiba-tiba, Lili terkejut mendengar suara Diogo tepat di balik pintu, tapi dia memintanya untuk masuk.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Diogo saat masuk ke kamarnya.
"Perut bawahku masih sakit," jawabnya, merasa agak malu.
"Aku membawakanmu cokelat," kata Diogo, menawarkannya sebuah kotak indah yang dia pegang di tangannya.
"Terima kasih," ucap Lili yang menerima kotak tersebut dan meletakkannya di atas tempat tidur sebelum memberikan pelukan padanya.
"Aku hanya merasa sangat emosional hari ini," bisiknya.
"Itu normal. Ibumu dulu juga seperti itu. Jika kamu mau, kamu bisa istirahat di rumah besok. Ngomong-ngomong, aku sudah memutuskan pantai mana yang akan kita kunjungi," kata Diogo.
"Kita akan pergi ke mana?" tanya Lili sambil menggigit salah satu cokelat.
"Miami, ada pantai indah di sana."
"Terima kasih. Aku benar-benar ingin mengunjungi Palm Beach."
"Benarkah? Itu tempat tujuan kita," katanya, berpura-pura terkejut.
"Oh, kamu sudah tahu. Aku sudah mengatakannya padamu, bodoh," Lili tertawa.
"Aku memiliki ingatan yang baik. Besok, aku akan mencoba membeli tiket dan memesan kamar hotel."
Pada saat itu, Lili punya ide untuk menjadi lebih dekat dengannya atau setidaknya melihat sekilas tubuh yang telah menarik perhatiannya sebegitu hebat.
"Pesan satu kamar," ucap Lili.
"Hanya satu kamar?" tanya Diogo
"Yes, do you know what? Selama siang hari, kita bisa menikmati pantai, dan pada malam hari, kita bisa menikmati makanan manis. Kita bisa menghabiskan malam menonton serial, mungkin bahkan mengadakan pesta piyama. Sama seperti yang kamu lakukan bersama ibuku dulu ketika aku masih kecil. Aku ingin mengulangi masa-masa lama itu," rayu Lili dengan manis.
"Baiklah, aku akan memesan kamar keluarga dengan dua tempat tidur. Toh, untuk seseorang yang ngomong dia akan berusia delapan belas tahun, kelakuannya masih seperti anak kecil," katanya sambil tertawa, menggoda perut Lili.
"Bisakah kamu membawaku berbelanja besok untuk beberapa barang yang kita butuhkan untuk perjalanan?" tanya Lili.
"Kukira kamu akan memilih untuk tinggal di rumah?"
"Jika kramku masih membuatku tidak nyaman, maka aku akan tinggal di rumah. Tapi jika aku merasa lebih baik, aku ingin pergi berbelanja," jawabnya kepada Diogo.
"Aku mengerti. Aku akan membawamu ke pusat perbelanjaan di sore hari," balas Diogo menyetujui.
Keesokan harinya, sesuai rencana, Diogo membawanya ke pusat perbelanjaan. Toko pertama yang ingin dia kunjungi adalah toko pakaian dalam.
Lili menyukai tubuhnya dan senang membeli pakaian dalam yang menonjolkan lengkungannya, bahkan jika tidak ada yang melihatnya. Dia melakukannya untuk dirinya sendiri, untuk membuat dirinya merasa nyaman.
"Aku bisa menunggu di luar," kata Diogo, merasa agak canggung.
Lili tetap diam beberapa saat sebelum berbicara, "Tentu saja tidak. Tolong bantu aku memilih. Aku suka mendapatkan pendapat. Biasanya aku selalu bersama Livia, tapi dia sangat sibuk minggu ini dan tidak bisa membantuku. Jadi, kau yang akan membantuku," kata Lili.
Diogo menghela napas, tetapi akhirnya menerima permintaan Lili.
Lili belum merencanakan sesuatu dengan rinci, tetapi ada sesuatu dalam pikirannya yang memberitahunya bahwa dia harus mencoba mendekati Diogo dengan cara yang berbeda, untuk menguatkan ikatan yang mereka miliki.
"Lihat ini, hitam adalah warna favoritku. Warnanya terlihat luar biasa di kulitku," kata Lili, menunjukkan set pakaian dalam berenda yang celana dalamnya nyaris tidak ada, karena sangat kecil.
"Tidakkah kamu pikir ini terlalu kecil?" tanya Diogo.
"Kau benar, ini ukuran kecil. Bra ini tidak akan pas di tubuhku. Aku memakai ukuran lebih kecil," jawabnya, mencari-cari di rak sampai menemukan satu yang cocok dengan ukurannya.
"Aku tidak hanya bicara soal ukuran, tapi, maksudku .... Lihat, ini sangat kecil. Hampir tidak ada kainnya, dan transparan," katanya, memeriksa pakaian dalam tersebut.
"Aku tidak melihat alasan mengapa kau perlu memakai pakaian seperti ini," kata Diogo.
"Jika kamu khawatir aku ingin memakai ini untuk orang lain, jangan khawatir. Ini untuk diriku sendiri. Aku suka pakaian seperti ini. Aku merasa cantik saat melihat diriku di cermin, asal kau tahu," katanya, menyesuaikan kerah bajunya dan melepas satu kancing dengan santai.
"Baiklah jika itu mau mu. Aku tetap merasa pakaian ini terlalu terbuka, tapi jika ini membuatmu merasa nyaman...," jawab Diogo.
"Dengarkan aku, Diogo. Warna mana yang kamu sukai: merah atau putih?" tanya Lili, menunjukkan padanya dua set yang terlihat lebih transparan daripada yang sebelumnya.
"Merah mungkin terlalu berlebihan. Aku pikir putih akan cocok padamu," saran Diogo.
"Berapa hari kita akan tinggal di sana?" tanya Lili.
"Kita akan berangkat pada hari Selasa pagi dan kembali pada hari Minggu."
"Baik, jadi bisakah kamu membelikan aku pakaian dalam untuk setiap hari yang kita tinggal?" tanya Lili sambil memegang lengan Diogo.
"Pernahkah aku menolakmu?" tawa Diogo.
Lili merayakannya dengan beberapa lompatan, lalu memberinya pelukan dan ciuman di pipi.
"Kamu juga bisa punya bikini yang berbeda untuk setiap hari di pantai," tambahnya, sambil tertawa.
"Terima kasih, Diogo!"
"Hari ini kau bisa memilih apa pun yang kau mau. Aku akan menunggumu di sana," katanya, menunjuk ke sebuah bangku di dalam toko.
"Baiklah!" Dengan penuh semangat, Lili berkeliling toko, memilih segala hal yang menarik perhatiannya. Sementara itu, Diogo duduk di bangku ketika seorang penjaga toko wanita mendekatinya.
"Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga toko tersebut.
"Tidak, saya hanya sedang menunggu seseorang," jawab Diogo dengan sopan.
"Sambil menunggu, tentu menyenangkan memiliki pacar atau istri untuk memberi hadiah," kata penjaga toko tersebut.
"Sepertinya saya tidak memiliki orang seperti itu," jawab Diogo.
"Sangat disayangkan," kata penjaga toko tersebut.
Diogo hanya tersenyum sebagai tanggapan. Sementara itu, dari kejauhan, Lili memperhatikan bahwa Diogo sedang terlibat dalam percakapan dengan penjaga toko tersebut. Karena dia sudah memilih segala hal yang ingin dia beli, dia memutuskan untuk mendekati Diogo.
"Aku sudah memilih segalanya yang saya inginkan," katanya, duduk di sebelahnya dan melingkarkan tangannya di sekeliling bahunya.
"Bagus. Bawa ke kasir, aku akan membayarnya," jawab Diogo.
Dengan itu, dia berdiri dan mengikuti apa yang dia katakan. Segera, dia juga berdiri, dan penjaga toko tidak bisa menahan diri untuk berkomentar,"Kau bilang kau tidak punya pacar."
"Saya tidak punya pacar. Dia adalah anak tiri saya." Diogo memberikan klarifikasinya.
"Oh, jadi kamu sudah menikah."
"Tidak, saya duda." Diogo menggelengkan kepalanya.
"Sebegitu muda menjadi duda. Ngomong-ngomong, putri tiri kamu adalah wanita yang sangat cantik."
"Ya, dia juga sangat cerdas dan pekerja keras. Saya bangga padanya. Ngomong-ngomong, saya harus pergi," kata Diogo pada penjaga toko tersebut.
Tapi sebelum Diogo pergi, penjaga toko tersebut memberikannya sesuatu.
"Ini nomor saya. Kalau mau, hubungi saya," katanya dengan menawarkan selembar kartu. Mereka berpamitan, dan dia pergi ke kasir tempat Lili menunggunya.
Setelah mereka membayar pembelian mereka, mereka memutuskan untuk jalan-jalan santai di sekitar pusat perbelanjaan.
Lili juga membeli beberapa barang tambahan seperti sandal jepit, tabir surya, dan koper baru untuk menggantikan yang roda rusak.
Setibanya di rumah, Lili dengan rapi menjaga tas-tas di dalam lemari kemudian rebah di atas tempat tidurnya.
Lili telah membuat keputusan dan akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang sangat diinginkannya.
"Aku harus mencoba pria ini," bisiknya pada dirinya sendiri. Lili sangat keras kepala dan bertekad melakukan apa pun yang dia bisa untuk mendapatkannya.