Suara kasak-kusuk terdengar memenuhi ruangan yang akan menjadi saksi terbentuknya sebuah hubungan.
Banyak dari mereka bertanya-tanya dengan apa yang terjadi. Sementara, beberapa diantaranya terlihat mulai gelisah.
Seorang gadis bergaun biru adalah salah satu yang terlihat gelisah di dalam sana, memandang ke arah ponsel dalam genggamannya. Menelisik seluruh ruangan, napas nya kian sesak. Rasa takut semakin menghampirinya.
Dering nyaring khas sebuah panggilan masuk menusuk indra pendengarannya. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, gadis itu menarik sudut bibirnya. Mengembuskan napas lega, ia segera mengklik icon hijau dan sedikit menjauh dari hiruk piuk yang dapat mengganggu pembicaraannya.
"Floza, maafkan aku. Jadilah mempelai wanitanya."
Tertegun dengan permohonan orang di seberang. Gadis yang ternyata bernama Floza itu menggeleng kuat. Melupakan fakta bahwa yang berbicara tidak dapat melihat gerak tubuhnya.
"Jangan gila !" pekiknya tak terima. "Cepat datang kemari, jangan membuat orang tua kita malu kak." lanjut Floza melembutkan suaranya. Tidak sopan berbicara kepada sang Kakak dengan nada tinggi.
"Mami, Papi akan lebih malu kalau aku menikah dengan dia. Aku mohon Flo, ini tidak akan sulit untukmu. Aku benar-benar tidak bisa menikah dengan pria itu."
"Kau dimana ? Aku akan menjemputmu sekarang." Floza berusaha tenang, siapa tahu kakaknya itu sedang melakukan prank.
"Aku tidak bisa."
"Mengapa ?"
"Aku mencintai pria lain dan ... ada nyawa baru dalam tubuhku."
Floza membatu, air matanya menetes. Entah akan menjadi seperti apa nasib keluarganya sekarang. Orang tuanya akan menanggung malu, akibat ulah saudarinya.
"Aku sedang mengandung dan aku tidak ingin anakku berpisah dari ayahnya. Flo, bantu aku jadilah mempelai wanitanya."
"Lalu, bagaimana dengan mereka semua ? Mereka tidak akan setuju Kak."
"Kau dan aku terlahir dari keluarga yang sama, keluarga Danugara. Apa bedanya untuk mereka."
Floza terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang benar ia dan Kakaknya terlahir dari keluarga Danugara, tapi apa mereka akan menerima jika mempelai wanitanya berubah di detik-detik terakhir seperti ini ? Jelas tidak. Mereka semua akan merasa dihianati. Dan Mami, Papi akan sangat kecewa.
Sayup-sayup terdengar percakapan di seberang sana. Ada seorang lelaki, apa mungkin orang yang saudari nya cintai.
"Sayang, apa kau memberitahu keluargamu kita sudah menikah ?"
"Tidak, akan aku beri tahu setelah pernikahan adikku."
Deg.
Mereka sudah menikah. Kakak nya sudah menikah, ia tidak bisa menikahi pria lain lagi. Bagaimana sekarang, apa yang harus ia lakukan ? Floza sedih dan bingung.
—
Mengenakan gaun putih yang menjuntai indah di tubuh semampainya. Floza berjalan dengan ragu, tetapi tidak menyembunyikan sisi anggunnya. Semua orang tersenyum, pikiran buruk mereka tidak terbukti nyata. Beberapa diantaranya, bernapas lega termasuk pria yang tengah berdiri di depan sana sembari memandang gadis yang akan ia nikahi dengan tatapan datar.
Namun, satu hal yang membuat semua orang dibuat heran. Untuk apa mempelai wanita menutupi wajahnya dengan topeng ? Tetapi, mereka tidak terlalu memikirkan hal itu. Yang terpenting sekarang mempelai wanitanya sudah hadir.
Pria paruh baya segera menghampiri Floza menggenggam erat tangannya, tapi tak sampai menyakitinya. Mengeryit heran saat dirasakannya tangan putri pertamanya begitu dingin. "Fenia, kau tak apa ?" tanyanya berbisik khawatir.
Floza menggeleng. "Aku tak apa, Ayah."
Sam terkejut ketika mendengar suara putrinya yang berbisik lirih. Ia mengenali suaranya bukan milik Fenia tetapi milik putri keduanya Floza.
"Flo, itu kau ?"
"Maafkan aku Ayah, tapi biarkan ini berjalan dengan semestinya. Akan aku jelaskan nanti." bisiknya lagi, membuat semua orang mengerutkan kening. Namun, berpikir bahwa betapa saling menyayangi Ayah-Anak itu sehingga saat berjalan ke altar pun masih sempat untuk saling bisik-membisiki.
Dengan ragu Sam mengangguk. Menekan segala kecemasan dan kebingungan dalam benaknya sebentar dengan senyuman.
(Karena aku nggak tahu banyak tentang ritual atau proses-proses pernikahan, jadi aku persingkat saja. Bila ada kesalahan, mohon dimaafkan.)
Dalam benak nya Floza mengucapkan kalimat penyemangat berulang kali. Ia tidak menyangka akan menikahi pria yang dijodohkan dengan saudarinya. Ellgard Aganoza Danish. Selain nama, tidak banyak yang ia ketahui tentang pemuda dihadapannya ini.
Oh Tuhan, ini benar-benar kejutan. Teriak batinnya dramatis.
Saling memandang satu sama lain, kini saat nya kedua mempelai mengucapkan janji suci.
Ellgard yang beridiri dengan gagah, memandang Floza tanpa minat. “Floza Aleasya Danugara," Semua orang terkejut ketika Ellgard mengucapkan nama lengkap mempelai wanitanya, termasuk Floza sendiri. Yang mereka tahu nama mempelainya adalah Fenia Arveeta Danugara, bagaimana semua ini berbeda sekarang ?
Usaha Floza menutupi wajahnya berakhir sia-sia. Darimana Ellgard mengetahui itu dirinya ketika Ayahnya saja hampir tidak bisa mengenalinya jika ia tidak bersuara. Floza menatap lekat tepat iris hitam Ellgard. "Aku mengambil engkau menjadi istriku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.” ucapnya lagi secara lantang dan lancar tanpa ada keraguan didalamnya.
Floza gugup seketika, haruskah ia melakukan hal yang sama ?
Sungguh jika boleh memilih, ia ingin menghilang sekarang.
Menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Floza berujar mantap. “Ellgard Aganoza Danish, aku mengambil engkau menjadi suamiku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Mereka saling menatap satu sama lain, lalu saling bertukar memakaikan cincin. Setelahnya riuh suara-suara menggoda memenuhi rungu keduanya.
"Cium, cium." kalimat itu terus terdengar bersahutan, membuat Floza malu dan kesal sekaligus. Jangan gila, untuk apa hal itu dilakukan di depan umum. Bukankah hal itu termasuk privasi?
Ia tersenyum mengahadap semua orang, saat bibirnya terbuka siap mengatakan kalimat elakan dengan alasan, sebuah tangan lebih dulu menariknya kembali menghadap sang suami. Tanpa dibiarkan menerna apa yang terjadi, dengan cepat pula Ellgard mendaratkan bibirnya pada bibir sang istri.
Floza membulatkan matanya, ia ingin memberontak. Namun, otaknya mengingatkan dimana ia sedang berdiri sekarang. Dengan terpaksa ia memejamkan mata yang ujungnya adalah ia menikmati ciuman pertamanya itu.
Ellgard tersenyum tanpa mau melepaskan pangutan mereka. Melupakan fakta orang lain menontonnya dengan berbagai macam ekspresi.
Setelah beberapa menit, ia melepaskannya.
"Buka matamu bodoh." bisik Ellgard di depan bibir Floza.
Floza menurut, sontak saja ia terkejut melihat seberapa dekat wajahnya dan wajah Ellgard sekarang. Memalingkan wajah, ia meringis semakin malu dihadapan semua orang.
Apa barusan ia berciuman di hadapan banyak jiwa ? Aaa kenapa ia malah menikmati si. Sial ! Floza tidak boleh berdekatan dengan pemuda ini. Bahaya !
Para tamu terkekeh geli dengan tingkah Floza. Kecuali Ellgard yang menatap datar dan keluarga dari dua belah pihak yang menatap dengan penuh pertanyaan.
Floza menghela napas, tahu setelah ini ia akan disidang habis-habisan.