Menyesal? Bisa dibilang iya, bisa dibilang juga tidak. Menikah dengan orang yang tidak dia cintai adalah hal yang biasa saja. Tidak ada yang spesial. Aneh sekali, kan? Seharusnya pernikahan adalah hari yang bahagia, tapi Yana tidak merasakan apa-apa sekarang.
“Kalian berdua sudah resmi menjadi suami-istri.”
Kata-kata tersebut benar-benar menandakan bahwa Dio dan Yana telah sah menjadi sepasang suami-istri. Tatapan haru datang dari Sam, Mariam, dan Maulin. Kini, anak-anak mereka telah bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan.
Acara pernikahan mewah yang digelar di Swiss itu telah usai sejak 30 menit yang lalu. Menyisakan Dio dan Yana berdua saja. Dio dengan jas yang melekat sempurna di tubuhnya dan Yana dengan balutan gaun yang cantik nan elegan.
Rumah sekat, rumah yang sengaja dipilih Dio sebagai tempat tinggal baru untuk dirinya dan Yana. Desain interior yang modern dan berkelas ini bisa dikatakan sangat nyaman hanya dengan melihatnya sekali saja.
Yana meremas gaunnya. Tidak perlu ditanya lagi, sudah pasti Yana sedang panik! Bagaimana tidak? Ini adalah malam pertama mereka sebagai pengantin baru. Yana ketakutan. Dia tidak ingin disentuh sedikit pun oleh lelaki yang tidak dia cintai.
Memang benar bahwa Dio adalah suaminya sekarang. Tapi, apakah salah kalau Yana beranggapan bahwa dia akan diperkosa? Apalagi, dia dan Dio tidak saling punya rasa. Jujur saja, Yana tidak tahu bagaimana cara menghadapi Dio.
Tiba-tiba, Dio menghadapkan dirinya ke arah Yana. Dia melihat Yana dari ujung rambut sampai ujung kaki, sementara Yana terus saja menundukkan kepalanya.
‘Aduh, gimana ini? Aku harus apa? Aku nggak mau,’ batin Yana.
Ketika Dio berjalan 1 langkah saja, Yana langsung mundur. Yana tetap menjaga jaraknya dari Dio meskipun dia agak kesulitan karena gaunnya yang panjang itu.
"Sepertinya, kita ada di pihak yang sama," ucap Dio sambil membuang mukanya ke arah lain.
Yana dibuat bingung. Dia tidak mengerti dengan perkataan Dio. Pihak yang sama? Di mana letak persamaannya? Yang benar saja! Dio hampir membuatnya mati berdiri karena mendekatinya dengan cara seperti tadi.
"M-maksudnya?" cicit Yana.
"Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Dan aku lihat ..., sepertinya kamu juga tidak menginginkan pernikahan ini. Iya, kan?"
Yana terdiam. Dia tidak berani membalas ucapan makhluk menyeramkan di depannya ini. Kalau Yana sampai salah bicara, bisa-bisa dia digantung hidup-hidup. Yana belum pernah mengenal Dio sebelumnya, jadi dia tidak boleh asal bicara.
"Dengar, aku tidak pernah berminat sedikit pun dengan pernikahan ini. Jadi, jangan pernah mengharapkan apa pun dariku."
Yana tetap diam membisu. Namun, perkataan Dio berhasil membuat Yana mengangkat wajahnya. Entah mengapa, hal itu membuatnya sedikit senang. Namun, di sisi lain, Yana juga kebingungan. Kalau Dio tidak menginginkan pernikahan ini, lantas mengapa dia menyetujui perjodohannya? Yana rasa Dio bukan orang sembarangan yang asal-asalan menyetujui sesuatu. Pasti ada alasannya, kan?
"Rumah ini memang sengaja disekat agar kita tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Aku dengan kehidupanku dan kamu dengan kehidupanmu. Aku dengan urusanku dan kamu dengan urusanmu. Kamarmu ada di sebelah kanan, jadi pastikan jangan sampai menginjakkan kakimu ke wilayahku ..., karena aku tidak suka siapa pun mengetahui privasiku. Mengerti?"
"I-iya."
"Bagus, sepertinya aku tidak perlu repot-repot bernegosiasi denganmu. Ini, ambilah," ucap Dio sambil menyodorkan koper berisi uang di dalamnya.
Dengan perlahan, Yana mengambil koper berisi uang itu dengan tangan yang gemetar. Di mata Yana, aura Dio itu sangat negatif. Catat itu, sangat negatif! Apakah Dio adalah keturunan Typhon yang menjelma menjadi manusia? Dari tadi, Yana terus saja merinding.
"Sudah menjadi tanggung jawab suami untuk menafkahi istrinya. Tidak usah khawatir, aku akan selalu mengingat tanggung jawabku yang satu itu. Ingat, kamu bebas melakukan apa pun, tapi aku tidak akan mengizinkanmu menjual namaku. Saat kamu berada di luar rumah, jangan bertindak seolah-olah kamu mengenaliku. Tapi, kalau ada ayah dan ibuku, bersikaplah layaknya pasangan yang harmonis. Kamu bisa melakukannya, kan?"
Yana mengangguk. Saat ini, hanya ada 2 hal yang bisa Yana lakukan. Mengangguk atau berkata "iya". Jangan pernah katakan "tidak" karena "tidak" adalah kata keramat. Kalau Yana tidak mengikuti ucapan Dio, bisa tamat riwayatnya!
"Itu saja yang mau aku bicarakan. Selebihnya, Bi Arum yang akan menjelaskan semuanya."
Kata-kata Dio itu tampaknya menjadi penutup obrolan mereka. Tak ayal, Dio bergegas melangkahkan kakinya ke sisi kiri bagian rumah ini.
1
2
3
"Huhhh."
Akhirnya, Yana bisa bernapas lega. Dio sudah mulai menjauh dan itu membuat ketakutannya berkurang. Kalau Dio berada di dekatnya, rasanya seluruh rumah ini berisi gas karbon monoksida. Membuatnya sesak. Tak jarang, Yana sering menahan napasnya saat berinteraksi dengan Dio. Bagi Yana, menghembuskan napas di depan Dio benar-benar bisa membuatnya mati berdiri.
Tiba-tiba, suara sepatu Dio yang beradu dengan lantai mulai menghilang. Ya, Dio menghentikan langkahnya. Keheningan di rumah itu membuat Yana sadar bahwa Dio menghentikan langkahnya. Sekarang, Yana mulai panik. Apakah Dio melupakan sesuatu? Tolonglah, apa pun yang terjadi, jangan sampai Dio kembali ke arahnya! Ini memang sedikit berlebihan, tapi percayalah, berhadapan dengan Dio lebih menyeramkan dibandingkan berhadapan dengan Kuntilanak.
"Aku benci perempuan munafik. Tapi ..., sepertinya aku tidak membencimu," gumam Dio.
‘Apa?’ batin Yana.
Setelah itu, Dio kembali meneruskan langkahnya. Masuk ke kamarnya begitu saja tanpa menghiraukan Yana yang baru saja datang ke rumah ini.
"Dasar orang aneh," gumam Yana.
Puk
Sialan, ada yang menepuk bahunya. Ini benar-benar menakutkan! Baru beberapa menit menginjakkan kaki di rumah ini, tapi Yana merasa kalau hidupnya akan terancam. Rumah ini memang sangat modern. Dirancang minimalis, tapi tetap berkelas. Tapi, percuma saja mau rumah sebagus apa pun kalau ada arwahnya, kan?
1
2
3
"Huaaaaaaaa, hantuuuuuuu—hmphh!" pekik Yana.
"Maaf, Nyonya. Jangan berisik dulu, ya. Tuan Dio sangat tidak suka dengan suara berisik, nanti beliau terganggu," bisik Bi Arum sambil menutup mulut Yana.
Setelah Yana mulai tenang, Bi Arum baru melepaskan bekapannya dari mulut Yana.
"Astaga, maaf. Saya nggak tau kalau ada orang di sini selain saya sama monster itu. Maaf, ya. Tadi, saya pikir yang nepuk saya itu ... hantu."
Yana meminta maaf seraya membungkukkan badannya, pertanda bahwa dia benar-benar menyesal. Kurang sopan rasanya, jika dia meneriaki seseorang, terlebih seseorang itu lebih tua darinya. Apalagi, Yana sempat menganggap bahwa yang menepuk bahunya itu hantu.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Panggil saya Bi Arum saja. Saya adalah pelayan yang akan mengurus rumah ini. Saya juga minta maaf karena sudah membuat Nyonya takut," balas Bi Arum ramah.
Bi Arum sempat heran karena Yana menyebut kata "monster". Tapi, Bi Arum hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Mungkin dia salah dengar tadi.
"Iya, Bi Arum. Gapapa kok, Bi. Tadi, Yana cuma kaget aja. Ngomong-ngomong, jangan panggil Yana pake sebutan nyonya. Yana memang sudah menikah, tapi Yana masih merasa belum menikah. Panggil aja Yana, Bi. Yana jadi nggak enak kalau Bibi sungkan kayak gini."
Wajar saja, Yana belum pernah merasakan diperlakukan seistimewa ini. Bayangkan saja! Orang yang biasanya bekerja sebagai pelayan, sekarang malah dilayani oleh pelayan. Luar biasa! Bisa dipanggil nyonya saja sudah sebuah kehormatan baginya.
"Tidak bisa seperti itu, Nyonya. Ahh, atau begini. Bagaimana kalau Bibi memanggil Nyonya dengan sebutan Nona saja?"
"Boleh, Bi. Yang penting jangan panggil Nyonya, hehe. Kesannya kayak berkuasa banget. Yana nggak nyaman kalau dipanggil seperti itu."
"Iya, Non. Ya sudah, sekarang Bibi antarkan ke kamar, ya? Biar Bibi bantu juga angkat gaunnya," kekeh Bi Arum.
"Terima kasih, Bi. Bibi tau saja kalau Yana udah nggak betah sama gaun dan high heels ini," gerutu Yana.
Tak butuh waktu lama bagi Yana dan Bi Arum untuk sampai di sisi kanan rumah. Awalnya, Bi Arum menawarkan diri untuk membantu Yana mengganti pakaiannya. Namun, Yana bersih keras untuk melakukannya sendiri. Hanya gaun seperti ini saja pasti masih bisa Yana atasi.
Kalau dipikir-pikir, sekarang Yana benar-benar seperti ratu. Punya rumah sebagus ini dan dilayani dengan baik. Berbanding terbalik dengan kondisinya yang dulu. Selalu berurusan dengan sampah dan kopi ataupun minuman lainnya. Banting tulang hingga larut malam. Ini masih seperti mimpi baginya.
Aneh saja, rasanya baru kemarin dia disibukkan dengan berbagai pekerjaan. Dan sekarang, dia malah disuguhkan dengan bathub ternyaman yang pernah ada. Setelah menghapus make upnya, Yana memang berniat untuk mandi. Tapi, dia tidak menyangka kalau di kamar mandinya ada bathub.
Di rumah Yana yang dulu tidak ada bathub seperti itu. Air hangat yang menyentuh kulit Yana benar-benar membuatnya merasa dimanjakan. Baru kali ini, Yana suka dengan yang namanya mandi. Kalau di rumahnya yang dulu, Yana tidak pernah menikmati kegiatan mandinya. Selalu saja buru-buru mandi karena dikejar waktu dan pekerjaan. Itu pun mandinya masih menggunakan gayung. Dan sekarang, ini pertama kalinya Yana ingin berlama-lama untuk berendam di bathub.
Rasanya, dia ingin tidur di kamar mandi saja. Namun, untungnya otak Yana masih waras. Jadi, dia langsung membuang jauh-jauh niatannya itu. Ingat, jangan berbuat macam-macam. Hari ini adalah hari pertama dia tinggal di rumah sekat. Yana tidak ingin dapat masalah.
Setelah selesai mandi, Yana bergegas menaiki tempat tidurnya. Merebahkan tubuhnya dengan posisi terlentang. Ahhh, tempat tidur yang sangat empuk. Yana jamin harganya pasti tidak main-main. Orang kaya memang beda, bukan?
"Huhhhhh."
Yana menarik napasnya. Memikirkan perkataan Maulin bisa membuat kepalanya pecah.
"Selamat, ya, Nak. Hari ini kamu terlihat sangat cantik. Kamu akan menjadi seorang istri. Dan kamu akan menjadi pendamping hidup dari seorang pengusaha kaya raya. Kamu tidak akan hidup susah lagi. Ibu bangga padamu, Ibu sangat bahagia."
"Terima kasih, Bu."
"Lah, kok lesu begitu? Anak Ibu nggak boleh lesu seperti itu."
"Apa Ibu nggak mau ikut Yana tinggal di Swiss? Kalau Ibu nggak mau, lebih baik Yana ikut pulang sama Ibu ke Indonesia."
"Huss, mana boleh seperti itu, Nak? Kamu itu sudah menjadi seorang istri. Sekarang, sudah saatnya kamu ikut tinggal bersama suamimu. Sudah saatnya bagi Ibu untuk melepasmu. Yana, dengarkan Ibu ..., saat kamu berumah tangga, kamu akan menghadapi banyak hal yang belum pernah kamu temui sebelumnya. Tapi, ingat pesan Ibu. Hormati dan hargai suamimu. Perlakukan dia dengan baik dan sayangi dia dengan sepenuh hatimu."
"Huhh ..., iya. Yana bakal berusaha."
"Itu baru anak Ibu. Yana, bukannya Ibu tidak mau tinggal di sini bersama kamu. Tapi, ayah kamu sangat mencintai kampung halamannya. Banyak kenangan yang tersimpan di rumah kita yang dulu. Lagi pula, iklim dan cuaca di sini tidak sesuai dengan kesehatan Ibu. Jadi, Ibu akan memutuskan untuk pulang ke Indonesia.”
"Ya sudah, kalau memang begitu, Bu. Yana mengerti. Ibu hati-hati di sana. Yana bakal berusaha buat transfer uang ke Ibu ketika Yana sudah bekerja nanti."
"Kamu itu bicara apa sih, Nak? Kalau begitu, apa bedanya kamu di Swiss dengan di Indonesia kalau sama-sama kerja? Ibu nggak mau kamu kerja. Suami kamu kaya, Nak. Untuk apa kamu kerja, hm?"
"Tapi, Bu—"
"Ingat, Yana. Jangan buat suamimu marah. Jadilah istri yang baik kalau kamu tidak ingin hidupmu susah. Pokoknya, Ibu tidak ingin kamu kembali ke Indonesia sambil menangis dan membawa koper besar di tanganmu."
Belum selesai memikirkan perkataan Maulin, tiba-tiba kejadian 1 jam yang lalu terbesit di benak Yana.
"Dengar, aku tidak pernah berminat sedikit pun dengan pernikahan ini. Jadi, jangan pernah mengharapkan apa pun dariku."
"Untung saja, laki-laki itu juga tidak menginginkan pernikahan ini. Jadi, aku tidak perlu terbebani dengan pesan Ibu. Syukurlah, aku bisa selamat," gumam Yana.
Jujur, Yana sama sekali tidak mencintai Dio. Awalnya, dia berpikir kalau Dio akan bersikap semena-mena padanya. Bagaimana tidak? Pengusaha kaya mana yang ingin menjadikan pelayan coffee shop dan tukang sampah sebagai istrinya? Terlebih, Dio belum pernah bertemu dengan Yana sebelumnya.
Bukankah itu gila? Yana jadi berpikir kalau Dio akan menyiksanya. Namun, fakta yang ada telah menepis segalanya. Ternyata, Dio masih punya sisi kemanusiaan. Bahkan, Dio tidak ragu memberikan nafkah untuknya dalam jumlah besar. Yana jadi tidak bisa membedakan mana yang dimaksud murah hati dan mana yang dimaksud buang-buang uang.
Siapa tahu saja Dio sudah terlalu kaya sampai-sampai dia sudah tidak tahu lagi cara menghabiskan uangnya, kan? Maka dari itu, Dio bisa sesantai itu memberikan uang untuk Yana tanpa syarat. Dio sendiri yang bilang kalau dia tidak berminat dengan pernikahan ini. Tapi, dia tetap saja menjalankan tanggung jawabnya untuk memberi nafkah. Terus terang, Yana terkejut dengan perlakuannya itu.
"Sudah menjadi tanggung jawab suami untuk menafkahi istrinya. Tidak usah khawatir, aku akan selalu mengingat tanggung jawabku yang satu itu. Ingat, kamu bebas melakukan apa pun, tapi aku tidak akan mengizinkanmu menjual namaku. Saat kamu berada di luar rumah, jangan bertindak seolah-olah kamu mengenaliku. Tapi, kalau ada ayah dan ibuku, bersikaplah layaknya pasangan yang harmonis. Kamu bisa melakukannya, kan?"
"Tapi, aneh. Kalau dia tidak berminat dengan pernikahan ini, kenapa juga dia menyetujuinya? Memang benar-benar aneh. Tidak bisa ditebak. Dia memintaku untuk berpura-pura di depan orang tuanya? Dasar tidak waras," gumam Yana.
Yana mulai menutup matanya tatkala rasa kantuk mulai menyerangnya. Tampaknya, rasa lelah dan tempat tidur yang nyaman menjadi faktor utama penyebab Yana bisa tertidur dengan cepat. Tidak butuh waktu lama bagi Yana untuk terbuai ke alam mimpi.
"Tapi, sepertinya ... dia tidak semenakutkan yang aku bayangkan."