Bab I - Rahasia

1126 Words
Keheningan kelas adalah hal yang paling membahagiakan bagi sebagian anak-anak akselerasi, karena dengan itu mereka bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Celoteh guru adalah fokus mereka, tak ada yang bisa menggugat fokus jika itu bukan guru itu sendiri.   Begitu pun bagi Lea, ia adalah seorang gadis yang akan menyerahkan seluruh otaknya pada pelajaran yang disampaikan. Walaupun ia lelah atau pun buram mata, fokusnya akan tetap sama. Karena tujuannya satu, jika orang lain saja bisa menaruh fokus keseluruhan ia juga harus melebihi mereka.   Gadis itu memang terkenal dengan ambisinya, komitmen dan tujuan awal adalah hal yang harus dilakukan pertama kali. Bahkan julukan malaikat maut saja tak membuat dirinya takut, atau tersinggung.   Ia tidak peduli dengan pembicaraan-pembicaraan buruk tentangnya, karena ia tak pernah merasa merepotkan mereka. Jika mereka merasa direpotkan, maka itu bukan urusannya.   "Le, sstt .... Lea," seseorang menarik ujung seragamnya dari belakang.   Sebenarnya ia tak ingin menghiraukan, hanya saja tak mau juga orang lain mengetahui tentang itu. Ia tak mau mencoreng citranya sebagai anak yang rajin.   Gadis iyu menolehkan kepalanya sedikit, sudah ia duga Gina adalah anak yang memanggil namanya. Dasar tidak tau waktu. "Nanti aja bisa kan?"   Saat Lea akan kembali menghadap ke depan, Gina kembali menarik seragamnya. "No ... no."   Secara mengejutkan Gina berdiri, "Pak, saya izin ke UKS. Perut saya sakit, dan boleh ya Pak saya ajak Lea?"   Lea membulatkan matanya. Yang benar saja, pikirnya. "Silahkan, saya rasa dokter Choi masih di sana. Tapi, apa Lea tidak keberatan?"   Sebelum Lea menjawab Gina sudah menarik lengannya agar berdiri, tak lupa dengan tangannya yang tetap memegang perut untuk meyakinkan semua orang. Bahkan Ayu dan Ana tak tau sejak kapan Gina merasakan sakit, setau mereka anak itu tadi berteriak senang karena Lea lulus seleksi.   Baru beberapa langkah keluar dari kelas, Lea menyentak tangan Gina selagi menggugat, "Lo udah gila ya? Gue ketinggalan satu pelajaran anjir."   "Lo nggak sayang gue? Gue kan sakit," jawab Gina dengan nada imut yang dibuat-buat.   Lea memutar matanya jengah, yang benar saja. "Gue tau lo pura-pura."   Gina menggenggam lengan Lea antusias, "Gue yakin berita yang satu ini akan bikin lo relain pelajaran itu."   "Nggak ada ya, Gi. Pelajaran nomer satu buat gue."   "Termasuk Si Angga yang masuk seleksi juga?"   Lea mengernyitkan dahinya. Angga anak nomer satu itu, pikirnya. Rasanya tidak mungkin, karena setau Lea, Angga tidak begitu menonjol dalam pelajaran fisika. Ia tau Angga itu anak paling pintar. Tapi soal fisika, semua orang tau siapa rajanya.   Gina melepaskan genggamannya, "Lo tertarik 'kan?" Dengan wajah kelewat antusias, Gina menarik tangan Lea untuk naik ke tangga teratas. Karena UKS bukan tempat terbaik untuk membolos, yang benar saja dokter keturunan Korea itu tak pernah meninggalkan tempat itu. Bisa-bisa, Lea akan membunuhnya jika reputasi anak rajin miliknya tercoreng hanya karena ide konyol Gina.   "Sebenernya gue nggak begitu tertarik. Tapi, kalau lo se-excited ini artinya ada yang akan ngejutin," ucap Lea sambil mendudukkan tubuhnya tepat di depan pintu rooftop.   Mereka tak bisa keluar, karena pintu rooftop selalu terkunci jika jam pelajaran. Karena ditakutkan kejadian beberapa tahun lalu terulang, seorang siswi hampir saja melompat jika saja guru olahraga mereka tak bertindak cepat.   Gina sedikit gamang, lalu ikut duduk satu tangga di bawah Lea. "Lo jangan marah ya?"   Sebenarnya Lea sedikit sanksi, tapi ia memilih mengangguk saja agar urusannya bisa cepat selesai. Selain itu karena tatapan Gina yang sedikit ketakutan, ia tak tau apa yang gadis itu sembunyikan. Tapi, ia mohon bukan hal buruk yang akan ia dengar.   •••••   Dua gadis itu benar-benar lolos satu mata pelajaran, dengan bermodal omong kosong pada anak tangga sampai waktu istirahat terdengar diserukan. Mereka berdua berjalan tanpa dosa menuju kantin, tanpa mengingat apa yang membuat mereka membolos pelajaran.   Hingga seorang gadis dari arah berlawanan menepuk pundak Gina, dan membuat keduanya berhenti. "Udah baikan?"   Mati, batin Gina frustasi.   Ia benar-benar lupa bahwa anak sekelasnya tau dirinya sedang sakit. Dan sekarang berjalan tanpa bersalah dengan keadaan sehat luar biasa, rasanya ia ingin bersembunyi saja sampai pulang nanti.   "Kata Dokter Choi mag dia kumat, jadi tadi udah dikasih obat."   Tentu bukan Gina yang menjawab, tapi Lea. Sejak kapan gadis ini jadi pandai mengarang cerita. Gina tak tau saja.   Gadis itu mengangguk, lalu meninggalakn kedua pembohong kecil di sana. "Gue dosa gara-gara lo, lo utang dosa sama gue."   Mereka tak tau saja, gadis itu tak sepenuhnya percaya. Karena ia mengenal Gina sejak kecil, ia dan Gina berada pada satu sekolah yang sama sejak SD. Jadi, ia tau betul jika Gina tak memiliki mag atau apapun itu yang berhubungan dengan lambung.   "Utang dosa gimana? Lo mau dosa gue, gitu? Sini gue transfer."   Daripada menanggapi Gina yang mulai ngawur, Lea lebih memilih melenggang pergi, yang membuat Gina tergopoh mengikutinya dari belakang. "Lo jadi traktir kita kan? Eh Ayu sama Ana, di mana?"   Mulai ngawur, pikir Lea. Mana mungkin ia tau kemana perginya Ayu dan Ana, jika sedari tadi ia berbombardir waktunya. Dasar tidak tau diri.   "Lea!"   "Iya-iya, chat aja. Bilang kita tunggu di kantin, gitu."   Belum sempat Gina mengirimkan pesan, dua sosok yang tengah duduk di salah satu meja di pojok kantin mencuri atensi Lea. "Gi, nggak usah."   "Kenap--"   Belum selesai Gina menanggapi, pandangannya juga tertuju pada arah yang sama. Lalu, ia melenggang terlebih dahulu meninggalkan Lea yang berjalan seperti siput. Tumben sekali.   "Kalian kenal Angga?"   Tanpa basa-basi, Gina langsung melayangkan pertanyaan pada kedua temannya itu. Seharusnya permisi dulu kan mengganggu pembicaraan orang, tapi yang ini malah langsung menanyakan pertanyaan tanpa tau malu di depan orang yang dibicarakan.   Ayu sedikit jengah, Gina tak pernah berubah. Kenapa tidak ada sopan santunnya sih, pikirnya. "Itu Lea!" teriak Ana sambil menunjuk arah datang Lea.   Lea tampak kebingungan, dengan bertanya kenapa saat sampai di meja tujuannya.   Pemuda itu memberikan atensinya, "Nanti jam tiga, ke kelas Fisika satu ditunggu Pak Bahrul."   "Buat?"   "Kata Pak Bahrul, kalau lo takut pulang malem sendirian, lo bisa bareng gue," katanya final. Setelah itu, pergi tanpa berpamitan pada orang-orang yang ada di sana.   Lea sedikit kesal, tiba-tiba menemuinya hanya untuk memberikan informasi yang kurang jelas seperti itu. Sebenarnya ia paham, pasti ini menyangkut seleksi itu. Tapi, cara Angga menyampaikan membuat dirinya muak pada anak itu. Dasar sok pintar, sok keren.   Lea menghempaskan tubuhnya, "Nggak ada sopan-sopannya bocah."   "Sopan kok, tadi dia ramah banget sama kita," sela Ayu begitu saja. "Mungkin tampang lo kali yang masang muka serem, senyum dikit pasti luluh lah dia," timpal Ana.   "Anjir, najis," umpat Lea berbisik.   "Eh nggak boleh najis-najis gitu, nanti---"   "Gue pesen dulu. Gue nggak peduli kalian mau apa, tapi gue pesenin bakso sama es jeruk aja."   Pergi adalah satu-satunya cara.   Lea benci dijodoh-jodohkan, dan ia tau teman-temannya tengah menjodohkan dirinya dengan Angga dan itu amat mengganggunya. Lea masih sangat tidak menyukai hal-hal semacam itu, dan ia lebih memilih pergi dari pada mengumpat lebih lagi kepada mereka.   Mungkin hanya Ayu yang tau apa sebabnya.   •••••       "Silahkan!! Tapi jangan pernah sentuh dia lagi, kamu menjijikkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD