Bab 1. Permulaan

1067 Words
mobil yang di tumpangi Fikri melaju dengan kecepatan pelan. Apalagi ibukota sedang diguyur hujan, hingga sekretaris Fikri menyetir mobilnya dengan kecepatan yang sedang. Fikri menyenderkan tubuhnya ke belakang, beberapa kali ia menghela nafas. Rasanya, ia ingin secepatnya sampai di rumah dan beristirahat. “Pak, Bukankah itu Putri Anda?” ucap Septian yang tak lain adalah sekretaris Fikri. Fikri menoleh ke arah samping, ia melihat putrinya dan teman putrinya sedang berteduh, seraya memeluk tubuhnya. Ia tahu, mungkin putrinya kedinginan. Tapi walaupun begitu, Fikri tidak berniat untuk mengajak putrinya pulang bersama “Apakah kita harus mengajak Nona untuk pulang bersama, Tuan?” tawar Septian, ia melihat Fikri dari kaca depan. Walaupun ia sudah tahu jawabannya, tapi ia tetap bertanya. Siapa tahu, kali ini tuannya berubah pikiran dan mau mengajak Farah untuk pulang bersama. “Tidak usah, biarkan saja dia!” kata Fikri, seperti biasa. Ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh putrinya, dan apa yang terjadi pada putrinya. Sedangkan Septian hanya mengangguk. Fikri Atmaja, seorang lelaki matang yang kini menginjak 39 tahun, lelaki itu berperawakan tegap, tampan dengan rahang kokoh dan tubuh yang atletis. Semua wanita mengidamkannya, apalagi dia seorang duda dengan anak satu yang kini berusia 19 tahun. Farah Atmaja, adalah putri pertama dari Fikri Atmaja Putri. Orang pikir, mungkin akan beruntung menjadi Farah di mana Farah adalah anak satu-satunya dari seorang konglomerat. Tapi sayangnya, semua tebakan itu salah. Karena faktanya, Fikri begitu acuh dan abai pada putrinya Entah apa yang membuat pikir begitu dingin pada putrinya sendiri, yang pasti sejak Farah lahir sampai detik ini Fikri tidak pernah mau peduli apapun yang terjadi pada Farah. Sedari kecil, Farah lebih sering diurus oleh susternya. Hanya saja, saat usia Farah 13 tahun, suster yang mengurus Farah sedari bayi meninggal dan sejak saat itu, Fikri tidak lagi mencarikan suster lagi untuk Farah, karena menganggap putrinya sudah dewasa dan sejak saat itu Farah selalu menghabiskan waktunya sendiri. Ia begitu kesepian, beberapa kali ia meminta waktu sang ayah untuk sekedar menemaninya. Tapi, Fikri tidak pernah menggubris putrinya Hingga akhirnya, seiring berjalannya waktu Farah mulai mengerti, bahwa sang ayah tidak pernah menyayanginya. Setelah ia mengerti semuanya, ia tidak pernah lagi meminta apapun pada ayahnya. Semua ia lakukan sendiri. Dan ketika sekolah menengah, Ia mempunyai teman bernama Aqila, yang bernasib sama sepertinya. Hanya saja Farah sedikit beruntung, karena mempunyai ayah yang kaya. Berbeda dengan Aqila. Aqila hidup dengan penuh kegetiran. Ia hidup bersama ibu tiri dan kedua Kaka tiri yang menindasnya, belum lagi, hidup mereka serba kekurangan dan Aqilalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ayah kandungnya seolah tak perduli, bahkan ia selalu abai ketika Aqila di perlakukan buruk oleh kedua Kaka tirinya dan ibu tirinya. Karena nasib Aqila dan Farah sama, keduanya bisa berteman, Aqila mampu membuat Farah nyaman, padahal Farah adalah orang yang cukup introvert dan jarang bisa bergaul dengan orang lain, belum lagi kehidupan pribadinya yang tidak mendapat kasih sayang dari ayahnya Ia tidak mengerti, kenapa sang ayah tidak pernah tersenyum padanya. Setiap ia sakit, ia selalu melewatinya seorang diri. Diabaikan diacuhkan sudah biasa. Tapi yang paling menyakitkan adalah, ketika ia melihat sang ayah tersenyum pada anak rekan bisnisnya, sedangkan padanya sang ayah sama sekali tidak pernah tersenyum, tidak pernah bertanya apa yang terjadi dan tidak pernah bertanya apa yang ia rasakan dan apa yang ia butuhkan. Ia dan ayahnya memang tinggal satu rumah. Namun setelah di rumah, ayahnya tidak pernah menyapanya, tidak pernah mengajaknya makan bersama,.keberadaan Farah seolah tidak terlihat oleh ayahnya, bahkan mungkin ayahnya menganggap Farah tidak ada di rumah itu. Tapi Farah bisa apa, seiring berjalannya waktu. Ia sudah lelah menggapai hati sang ayah, ia ingin bertanya kenapa ayahnya mengabaikannya. Tapi, jangankan bertanya, untuk berbicara pada sang ayah saja rasanya ia begitu segan. ••• “Farah itu mobil ayahmu!” pekik Aqila ketika melihat mobil Fikri melaju di hadapan mereka. Farah hanya menoleh sekilas pada Aqila, kemudian ia kembali menunduk seraya memeluk tubuhnya yang begitu dingin. Aqilah yang mengerti tatapan Farah langsung mengelus punggung temannya. “Tidak apa-apa aku yang akan mengantarkanmu!” kata Aqila, Farah pun menggangguk, karena memang dia takut pulang sendiri, apalagi ini sudah malam dan perumahan Farah berada di perumahan elit, hingga jarang ada orang di jam seperti ini. Farah menyetop taksi, kemudian mengajak Aqilah untuk naik. Sedari tadi, mereka menunggu taksi online. Tapi, tidak ada yang datang dan beruntung ada taksi yang melintasi di depan mereka, sehingga mereka pun naik ke dalam taksi tersebuy. “Kau menginap saja deh di sini, Ini juga masih hujan!” kata Farah pada Aqila, saat mobil yang ditempati mereka sampai di depan gerbang. Aqila tampak berpikir, ini sudah larut malam. Jika ia pulang, ia pasti akan dimarahi oleh ibu tirinya karena pulang terlambat, belum ia harus membereskan semua rumah. Aqila menggangguk. “Hmm, aku akan menginap!” balas Aqila, hari ini saja ia ingin beristirahat dengan tenang, ia akan memikirkan nasibnya besok. Mereka pun turun dari taksi dan berlari ke arah gerbang. “Non, kenapa hujan-hujanan!" pekik Bi ira saat membukakan pintu untuk Farah dan Aqila. “Bi, tolong siapin makanan ya buat kami. Kami mau naik ke atas dulu,” balasn Farah, bi Ira pun mengangguk. “Ayo Aqila!" ajak Farah, mereka pun masuk ke dalam rumah. Saat masuk ke dalam rumah, Farah menghentikan langkahnya kala melihat Fikri turun dari tangga. Jantung Aqila berdetak dua kali lebih cepat, saat melihat ayah temannya yang memakai pakaian Casual dan begitu tampan. “Wow!” tanpa sengaja, Aqila berdecak kagum, seolah memuji tampilan Fikri yang begitu tampan. Hingga Farah yang berada di sebelah Aqila langsung menoleh, dan akhirnya Aqila pun tersadar lalu menetralkan ekspresinya. “Ayah!” panggil Farah, ia berusaha menyapa sang ayah , “Ayah boleh Aqila nginep di sini?” tanya Farah saat Fikri melewati tubuhnya begitu saja. Sebenarnya Ia hanya basa-basi bertanya, karena sang ayah tidak perduli. Namun entah kenapa hari ini ia ingin mendengar sang ayah berbicara padanya. Apalagi hari ini hari ulang tahunnya. “Memangnya kamu pikir rumah rumah ini penampungan!” balas Fikri dengan sadis. “Apa Om tidak bisa bersikap sedikit ramah pada Farah!” ucap Aqila tiba-tiba, membuat mata Farah membulat, Farah tidak menyangka bahwa Aqila akan menjawab seperti itu pada sang ayah. Mendengar ucapan Aqila yang tidak sopan Fikri menoleh. Lalu, menatap Aqila dari atas sampai bawah. “Kamu pikir, kamu siapa di sini. Berani sekali kamu berbicara begitu sama saya!” kata Fikri, nyali Aqilah seketika menciut saat melihat tatapan Fikri yang begitu tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD