4. Mati Kutu

1146 Words
“Aduh mati gue! suaranya kayak dokter Bima. Apa gue lagi nge-halu?” batin Raisa yang masih tetap menutup matanya. “Tapi ga mungkin itu dia , Raisa. Please, Raisa! Elu kudu terima kenyataan bahwa elu ketemu sama si om-om!” Raisa dan pikirannya masih saja berkutat apakah benar atau tidak yang sedang dia dengar saat ini. Sampai Jody mencubit paha Raisa agar sahabat koplaknya itu segera bangun dan terima kenyataan jika dokter Bima memang sedang ada di sini. “Apaan sih lu? Sakit, tau!” sungut Raisa lalu menatap Jody yang sedang memberi tanda lewat alisnya. “Napah lagi sama tuh alis? Gue juga bisa, Jod! Nih … nih….” Balas Raisa sambil menaikan alisnya dan dilanjutkan memberi muka aneh seperti ‘babi’ pada Jody yang langsung memutar kursi Raisa sehingga wajah jelek itulah yang dilihat dokter Bima sekarang. “Raisa, kamu kenapa?” Deg! Raisa langsung menurunkan tangannya dan langsung menatap heran tak percaya. “Si Om-om ….” “Om-om siapa?” tanya Bima sambil melihat ke belakang dan sekitarnya. Mencoba memahami kata-kata absurd Raisa yang sedang didengarnya saat ini. “Maksud saya … enggak begitu. Lupain aja, Dok!” jawabnya terbata dan tidak bisa lagi mengelak. “Bisa kita bicara sebentar?” tanya Bima dengan kesabarannya yang setipis tisu itu. Sambil menggerakkan kacamatanya, Bima mundur dua langkah untuk memberi ruang bagi Rai untuk berdiri dan mengikutinya sebentar. Setelah memberi senyum seulas pada Jody, Bima berbalik arah menuju taman di arah perpustakaan. Lumayan sepi di jam seperti ini karena kebanyakan sudah kembali ke asrama atau rumah masing-masing. “Raisa, silakan duduk!” “Baik, Dok!” “Panggil saya Bima. Ini bukan di rumah sakit.” “Iya, Om Bima.” “Kamu sedari tadi manggil saya Om … sejak kapan saya nikah sama bibi kamu?” “Maap Om, eh … dokter … eh Bima!” Bima nampak mengambil napas panjang karena menghadapi Raisa nyatanya harus menyiapkan mental lebih lagi. Selain karena wajahnya yang mempesona, membuat Bima harus selalu fokus untuk tidak tenggelam pada euforia wanita cantik ini. Jangan tanya kenapa, karena begitu banyak bayangan tentang Raisa di kepala Bima. “Saya menjadi dosen thesis kamu, sesuai yang dikatakan profesor Andi. Saya tidak bisa menolak karena prof Andi berjasa buat hidup saya.” Kata-kata yang keluar dari mulut Bima begitu dalam dan serius. Entah mengapa Raisa merasa ada keterpaksaan di situ. Apakah benar prasangka ini? Karena Raisa berharap sebaliknya. “Terpaksa?” tanyanya lugas. Tipikal Raisa sekali yang selalu jujur dengan apa yang ada di pikirannya. Sampai terkadang membuat orang lain jengah dengan ucapan jujurnya. Bima melihat lurus ke arah mata Raisa yang tak berkedip sedetik pun. Terus terang dia tidak menyangka kata itulah yang keluar dari bibir mungil milik Raisa. Bahkan mata sipitnya itu membuatnya semakin jelas bahwa wanita berambut panjang dan lurus itu sedang serius. “Tidak.” Entah mengapa itu jawaban Bima, padahal sebenarnya dia memang sedikit enggan. Bukan karena Raisa, tetapi kesibukannya. Namun, sekarang dia merasa harga dirinya dilecehkan dengan kata terpaksa. “Lalu? Aku rasa alasan ‘berjasa’ masih berupa kata klise, bukan begitu?” Lihatlah Raisa dengan analisanya yang tidak bisa dibilang mudah. Wanita pintar ini tidak akan menjadi murid teladan jika tidak pintar, selain itu, Raisa memang dikenal dengan pribadi yang mandiri dan kuat. Tidak seperti anak orang kaya pada umumnya, Raisa tidak pernah menunjukan bahwa dia orang yang berada. “Tapi itu kebenarannya. Jadi kesimpulannya, meski berat dan akan sulit mengatur waktu. Kita harus berhasil.” “Apa tujuanmu, Ka? Aku tidak bisa memanggil nama langsung karena jelas lebih tua dan aku sebenarnya lebih nyaman dengan panggilan om. Terua ku aja ya? jangan saya sayaan … ga biasa!” repeat Rai. Sekali lagi Bima menatap Raisa. Wanita ini masih ‘keukeuh’ dengan inginnya. Memanggil Bima dengan ‘Om’. “Terserah lah. Tapi kenapa? Pasti ada alasan, kan?” tanya Bima serius. Raisa cukup takut untuk berkata jujur sebenarnya. Tapi itu sama saja menyimpan bangkai bagi Raisa, dia tidak suka menutupi apa pun. “Boleh? Nanti marah berabe. Bisa ga kelar tesis aku!” Bima tak menjawab tapi gerakannya yang menyandar ke sandaran kursi menjawab semuanya. “Ngga mau jawab juga ga papa. Ga rugi buat saya.” “Iya deh. Emang ga inget aku siapa? Ospek?” Raisa menelan ludahnya untuk menghilangkan kegugupannya, meski hal itu tampaknya tak berhasil sama sekali. “Saya tau.” Raisa mencoba melotot tapi dia tau itu semua akan sia-sia karena mata sipitnya itu tak bisa dikompromi lagi. Bawaan dari langit. “Tapi ko diem aja?” tanya Raisa mencoba ngotot. “Terus saya harus gimana?” jawab Bima santai. “Udah sadar dari lama?” “Udah.” “Dih … parah nih orang,” Raisa langsung mencebikkan bibirnya karena kesal karena Bima ternyata mengenalnya sejak awal. Jika tahu seperti itu dia tak perlu salah tingkah kan? “Kalo ngomong tuh yang jelas. Ada apa memang?” “Pura-pura ga tau?” kesal Raisa yang pastinya dipahami oleh Bima. “Emang ga tau … bukan pura-pura ga tau!” Raisa menatap kembali ke arah Bima, dari atas ke bawah dan memang lelaki ini memang om-om yang sempat dia kejar-kejar. Satu yang berbeda selain kacamata Bima tentu saja bentuk badannya. Dulu gemuk kaya om-om dan sekarang gagah berotot di balik kemeja dan jas putih yang selalu dia kenakan. “Tapi kenapa diem aja waktu ketemu di rumah sakit?” cecar Raisa tak terima. Merasa dipermainkan. “Kan saya udah bilang, saya harus teriak-teriak gitu? Kamunya yang lupa kok malah nyalahin saya?” “Bukan gitu, tapi setidaknya nyapa kan bisa?” desak Rai dengan argumennya yang menurutnya masuk akal. Selayaknya orang yang mengenal lama pasti akan menyapa, bukan? “Kalo saya ga mau? Emang kenapa?” Mati kutu sudah. Bicara dengan Bima memang tidak akan pernah mudah. Lelaki itu dari dulu tak pernah berubah, irit kata dan selalu dingin terhadap wanita. “Yang waras ngalah aja lah.” “Jadi?” “Jadi apa?” “Masih mau jadi mahasiswa bimbingan saya?” tanya Bima santai dan tanpa ekspresi. “Oh … gitu? Maksudnya kesana?” cibir Raisa seakan mengatakan bahwa Bima memang sengaja membuat Raisa kesal agar mundur sendiri tanpa Bima perlu suruh. Taktik yang pintar dan terbaca oleh Raisa. “Iya. Saya galak. Kamu ga akan tahan.” “Kata siapa?” tantang Raisa yang membuat Bima kewalahan. Sepertinya tidak mudah membuat wanita cantik ini menyerah begitu saja. “Ya sudah … kita lihat saja nanti,” jawab Bima ingin menyudahi percakapannya dengan Raisa secepatnya. Dia paling malas berdebat dengan wanita. Bima lalu bangkit dan pergi dari Raisa begitu saja setelah senyum sedikit lalu menepuk pundaknya pelan. Bagi Raisa sikap Bima seperti itu tidak asing. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering dan raisa langsung mengangkatnya karena sang ayah lah yang terlihat di layar. “Iya yah?” “Cepat ke rumah sakit! Oma …” “Oma kenapa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD