6. Nanas Siapa

1221 Words
Bima terpaksa menyentil dahi Raisa untuk membangunkan kembali kesadaran Raisa yang mulai kemana mana. “Sakit, Om.” “Fokus makanya!” Tak lama kemudian terdengar suara ponsel Bima berbunyi. “Iya suster?” “Pasien atas nama Nunik kritis, Dok!” “Saya segera kesana … siapkan ruang operasi dan CT!” Mendengar hal itu Rai hanya bisa menutup mulutnya dan segera mengejar Bima yang sudah duluan berlari. Sambil bercucuran air mata dan jantung yang berdegup kencang, Rai mencoba mengimbangi lari Bima. Tentu saja tertinggal, dan ketika sampai di kamar khusus perawatan intensif, Rai dan ayahnya hanya bisa melihat kepergian Oma menuju ruang operasi. Anggara terduduk lemas dengan wajah tegang. Merasakan bahwa kehidupannya akan dilanda badai kembali. Rasanya baru kemarin Alicia meninggalkan dirinya, sekarang apakah ibu yang sangat dicintai juga akan meninggalkan dirinya? “Ayah … oma ga papa ko. Tadi Rai udah bicara sama dokter Bima. Kata dokter Bima kita harus sabar saja untuk membantu kesembuhan oma.” Raisa menggenggam tangan ayahnya dan lalu memeluk, sambil berbisik. “Kita harus bersabar. Kalo ayah kuat, Rai juga akan kuat. Kita bisa melalui ini, Rai masih butuh ayah di samping Rai.” Mendengar semua ucapan anaknya, Anggara segera merengkuh erat gadis kecilnya yang sudah dewasa. Hanya Rai lah yang tujuan hidupnya, janjinya pada Alicia adalah menjadi penjaga Raisa. Jika sekarang ada Oma yang menjadi sinar mereka, maka mereka harus siap saat sinar itu juga akan padam. “Kita bisa, Yah. Kita tim yang kuat. Kita akan berjuang untuk Oma,” isak Raisa tertahan. Anti baginya memperlihatkan kesedihan di depan sang ayah. Tidak, Raisa harus kuat di hadapan ayahnya. Setelah menunggu 2 jam, dokter Bima keluar dengan wajah datarnya. “Ibu Nunik sudah bisa melewati masa kritisnya. Tadi mendapat serangan di jantung, dan ini hal yang lumrah pada penderita stroke. Hanya, pengulangan serangan ini cukup cepat setelah kemarin. Saya sarankan untuk tetap di sini sampai keadaan Ibu Nunik stabil,” kata Bima dengan suara selembut mungkin. Raisa hanya bisa melihat Bima tanpa berkedip. “Syukurlah oma …” ujar Raisa sambil terduduk kembali. “Saya akan mengikuti saran dokter. Saya ingin yang terbaik untuk ibu saya, dan itu berarti saya tidak ingin ibu saya digantikan oleh dokter lain,” timpal Anggara dengan aura tegasnya. “Baik, Pak Anggara. Kalau begitu saya permisi,” pamit Bima lalu berjalan ke arah kantornya. Tanpa diketahui Bima, Raisa membuntuti Bima tak lama kemudian. “Ayah. Rai mau bicara sama dokter Bima dulu. Ayah boleh pulang dulu. Biarin Rai yang urus oma.” Anggara menggeleng, karena tidak akan tega membiarkan Raisa yang sedang menyusun tesis menjadi terganggu. “Tidak perlu, ini tugas ayah sebagai anak. Kamu urus saja urusanmu. Ayah bisa.” Raisa mengangguk lalu memeluk sang ayah sambil berkata, “terima kasih untuk pundak ini yang selalu menjadi kuat untuk Rai dan oma. Tuhan tahu betapa ayah mencintai oma dan Rai.” “Pergilah. Ayah sudah tahu dari prof Andi jika dokter Bima yang menjadi pembimbing tesis kamu!” Raisa langsung meregangkan pelukannya untuk menatap sang ayah. Raisa tidak tahu jika prof Andi ada hubungan dengan ayahnya. “Ayah kenal prof Andi?” tanya Raisa dengan wajah bingung. “Kenal. Nanti saja penjelasannya. Ayah harus mengurus oma.” Raisa mengangguk lalu berbalik menuju tempat Bima. Raisa kehilangan jejak Bima dan akhirnya dia bertanya ke nurse center untuk bertanya ruangan Bima. Sebenarnya Raisa belum tahu apa yang hendak dia lakukan di kantor Bima. Tapi, hatinya mengatakan dia harus menemui Bima karena pernyataan Bima yang menenangkan tadi atas operasi oma membuatnya galau. Tok … tok …! “Masuk!” Raisa langsung masuk dan melihat Bima sedang membuka jas dan sepatunya. “Maaf!” kata Raisa sambil berbalik. Mengantisipasi Bima akan membuka seluruh bajunya. “Saya ga akan ga telanjang di depan kamu. Tenang aja!” celoteh Bima tanpa ada tertawa sedikit pun. Membuat Raisa mengelus d**a untuk keringnya sense of humor lelaki yang dia sukai ini. “Kalo kamu buka baju rejeki buat aku.” Deg … Bima otomatis berhenti membuka kancing kemejanya. Ucapan Raisa yang tidak biasa itu membuat degup jantungnya tak beraturan. Perlahan keringat kecil mengalir di dahinya. “Ga usah mancing.” Raisa tertawa pelan, senang mengetahui Bima terpengaruh dengan ucapan nyelenehnya.”Aku boleh lihat kamu sekarang?” “Boleh.” Raisa melihat wajah Bima yang sudah lebih segar dari yang tadi. Menatap hidung mancung yang mengindikasikan bahwa dia bukan asli Indonesia seluruhnya. Raisa menebak Belanda, karena alis Bima yang berwarna coklat muda itu menjelaskan semua. Lalu turun ke bentuk dagu belah Bima yang sejak dulu dikagumi Raisa. Meski dulu Bima gempal kaya om-om tetap saja Raisa menyukainya. “Kenapa menatap saya aneh begitu?” “Kamu selalu ganteng dari dulu.” Sekali lagi … ucapan Raisa membuat Bima salah tingkah. Wanita di hadapannya ini selalu membuat akalnya hilang sesaat. “Maaf aku oot. Aku kesini untuk bertanya keadaan oma yang sesungguhnya. Aku takut kamu hanya berkata yang membuat kami tenang.” Bima hanya menatap Raisa dalam-dalam. “Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya. Oma melewati masa kritis , tapi kita tidak tahu serangan itu kapan kembali lagi.” “Begitu rupanya.” “Kamu kesini hanya untuk bertanya hal itu?” tanya Bima. “Engga juga sih. Aku mau ajak kamu kencan.” Mata Bima membola, betapa wanita yang di depannya ini begitu berani untuk mengajaknya berkencan. Bukannya Bima tidak mau, tapi apa motif Raisa? Seiingatnya, dia tidak pernah meluncurkan sinyal-sinyal suka. Lagipula, bukankah seharusnya dia yang mengajak Raisa duluan? “Kenapa aku harus nerima ajakan kamu?” “Kamu kan om-om aku.” “Ya Tuhan. Jawaban apa itu Rai?” Raisa hanya tersenyum saja mendengar tanggapan Bima. Apa dia tidak tahu sejak dulu dia selalu mengharap Bima melihatnya sebentar saja. “Jawab aja … mau apa engga?” “Kalo aku jawab engga mau?” “Ya paling aku akan bilang ke prof Andi kalo pendekatan kita tidak berhasil sebagai mahasiswa dan pembimbing?” Raisa merasa dirinya selangkah lebih maju dari Bima karena ada senjata yang bisa gunakan. Seharusnya alasan ini mampu membuat Bima menerima ajakannya. Jika tidak? Berarti makhluk ‘kulkas’ ini satu-satunya di bumi. Masa ga tau sih kalo cewek di depannya saat ini naksir? “Kamu ngancem?” Raisa diam sejenak, berpikir alasan apa lagi yang bisa membuat Bima mau untuk menerima ajakan kencannya. “Ini menghibur saya yang lagi sedih.” “Bukannya kamu harus nemenin ayah kamu?” tanya Bima sambil membetulkan kacamatanya. Tak berselang lama kemudian, ponsel Bima berdering. Raisa amat sangat teramat ingin tahu hingga dia melongokan wajahnya ke arah layar ponsel Bima. Sebuah wajah cantik muncul di kontak profil si penelepon. “Pinneaple.” Nama kontak yang bertuliskan pinneaple itu sontak membuat Raisa merasakan hatinya berdenyut perih. Seolah ada yang tengah mengiris hatinya dengan sangat halus. “Ya, Nas … Ada apa?” ucap Bima menyahut kepada si penelepon. Suara Bima terdengar jelas, tapi Raisa tak bisa mendengar sepatah katapun apa yang diucapkan si penelepon Bima tersebut. “Oke, aku akan menjemputmu malam ya.” Bima pun memutuskan sambungan teleponnya lalu menyelipkan lagi ponselnya itu ke dalam saku celananya. “Kenapa?” ucap Bima sambil memandang ke arah Raisa yang terlihat begitu kusut di sebelahnya. “Gak apa-apa.” “Kok cemberut?” tanya Bima sambil memandang Raisa lebih lekat dan dekat. Degg! Desiran hebat membuat Raisa gemetaran. Kriing! Dan ponsel Bima kembali berdering.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD