Calon Ibu Tiri

1371 Words
24 November 2017 Berdiri di depan cermin, menatap pantulan diriku dari standing mirror. Aku merasa tampilanku telah sempurna. Mengenakan gaun yang sangat indah berwarna hijau mengilap berbahan sutra nan lembut. Gaun ini berlengan panjang dengan renda-renda di depan d**a. Dari perut hingga lutut sedikit mengembang, membuatku terlihat sangat sempurna. Seseorang membuka pintu, membuatku spontan menoleh ke arah kanan dimana pintu kamar berada. Ayah berdiri gagah, mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu, ia tampak sempurna dan tampan. "Apa kamu siap?" Senyum cerah secerah matahari pagi tampak jelas di wajahnya. Aku tersenyum sambil mengangguk, aku sangat paham kenapa wajahnya seperti sekarang setelah aku berkata bahwa aku mengijinkannya menikah kembali.  Ayah mendekatiku lalu memelukku erat. Aku tahu ia sangat menyayangiku, sangat kuat. Sekuat pelukan yang kini kurasakan. "Terima kasih karena kamu mengerti perasaan Ayah." Menjadi duda bertahun-tahun demi mengasuhku. Aku yakin itu bukan hal yang mudah untuknya. Sudah saatnya Ayah menikmati kebahagiaannya bersama istri baru yang ia pilih. "Apapun aku lakukan demi kebahagiaan, Ayah." Aku sangat tulus mengatakannya. Ayah melepas pelukannya, menatapku dengan senyum indahnya. Aku sangat beruntung memiliki ayah seperti Ayah. Ia selalu memerhatikanku, memberiku kasih sayang yang utuh dan selalu mengawasiku. Meski tanpa Ibu, aku merasa telah tumbuh sempurna menjadi remaja dan itu semua berkat Ayah. Hari ini untuk pertama kalinya aku akan bertemu dengan calon keluarga baruku. Seorang wanita terpandang dari Kota Sommerset, janda dari keluarga Catilde yang cukup terpandang. Meski belum pernah bertemu dengannya, aku merasa ia wanita yang pantas mendampingi Ayah karena ia wanita yang kini dicintai Ayah. Aku tidak berpikir Ayah mengkhianati Ibu. Meskipun jujur saja, ada sedikit perasaan kecewa saat Ayah menceritakan soal ini. Tapi bagaimana pun, Ibu sudah tiada dan Ayah harus menjalani kehidupannya, termasuk dengan kembali berumah tangga bersama wanita pilihannya. "Kamu cantik sekali. Seperti mendiang Ibumu ... Ella. Sekalipun Ayah telah menikah dengan Esperanza. Tempat Ibumu takkan tergantikan. Bagi Ayah, kalian berdua sangat berharga." "Aku tahu.” Meskipun aku sangsi jika posisi ibu di dalam hatinya tetap tidak tergantikan. Tapi, ya … kuharap ayah bahagia. Kembali kami berpelukan, sangat erat. Ayah mengecup keningku lalu menyerahkan lengannya untuk kugamit. Ayah begitu berseri-seri, dari senyumnya aku merasa ia ingin sekali menari untuk menunjukkan bahwa ia sedang sangat berbahagia. Aku hanya bisa ikut tersenyum sambil terus melangkah. Keluar dari kamar, kami melewati lorong yang cukup panjang dengan pintu-pintu tertutup. Ayah, Ibu dan aku dengan berbagai gaya. Foto Ibu yang sedang duduk sambil tersenyum, foto Ayah dan Ibu saat mereka menikah, foto kami bertiga, semua terpajang di semua sisi dinding di kastil ini.  Para pelayan yang berpapasan dengan kami berdua segera menepi untuk memberi kami jalan. Mereka menatap kami sambil tersenyum dan mengangguk penuh hormat. Aku dan Ayah menatap wajah mereka sekilas sambil berjalan menuju halaman dimana Bastian, sopir pribadi kami telah menunggu. Kastil kami berada di tengah ladang dan peternakan milik Madamoissale, yang letaknya tepat di sebelah Hutan Darkforest. Hutan rimbun yang konon sangat gelap hingga cahaya matahari tidak mampu menembusnya. Hutan terlarang bagi manusia, tempat serigala liar melolong dan entah binatang buas apalagi yang tinggal di hutan itu. Untuk menuju kota Sommerset, kota dimana kami akan makan malam bersama keluarga Catilde. Mobil melintasi hutan lindung Rotterwood. Hutan yang dipenuhi pinus sepanjang beberapa mill yang akan menembus pinggiran kota Sommerset dimana sekolahku berada. Duduk di sebelah Ayah, aku menatap keluar jendela. Pemandangan sore di tengah hutan Rotterwood benar-benar indah. Sentuhan tangan Ayah di punggung tanganku mengalihkan perhatianku. Aku memandangnya dengan senyum tipis. Ayah menepuk punggung tanganku sekali lagi, seolah berkata bahwa semua baik-baik saja. *** Kota Sommerset adalah kota yang cukup besar dan sangat modern. Gedung-gedung tinggi menjulang, lampu-lampu warna-warni dan berbagai ukuran membuat kota ini terlihat terang dan sangat indah, sangat berbeda dengan Westville dimana saat malam akan segelap bayangan. Orang-orang masih tampak sibuk meski hari sudah merayap malam. Sangat jauh berbeda dengan Westville yang akan lengang saat malam datang. Lolongan serigala membuat orang-orang di Westville memilih berlindung di rumah mereka daripada berada di luar rumah. Turun dari mobil, Ayah menyerahkan tangannya untuk kugamit. Berjalan masuk ke dalam sebuah restoran yang sangat mewah dengan arsitektur khas Romawi lengkap dengan pilar-pilar yang sangat besar. Seorang pelayan menyapa kami. Ayah menyebutkan ruang yang telah dipesan sebelumnya lalu pelayan itu meminta seorang pelayan yang lain untuk mengantar kami ke ruang tersebut. Berdiri di depan pintu, aku menata degup jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Aku membayangkan seperti apa Nyonya Catilde dan kedua anaknya. Apa yang harus kukatakan saat kami duduk bersama dan segala macam, sedang memenuhi kepalaku.    Ayah menyentuh bahuku, membuatku menoleh ke arahnya. Kembali ia tersenyum, memberiku rasa hangat dan menurunkan intensitas kegugupanku. "Semua akan baik-baik saja! Mereka keluarga yang menyenangkan,” ucap Ayah. Aku ikut tersenyum, semoga apa yang dikatakan Ayah adalah benar. Pintu terbuka, menunjukkan seorang wanita memakai gaun panjang berwarna merah menyala dan di hadapannya dua orang perempuan, tampak cantik mengenakan gaun mini berwarna merah jambu dan seorang lagi mengenakan gaun yang sama namun berwarna jingga. Ketiganya berdiri sambil tersenyum, menyambut kedatangan kami. "Halo sayang," sapa wanita memakai dandanan maksimalis yang aku yakini sebagai Nyonya Esperanza Catilde. Wanita itu cukup tinggi untuk ukuran wanita di Invisible Island, tingginya sekitar seratus tujuh puluh lima senti meter, sementara rata-rata wanita di pulau ini tingginya sekitar seratus enam puluh senti meter. Nyonya Catilde hanya lima senti lebih pendek dari Ayah. "Maaf, kami terlambat.” Senyum Ayah menunjukkan bahwa ia tidak enak dengan keterlambatan kami. Nyonya Catilde mendekati kami. Segera mencium pipi Ayah lalu tatapannya berpindah kepadaku. “Tidak apa-apa, Sayang. Aku mengerti.” Nyonya Catilde menyentuh pipi Ayah, tanpa malu-malu ia mengecup bibir Ayah. Di hadapanku. Melihat adegan itu membuat senyumku berubah, serasa ada seseorang mencuri baju terbaikku. Tapi aku harus sadar, ini akan terjadi karena seperti itulah seharusnya sebuah pasangan saat mereka bertemu. "Kamu pasti Ella. Kamu sangat cantik ... Sama seperti yang diceritakan Ayahmu.” Nyonya Catilde beralih kepadaku, mengamatiku dari kepala hingga mata kaki, tatapannya seolah sedang mencari sesuatu dari penampilanku. Aku pun mengikuti arah tatapannya, membuatku menilai penampilanku sendiri. Tetapi tidak ada yang salah dengan penampilanku. Justru aku terlihat lebih baik dari biasanya. "Terima kasih, Nyonya Catilde." Ucapanku hanya sekedar jawaban basa-basi, demi sopan santun. "Jangan panggil aku Nyonya. Itu terdengar sangat formal.” Nyonya Catilde melambai sambil tertawa kecil. Mungkin ada yang ia anggap lucu dari perkataanku. Ah, mungkin ini karena aku masih baru mengenalnya dan tetap saja, rasa kecewa itu turut andil atas segala pikiran negatif yang masih suka melintas. "Bagaimana pun. Jika aku menikah dengan Ayahmu maka kamu akan memanggilku Ibu. Jadi kenapa tidak dari sekarang kamu memanggilku ... Ibu.” Permintaan yang cukup berat, aku tahu Nyonya Catilde akan menjadi ibuku tetapi saat wanita itu mengucapkannya dengan sangat gambling, senyumku benar-benar memudar. Apakah semudah itu memanggilnya Ibu? “Ella.” Ayah membangunkanku dari lamunan. Tatapannya memintaku menuruti perkataan Nyonya Catilde. Meski getir, tapi aku memaksakan diri untuk kembali tersenyum, meski senyumku kali ini lebih kepada sopan santun. Aku menatap wajah Ayah beberapa lama lalu menatap wajah Nyonya Catilde beberapa lama. “I ... bu.” Akhirnya aku menyebutkan kata itu, dengan cara yang sangat sulit. Beberapa saat Nyonya Catilde, maksudku Ibu menatapku dengan lagi-lagi tatapan yang kupikir sedang menilaiku. “Ayo masuk!” Nyonya Catilde, maksudku Ibu menarik lenganku. Membawaku ke sebuah ruangan luas dengan sebuah meja panjang dan beberapa kursi di tepinya. Dinding-dinding ruangan ini berwarna kuning keemasan dengan sebuah korden berwarna merah serta lampu besar menempel di tengah atap, di atas meja makan. Ruangan ini sangat mewah. Dua perempuan yang mungkin seumuranku, telah duduk di tepi meja di sisi kiri. Keduanya sedang sibuk membuka dan membolak-balik daftar menu. Sepertinya mereka lebih tertarik dengan makanan daripada bertemu denganku atau Ayah. “Anak-anak!” Ibu membuat dua perempuan itu menoleh, memandangku dan Ayah bergantian. Keduanya segera berdiri, mendekatiku dan mengamatiku seperti aku seekor salmon yang siap disantap. "Aku Clara. Clara Esperanza Catilde. Kamu bisa memanggilku Clara.” Gadis berambut ikal berwarna coklat mengenakan gaun mini berwarna jingga mengulurkan tangan. Seketika aku menjabatnya, ia sedikit meremas tanganku sementara senyum dengan gigi berhias behel membuatku tersenyum kikuk. Gadis lain dengan rambut lurus berwarna brunete, menarik tanganku dari tangan saudarinya. Menjabatku sama eratnya, membuatku meringis. "Namaku ... Bianca Esperanza Catilde. Kamu bisa memanggilku Bianca. Kudengar usiamu sama denganku. Kita bisa berteman baik.” Bianca tersenyum, awalnya kupikir ia juga memakai behel di giginya. Tapi saat mengetahui giginya tidak memakai behel, aku bernapas lega. Cukup dua kali aku mendapat kejutan. Bertemu Ibu dan satu anaknya memakai behel yang baru pertama kali aku melihatnya.             “Aku ... Rachella Chlarisse Madamoissale. Panggil aku, Ella.” Keduanya kembali tersenyum lebar lalu kembali ke tempat duduk mereka secepat angin dan kembali membuka buku menu. "Ehm ... Sepertinya anak-anak kita cocok,” gumam Ibu. Semoga kami benar-benar cocok nanti.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD