Satu Tahun Kemudian ...,
Seorang gadis berambut panjang berjalan mengekori gurunya hingga sampai di depan kelas. Si gadis memerhatikan sekitar, beberapa siswa sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan kebanyakan dari mereka tidak terlalu peduli dengan keadaan di depan.
Dih, kelas ini isinya muka-muka anak pinter semua, horor, bisa-bisa mati gue masuk kelas ini, pikirnya. Ia meremas tali tas, rambutnya sudah ditata lurus dan dicat kemerahan. Suasana kelas benar-benar hening ketika guru berjilbab putih di sampingnya mulai berbicara.
"Anak-anak, mulai kelas XI ini kalian kedatangan siswi baru. Dia siswi pindahan dari luar kota. Namanya Kiana Azalea. Ibu harap kalian bisa berbaur dengan baik."
"Baik, Bu!"
Guru itu menoleh pada Kiana seraya tersenyum ramah. "Nah, Kiana, silahkan kamu duduk di kursi yang masih kosong."
Kiana mengangguk dan balas tersenyum. Ia melihat hanya ada satu kursi yang kosong. Di samping seorang cowok berkacamata di barisan depan. Ia pun melangkah dan duduk di samping cowok itu. Tersenyum sopan meski si cowok masih sibuk dengan buku biologinya.
"Hai, gue Kiana, nama lo?" Kiana mengulurkan tangan.
"Arkan," jawab cowok itu, cuek tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Kiana mengerucutkan bibir. Ia berbalik badan untuk mengambil buku di dalam tasnya, namun seseorang mengejutkannya dari belakang.
"Oy," Suara berat itu tertuju pada Kiana.
Kiana sontak menoleh seraya tersenyum kikuk. "Ke-kenapa, ya?"
"Ini tempat gue." ucap si Cowok berambut sedikit keriting yang berdiri tepat di depan mejanya, ia masih memakai ransel, sepertinya sedikit terlambat. Cowok tinggi berambut gelap berdiri di belakangnya.
Yang menarik atensi Kiana adalah cowok yang di belakangnya itu. Cowok berambut gelap dengan mata obsidian, berahang tegas dan hidung yang mancung. Cowok itu tersenyum hingga terbentuk lesung pipi. Sepertinya Kiana mengenalnya.
Cowok berambut keriting melirik arah pandang Kiana, kemudian menggebrak meja. "Oy, lo denger gue gak, sih?"
Kiana tersentak saat cowok di hadapannya kembali bicara. "Maaf, gue gak tau, gue pikir di sini kosong."
Pandangan si Cowok beralih pada Arkan. "Oy, Kan. Kok lo gak kasih tau dia kalau ini tempat gue?"
Arkan melirik temannya itu dengan malas. "Ribet."
Cowok itu mulai menggeram, tapi kemudian menghembuskan napas. Ia beralih pada Kiana. "Lo harusnya duduk sama Revan. Tempatnya di meja paling belakang di barisan kiri, kalo diliat dari depan emang gak keliatan."
"O-oh, gitu, ya? Ya-yaudah, gue bakal pindah." Baru saja Kiana ingin bangkit dan mengambil tasnya, cowok berambut keriting kembali mencegah.
"Eh, gak usah, deh. Nanti lo diapa-apain lagi sama Revan. Biar gue aja yang duduk sama dia." Kemudian cowok itu berjalan mengekori temannya yang duduk di belakang.
Revan melirik temannya itu seraya mencibir. "Ian, lo mau duduk sama gue itu biar lo gak ketahuan guru pas tidur di jam pelajaran 'kan?"
Cowok bernama Ian itu nyengir. "Tuh, lo tau."
Revan menggelengkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangan ke punggung Kiana yang duduk paling depan di barisan tengah. Lalu pandangannya kembali beralih pada langit biru, ia tersenyum. Masih ada pagi untuknya. Memberikannya kesempatan sekali lagi untuk berharap.
Sementara itu Kiana sudah selesai mencatat apa yang ada di papan tulis. Ia diam-diam memerhatikan wajah Arkan dari samping.
Kacamata berbentuk lingkaran bertengger di hidung Arkan yang mancung. Lensanya tipis, ia sedang bertopang dagu dengan sebelah tangan. Matanya menjelajahi setiap huruf di buku dengan pandangan malas.
"Woy, Arkan." Siswa yang duduk di belakangnya berbisik sambil mencolek punggung Arkan dengan ujung pensil. "Ambilin penghapus gue, dong, itu di kaki lo."
Arkan menoleh sedikit kemudian menjawab. "Ribet."
"Arkan, tolong jelasin ini, dong, gak ngerti parah." Kali ini teman cewek di sampingnya yang meminta bantuan.
"Ribet, nanti juga dijelasin."
"Arkan," Kiana memanggil dan disahut dehaman. "Dua cowok tadi namanya siapa?"
Arkan menghela napas. "Tadi 'kan diabsen, perhatiin makannya."
Kiana tersenyum licik. "Ribet."
Ekspresi Arkan berubah kaku kemudian menghela napas dengan kikuk. "Yang tadi harusnya duduk di sini itu namanya Ardian Hirata, dipanggil Ian. Yang terlambat sama dia tadi namanya Revan Aksaraf Putra."
Kiana mengangguk mengerti. "Kalau nama panjang lo?"
Arkan baru ingin memalingkan wajah menunjuk buku absensi.
"Ribet." potong Kiana.
"Nama gue Arkan Prasetya." Sahut Arkan pasrah.
Kiana tersenyum puas, namun ... Revan Aksaraf Putra, ia ingat sekarang. Dunia begitu sempit, kembali mempertemukan sepasang ganjil yang selamanya tak akan pernah menjadi saling.
Arkan hendak kembali membaca buku jika saja ia tidak melihat senyum Kiana yang memudar. Gadis itu terlihat merenung sesaat sebelum akhirnya mengambil buku berukuran kecil dari kolong meja--semacam diary dengan sampul berwarna hijau--sementara tangannya meraih pena dan mulai menggores tinta pada kertas.
Hingga kini aku masih mengingat senja yang kita lihat di hari itu
Pemandangan di luar masih tetap sama
Sosokmu pun terbayang di jendela
Apakah kamu masih sama seperti yang dulu?
Bernyanyi dengan gitar usang yang suaranya tak lagi merdu?
Masih seperti anak kecil yang polos, berlarian membunuh bosan
Entah kenapa masa sekarang terasa sepi
Dapatkah aku dan kamu berubah menjadi kita sekali lagi?
Arkan membaca sekilas tulisan itu seraya tersenyum kecil. Lebih mirip lirik lagu dari pada puisi. Ejeknya dalam hati.