Feelings 1

2031 Words
#Ganesha Siapa bilang menjadi anak berbakat itu menyenangkan? Menjadi anak jenius itu suatu yang wow? Oke, menjadi menyenangkan dan wow jika tidak diiringi dengan istilah autisme di samping bakat dan kejeniusan itu. Nama saya Ganesha. Sejak usia delapan tahun, dokter memvonis saya masuk dalam autism spectrum disorder kategori Asperger Syndrome. Apa itu? Suatu kelompok autisme yang memiliki intelegensi tinggi atau tidak terganggu kognitifnya. Namun bermasalah dalam aspek lainnya. Saya tahu kekurangan saya, karena saya mencari tahu dan mempelajari. Tentu saja dibantu oleh tante Kiara. Melalui banyak observasi sudah sering saya alami. Sampai akhirnya saya merasa lelah mengikuti segala rangkaian tes dari psikolog satu ke psikolog lainnya. Menjawab berbagai pertanyaan bodoh dari psikolog yang jawaban saya tidak pernah sesuai dengan harapan para psikolog itu. Setiap saya jawab, pasti salah. Saya jawab lagi, masih salah. Ada kayaknya setiap sesi pertanyaan saya menjawab sampai dua puluh kali, dan semuanya salah. Akhirnya para psikolog itu menyatakan bahwa saya 'berbeda' hanya karena jawaban saya tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh psikolog tersebut dan tidak seperti jawaban anak seumuran saya pada umumnya. Akhirnya saya marah hari itu, tapi tidak bisa mengungkapkannya dengan kontrol diri yang baik. Saya masih ingat ketika itu, lebih memilih menangis di pundak tante Kiara daripada Mama. Saya merasa tante Kiara yang lebih mengerti saya, daripada mama yang terus memaksakan kehendaknya untuk melakukan tes dan observasi pada saya. Dari cerita Mama juga, katanya saya dulu pernah mengalami yang namanya spechdelay juga, semacam terlambat bicara. Tante Kiara yang memaksa saya dengan caranya supaya saya mau buka mulut untuk bicara. Karena hanya tante Kiara yang mengerti kalau saya bukannya tidak bisa bicara, hanya saja malas untuk bicara. Menjadi bahan bully dan korban playing victim adalah makanan sehari-hari saya seumur hidup. Dianggap aneh dan dicemooh sudah menjadi santapan sehari-hari. Mama dan Papa berulang kali mencoba memasukkan saya ke sekolah-sekolah umum. Dari mulai sekolah standart internasional sampai sekolah negeri biasa. Namun tidak satupun yang bisa menerima saya. Pernah sekali diterima di sekolah umum, tapi langsung dikeluarkan dari kelas saat hari pertama sekolah, karena membuat babak belur anak orang. Penyebabnya sepele, anak itu tidak mau bermain dengan saya dan mengatai kalau saya itu aneh. Saya sama sekali tidak merasa bersalah sedikitpun setelah memukuli anak itu habis-habisan. Saya memang punya kekurangan tidak bisa mengontrol diri. Itu bagian dari Asperger Syndrome yang saya derita. Lalu sekarang di mana hebatnya menjadi anak berbakat dan jenius? Namun dari sekian cemooh dan bully yang pernah saya dapatkan, ada satu hal yang membuat saya menjadi merasa tidak pantas hidup di dunia ini--dianggap kesalahan oleh kakek saya sendiri. Akhirnya karena kelebihan yang saya miliki itu, membuat saya hanya bisa belajar di sebuah yayasan khusus anak berbakat dan ditemani oleh guru-guru khusus yang kompeten di bidangnya. Yayasan itu milik tante Kiara--sahabat mama dan papa. Meski tanpa sekolah normal saya sanggup menyelesaikan pekerjaan rumah Daka dan Aira--dua teman yang pernah saya miliki seumur hidup saya--dalam waktu kurang dari satu jam untuk satu mata pelajaran. Padahal pelajaran-pelajaran tersebut tidak pernah saya pelajari sebelumnya. Cukup tunjukkan pada saya literaturnya, membaca sebentar, maka tugas akan saya selesaikan detik itu juga. Apa pun mata pelajarannya. Umur lima tahun saya sudah hapal nama planet, benda-benda luar angkasa, bisa menjelaskan dengan detail apa itu gaya gravitasi bumi. Waktu itu saya pernah mengajukan pertanyaan seperti ini pada Papa, "Apakah matahari juga berputar pada porosnya? Apakah matahari juga mengelilingi pusat galaksi bersama-sama dengan semua planet lain dalam tata surya?" Papa lalu menjelaskan melalui gambar, bukan kalimat jelimet yang sukar saya mengerti. Umur tujuh tahun saya sudah bisa menghitung berapa banyak segitiga siku-siku yang dibutuhkan untuk membentuk kerucut melalui konsep integral dengan pendekatan Deret Reiman. Umur delapan tahun saya sudah tahu tentang sifat bijektif pada fungsi atau yang biasa dikenal dengan korespondensi satu-satu. Saya beruntung karena mempunyai Papa hebat yang mengerti soal ilmu astronomi. Kami seperti sepasang sahabat jika sudah membicarakan tentang astronomi. Kadang kami menghabiskan waktu hanya berdua saja di daerah perbukitan untuk meneropong rasi bintang maupun melihat rasi bintang yang kasat mata. Saya pun menjadi banyak bicara jika membicarakan tentang seni dan ilmu pengetahuan. "Itu rasi bintang Ganes, itu punya Mama. Nah kalo yang itu punya Papa dan Thari," ujar Papa menunjukkan ribuan bintang di langit yang ada di atas kami malam itu. Jari telunjuk Papa membentuk sebuah garis abstrak yang bisa langsung saya bayangkan sebagai rasi bintang milik kami masing-masing. Handphone di samping saya berdering, kontak Papa muncul di layar. Membuyarkan lamunan saya yang sedang mengenang Papa. "Ya, Pa?" sapa saya setelah sambungan telepon terhubung. Sekarang tahu kan seberapa dekat ikatan batin kami. "Nggak pulang?" "Tiga harian ya. Masih ada pentas kecak di Pandawa. Anak sanggar yang tampil." Papa menghela napas lalu berkata oke. Saya tahu beliau pasti merindukan saya yang sudah hampir tiga bulan ini menghabiskan waktu di Bali. "Papa sehat? Mama? Thari?" "Sehat semua. Kamu gimana? Paman sama bibi kamu apa kabar?" "Iya sehat. Baik semua. Kata paman Putu kenapa papa sebentar kemarin?" "Ada proyek yang nggak bisa ditinggal. Kamu lagi apa? Papa lagi nunggu Thari les violin." "Di sanggar. Kok bukan Mama yang jemput? Minggu depan Thari tampil ya?" "Mama di rumah, kebetulan Papa lagi deket sini jadi sekalian. Iya, dia jadi pembuka perayaan Paskah. Udah dulu ya, Thari udah kelar. Bye Ganesh." "Bye, Pa." > > > #Almeira Aku tahu, Daka kalau tiba-tiba nongol gini pasti ada maunya. "Ai, tolongin gue ya," kata Daka dengan nada bicara lembut kayak gulali. Sudah kuduga kan, dia pasti ada maunya. "Apa?" "Gue ada tugas bikin makalah tentang pahlawan revolusi. Lo kan suka sejarah, pasti jadi tugas yang mudah kan buat elo." "Nggak ada, nggak ada. Lo ke lubang buaya sono kalo mau dapat informasi tentang pahlawan revolusi." "Ayolah Ai, please." Daka mulai memohon. Dia mulai menunjukkan wajah memelasnya yang bukannya bikin aku iba malah pengin getok kepala dia pakek gelas. "Nggak ada yang gratis." Aku pengin ngerjain dia sebenarnya. Daka meletakkan ponselnya di atas meja kantin, lalu menggesernya ke depanku. "Nggak mau. Lo pasti mau minta yang seri terbaru kan sama bokap lo?" Daka nyengir sambil garuk-garuk kepalanya. Rambutnya jadi berantakan. Membuat tanganku gemas untuk semakin mengacak rambutnya. Daka tersenyum seperti anak kecil baru dikasih permen segepok. "Macbook lo mana?" "Yaaah, jangan itu dong, Ai!" "Notebook gue dipakek Arsen. Gimana mau ngerjain tugas lo coba?" "Iya deh, iya. Nanti ya. Tapi deal nih mau ngerjain tugas gue?" "Iya, tapi Cadbury tiap hari tiga ya, yang oreo," ujarku sambil menyeringai puas. Daka memutar bola matanya. "Berapa hari?" tanyanya malas. "Sampe gue bosen." "Lo mana ada bosennya sama cokelat. Sepabrik juga sanggup buat lo abisin." Aku tertawa penuh kemenangan. Sherine berjalan sok manis menuju ke mejaku. Dia pasti pengin menggoda Daka. Aku menatap malas saat dia mulai bersikap sok kenal dan sok dekat seperti itu. Dia itu teman SMP aku dan Daka. Tapi aku nggak pernah suka sama cewek agresif kayak dia. Daka apalagi. Alergi banget sama Sherine. Aku tuh orangnya nggak terlalu menutup diri banget dari dunia luar, aku juga suka bersosialisasi, berteman baik dengan banyak orang, tapi katakan nggak kalau harus menghadapi cewek licik kayak Sherine. Aku sudah muak dengan gayanya yang sok manis. Kebanyakan Gimmick. Aku masih ingat bagaimana jahatnya cara dia menikungku saat pemilihan ketua OSIS waktu SMP. Aku juga ingat bagaimana dia yang jahatnya mengalahkan nenek sihir, bisa tiba-tiba menjadi sosok bidadari bersayap putih saat tahu aku sahabat baik Daka. Hidupnya ya gitu itu penuh pencitraan. "Kamu jadi ikut ekskul apa, Al?" tanyanya dengan mimik sok kalem. Karena Daka ada di sampingku saat ini. Cowok yang katanya most wanted saat di SMP, sering membuat histeris anak-anak cewek lain di kelasku, yang buat aku biasa saja. Daka ya Daka. Nggak ada spesial-spesialnya. Aku mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Sherine. Daka sudah menghilang dengan gengnya. Yeah, dia selalu begitu dari dulu. Waktu butuh saja dia mencari-cariku. Salah satunya kayak tadi itu, mengerjakan tugas sekolahnya. Jika urusannya sudah selesai, maka dia akan melesat bersama komunitas elitenya. Meski aku dan Daka bersahabat dari orok, tapi aku dan dia kadang juga punya dunia masing-masing. Daka sih khususnya. Daka tipe anak yang mudah bergaul. Temannya banyak, entah itu cowok maupun cewek. Rata-rata mereka semua berasal dari kalangan menengah ke atas. Aku menyebut semua teman-teman Daka adalah komunitas elite. Mereka semua sudah diberi izin mengendarai kendaraan bermotor sejak masih duduk di bangku SMP. Padahal nggak satupun dari mereka yang punya SIM, termasuk Daka itu. Kalau aku jangan ditanya, Ayah sudah membuat warning segede billboard di atas jalan raya yang bunyinya, sebelum punya SIM nggak boleh bawa motor apalagi mobil sendiri. Tapi tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu, aku sudah lihai mengendarai motor sejak kelas delapan. Dan sudah mahir mengendarai mobil sejak tamat SMP. Tentunya berkat sahabatku, Daka. Kadang aku iri dengan Daka, dia mendapat segala fasilitas kemewahan dari Papanya. Sedangkan aku? Uang saku saja dijatah. Kalau habis sebelum waktunya, ya nggak bisa jajan semaunya sampai waktunya jatah saku itu turun. Aku pernah protes soal ini kepada Ayah. Tapi jawaban Ayah sederhana, "syukuri apa yang ada." Ayah memang nggak pernah marah sama aku, tapi kalau untuk urusan peraturan yang dibuatnya, harus putar otak untuk melanggar peraturan itu. Sherine dan gengnya masih berisik mencari perhatian dari Daka. Begonya aku masih bertahan di sini. Yeah, aku sedang malas untuk kembali ke kelas. Bunyi pesan singkat dari ponselku membuatku punya cara untuk nggak menghiraukan Sherine dan gengnya. Nesh: jadi ikut ekskul apa? Me: blm tau. Lo kpn blk ke jkt sih?betah amat di bali? Nesh: betahlah. Tanah kelahiran. Me: yeah... Gue kesepian. Nesh: kan ada Daka Me: Send a picture Aku mengirimkan foto Daka sedang tertawa bersama komunitas elitenya. Nesh: sekali2 gabung Me: Sebenarnya Daka sudah berulang kali ingin memperkenalkan dan mengajakku bergabung dengan komunitasnya itu. Tapi berulang kali juga aku menolaknya. Kurang nyaman saja bergaul dengan mereka. Aku lebih nyaman jika bersama Daka saja, juga Ganesha. Dia sahabat masa kecilku yang lain. Cowok cerdas, pendiam tapi baik hati. Dia yang selalu membantuku membuat PR, menemani aku belajar untuk menghadapi ujian, dan banyak hal lain yang sudah dia lakukan untukku. "Nanti pulangnya bareng nggak, Ai?" tanya Daka saat aku hendak beranjak dari kantin. "Dijemput Ibu," jawabku singkat, lalu melanjutkan langkah meninggalkan kantin yang masih ramai. (*) Ketika bel pulang yang bunyinya seperti sirine kebakaran itu berbunyi, seluruh murid seketika berhamburan keluar kelas. Aku tidak lantas ikut keluar. Aku masih terdiam menatap formulir pendaftaran kegiatan ekstrakulikuler yang harus diserahkan besok pagi pada wali kelas. Sudah seminggu ini aku masih belum menentukan akan mengikuti ekstrakulikuler apa. Daka sudah mantap ikut basket. Sedangkan aku? Oh nooo..... "Kusut amat anak Ibu?" tanya Ibu melihatku masuk mobil tanpa senyum. "Capek. Tadi jam terakhir pelajarannya bikin boring," kilahku. Ibu mengangguk paham lalu mulai menyalakan mesin mobil. "Ibu langsung kembali ke butik ya setelah nganter Aira. Nggak apa-apa ya?" Aku tak menjawab. Memilih memalingkan wajah menatap jalanan di samping kiriku. "Ai, kok nggak dijawab pertanyaan Ibu?" "Mau jawab apa, Bu? Kalo Ai bilang nggak boleh apa Ibu akan nurutin? Nggak kan? Ya udah mending Ai diam," jawabku kesal. Ibu tak melanjutkan perdebatan ini lagi. Aku dan Ibu memang sering nggak sepaham seperti ini. Entah sejak kapan. Padahal dulu kami sering menghabiskan waktu bersama dan selalu cocok dalam segala hal. Ibuku ini wanita super sibuk yang kesibukannya ngalah-ngalahin wanita kantoran sekalipun. "Pokoknya Ai mau ikut ekskul pecinta alam ya," ujarku akhirnya, setelah melewati setengah perjalanan kami. "Ibu bilang jangan ya jangan. Yang lain aja. Jangan yang bahaya-bahaya. Yang lebih cewek gitu." Itulah Ibu, selain sibuk juga tukang ngatur. Nggak suka. Aku mendengus kesal dan benar-benar nggak berniat lagi mengajak Ibu bicara. Menjadi cewek itu memang ruang geraknya sempit. Bayangkan saja, mau ikut ekstrakulikuler panjat tebing nggak boleh, karate nggak boleh, pecinta alam apalagi. Kata Ibu aku harus ambil ekskul yang nggak bahaya-bahaya banget, seperti karya ilmiah remaja, paduan suara, renang, drama, semacam itulah. Hah... sebel. Ibu terlalu worry sih. Apa-apa selalu bilang "Ai itu perempuan." Dan Ayah akan selalu bilang "yang dibilang Ibu benar". Oke, apa yang dikatakan oleh Ibu akan selalu benar di mata Ayah. Biar saja lah. Bagaimanapun juga aku wajib ikut kegiatan ekstrakulikuler. Aku sudah memutuskan untuk ikut ekstrakulikuler pecinta alam. Aku sudah terlanjur cinta mati sama alam beserta isinya. Sudah menjadi tekadku untuk mendaki gunung-gunung di Indonesia. Dan Almeira akan selalu punya cara untuk melanggar segala peraturan yang ada di rumah. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD