Feelings 3

1432 Words
#Danendra Gue Danendra. Biasa dipanggil Daka sama orang-orang yang kenal dekat dengan gue. Kadang dipanggil Kaka sama Aira--sahabat kecil gue--kalau itu cewek lagi ada maunya. Gue kasih tahu satu hal, nih, mending lo sahabatan sama yang sejenis, deh, daripada dengan lawan jenis kayak gue yang udah terlanjur basah, ya sudah mandi sekali. Di sini bagian nggak enaknya punya sahabat cewek. Ruwet kuadrat. Belum lagi kalau jadwal bulanannya datang. Gue tuh, pernah dikerjain abis-abisan sama Aira, disuruh beli pembalut, dan harus balik lagi ke minimarketnya karena pembalut yang gue beli nggak sesuai dengan yang biasa dia pakai. Kalau nggak diturutin, dia selalu ngancam nggak mau ngerjain PR sekolah gue. Dan gue lemah kalau sudah dapat ancaman itu. Sampai di sini sudah kebayang kan, di mana ribetnya sahabatan dengan lawan jenis? Jumat sore gini seharusnya gue udah bisa nongkrong bareng untuk nonton acara musik bareng temen gue yang lain. Nyatanya saat ini gue terjebak di sekolah nemenin sang puteri latihan wall climbing. Masih mending kalau dia ikut ekskul yang kecewek-cewekan gitu. Kan enak gue nggak boring-boring banget, bisa cuci mata. Nah ini, isinya 90 persen makhluk sejenjis gue. Sepet banget ini mata. Aira itu perempuan tulen, tapi hobi dan ekstra kurikuler pilihannya anti mainstream.  "Ai, masih lama nggak? Laper, elah," seru gue dari bawah papan panjat yang sedang dipanjat oleh Aira. Aira turun dari wall, lalu datang ke arah gue yang sudah ganti posisi duduk seratus tiga kali selama hampir dua jam di sini. Oke, katakan gue berlebihan. Tapi kenyataannya gue benar-benar bosan berada di tempat seperti ini.  "Tanggung, Ka. Sekalian sampe maghrib aja. Trus jemput Ganesh di bandara!" jawab Aira sambil tersenyum sok imut. Jawaban itu nggak bisa diganggu gugat. "Gue mo pingsan tuan puteri..." rengek gue. Aira melempar muka gue dengan handuk kecil yang sudah basah bekas keringatnya. Iyuuh... "Lebay lo! Udah abis bakso tiga mangkok juga!" Aira mendamprat gue lalu kembali merayap di wall climbing. Me: tekanan batin gue nggak ada elo. Nesh: sabar! Ini cobaan. Me: monyet lo. Sampe mana? Nesh: baru mau take off Me: anjiiir.tadi katanya sebelum maghrib udah sampe jkt???? Nesh: sini, kamu aja yang jadi pilotnya Me: wedus! Nesh: gembel! Percuma gue curhat sama Ganesha kalau sudah menyangkut Aira. Cuma dia yang sabar menghadapi Aira. Gue nggak setegar dia. Gue bersyukur banget. Nggak lama setelahnya, adzan maghrib berkumandang. Otomatis membuat Aira menghentikan kegiatan latihannya. "Elo pamit apa sama Ayah lo?" tanya gue heran, ini anak kenapa santai banget pulang maghrib, kayak nggak ada yang nyariin.. "Gue bilang nemenin lo latihan basket." Asli gue hampir keselek permen karet yang sedang gue kunyah-kunyah, mendengar jawaban Aira. "Anjriiit... gue mulu lo tumbalin, Ai!" kesal gue.  "Siapa lagi? Lo kan sahabat gue," jawab Aira tak acuh. Dia nggak menghiraukan lagi protes gue. Kedua tangannya sibuk mengacak ransel warna biru favoritnya. Entah mencari apa. "Gue mandi dulu ya trus maghriban. Tante Kia pesen, kalau lo nggak solat, gue disuruh nyita ponsel lo," ujarnya cuek langsung meninggalkan gue. Gue lihat Aira sudah masuk masjid sekolah. Gue turut menyusul, daripada dia melakukan seperti hal yang dipesankan nyokap gue. Tiga hari yang lalu, nyokap udah menyita ponsel gue, gara-gara Aira bikin laporan nggak menyenangkan sama nyokap gue. Aira itu ya, sumpah, seenaknya banget. Dia bisa setega itu sama gue, tapi giliran gue yang nyoba tega sama dia, dia selalu bilang "lo tega sama makhluk seimut gue, Ka? Gue ini cuma cewek lemah tak berdaya, masa iya mau lo jahatin juga?" Ke laut aja deh gue, mending temenan sama plankton kalau gini mulu hidup gue. Daripada temenan sama satu tega. Saat kaki gue mau melangkah memasuki masjid sekolah, langkah gue berhenti. Sekelompok cewek yang nggak pernah gue tahu anak kelas berapa dan ikut ekskul apa masuk masjid lewat pintu sebelah utara, seberang pintu yang sedang berada di depan gue. Masjid ini dikelilingi kaca bening, otomatis membuat pandangan gue bisa tembus ke segala arah. Kebetulan juga pembatas yang biasa digunakan kalau solat jamaah, nggak terpasang seluruhnya. Adem aja mata gue lihat cewek-cewek pakai mukenah gitu. Anak rohis kali ya? "Woyyy, Danendra? Ngeliatin apa lo? Buru solat, telat kita nanti!" Aira memukul lengan gue tanpa ampun, yang otomatis menyentuh kulit tangan gue. "Astaga ... Gue udah wudhu, Ai!" "Wudhu lagi sana! Salah lo ngelamun maghrib-maghrib! Kesambet tau rasa." Aira meninggalkan gue. Terpaksa gue balik lagi ke tempat wudhu. Pas gue balik mata gue berputar mencari gerombolan cewek tadi. Pencarian gue nggak berhasil. Dari pada gue kena damprat Aira lagi, mending gue buruan solat dan segera mengakhiri penderitaan ini. By the way, selama beberapa bulan gue sekolah di sini, jarang banget merhatiin cewek yang solat di masjid sekolah, selain Aira. Ternyata ada juga yang bening-bening di sini. Lagian gue juga memang jarang banget nongkrongin masjid sekolah, kecuali kalau sudah diseret Aira. (***) Pandangan gue langsung tertuju pada cowok berkacamata minus yang sedang menarik travel bag. Aira langsung berlarian norak dan menghambur ke pelukan Ganesha. Gue mengikuti dengan malas. "Kangen," ujar Aira manja. Ganesha menyentil kening Aira pelan. Membuat Aira pura-pura cemberut. Ganesha beralih ke gue. Seperti biasa kalau baru ketemu dia selalu menyalami dan memeluk gue. "Kamu jaga Aira dengan baik?" tanya Ganesha. "Ada lecet nggak? Cek aja, gan," jawab gue malas. Aira menarik lengan Ganesha lalu mengajaknya untuk melanjutkan langkah, nggak memedulikan gue sama sekali. k*****t. "Nesh, lo nginap rumah gue ato Daka?" "Apaan banget sih lo, Ai. Di rumah gue lah. Kita dong udah janjian nobar bola. Final, brooo," kata gue penuh semangat. Aira mendengus kesal. "Nonton di rumah gue bisa kali?" Protes Aira. "Nggak bisa lah. Nggak seru!" jawab gue lalu mendapat cibiran dari Aira. Ganesha cuma bisa tertawa kecil melihat perdebatan antara gue dan Aira. "Nanti kalau rumah kreatif udah terurus pasti nginap rumah kamu," jawab Ganesha datar. Gue ketawain aja. "Yasssh," ucap gue penuh kemenangan. "Lo kalau udah ngurusin rumah kreatif mendadak kayak orang hilang," setdah, Aira masih usaha ngerayu Ganesha. "Drama!" jawab Ganesha sambil menyentil kening Aira. Gue kadang heran, Ganesha ini pakai obat apa sih bisa kuat gitu ngadepin Aira dengan segala sifatnya yang ajaib. Cuma Ganesha yang bisa ngeluluhin kerasnya seorang Aira. (***) Setelah mengantar Aira pulang, gue langsung tancap gas menuju rumah. Sampai rumah, kondisinya dalam keadaan sepi. Cuma ada pembantu rumah tangga di rumah ini. "Papa Mama mana, Bik?" "Keluar, Mas. Abis maghrib tadi. Mas Daka mau makan?" "Boleh, deh. Tolong siapin buat Ganes juga ya, Bik.”  (***) "Lo ngapain aja, sih, di Bali? Sampai lama banget." Saat ini gue dan Ganesha sudah berada di kamar gue. "Ngurusin sanggarnya Bapak," jawab Ganesha singkat. Bapak itu sebutan dari Ganesha.untuk kakek dari pihak ibunya.  "Aira ngumpanin gue lagi masa. Gue disuruh pura-pura ikutan PA biar dia diijinin ikut PA sama ortunya. PEAK emang itu cewek. Gedeg gue lama-lama." "Iya dia sudah cerita,” jawab Ganesha singkat. "Trus ya, di tempat ekskulnya, tuh, nggak ada cewek-ceweknya masa. Kan boring, Sob,” lanjut gue penuh semangat mencurahkan kekesalan gue soal Aira pada Ganesha.  "Kapok!" "Anjir-lah Ganesha. Gue udah curhat panjang-panjang, lo jawabnya cuma singkat-singkat doang. Sariawan lo, Sob?" Ganesha malah tertawa mendengar omelan gue. "Mesti gimana dong? Aira kan memang gitu. Mending diturutin saja, cari aman." "Untung dia sahabat gue." "Dia sering bantu kamu, kamu juga sering ngerjain dia. Jangan lupa soal itu,” jawab Ganesha bijak. Gue nggak akan pernah lupa soal itu. Aira memang selalu membela gue waktu kami masih sama-sama di sekolah dasar. Aira itu tipe cewek pemberani. Nggak ada yang nekat ganggu gue kalau sedang bareng Aira. Selain itu dia juga jago karate. Sudah ikutan karate sejak kelas tiga SD. Pas kelas tujuh dia sudah sabuk coklat. Mau ambil sabuk hitam nggak dibolehin sama Ayahnya, karena harus menginap di pantai Anyer tiga hari tiga malam untuk memperdalam ilmu karatenya. Gue ingat banget dia nggak mau pulang ke rumahnya selama seminggu gara-gara itu. Benar juga kata Ganesha, gue juga sering ngerjain Aira. Waktu SD sampai SMP, bahkan sampai sekarang, Aira yang ngerjain tugas-tugas sekolah gue, dibantu Ganesha juga sih. Jangan tanya gue ke mana. Ngelayap lah. Ponsel gue berdering nyaring. Ringtone khusus untuk panggilan dari kontak Aira. Dia sendiri yang memilih ringtone khusus itu dan mengganti nama kontaknya dengan nama AiraImoetnanLutchu. Suka-suka elo deh Almeira. Gue menyerahkan ponsel yang masih berdering pada Ganesha. Biar dia saja yang menerima video call tuan puteri dari Kemang itu. "Gue mau mandi dulu. Kalau Aira ngomel Daka kok lama, bilang aja gue mandinya di planet Pluto." Ganesha terbahak mendengar titah gue. Gue segera meluncur ke kamar mandi. Karena Ganesha bisa menjadi menyebalkan juga kalau gue nggak beneran mandi--cuma cari alasan aja karena nggak mau menjawab panggilan telepon dari Aira. Dan dia akan menjadi raja tega menyampaikan soal itu pada Aira.  --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD