Are you ready?

845 Words
Pertemuan kami untuk pertama kalinya tidak begitu dramatis seperti telenovela atau yang tertulis dalam n****+ kisah cinta remaja. Hanya pertemuan biasa setelah satu pekan aku menghabiskan selebaran tak berguna dibeberapa tempat yang kupikir mencolok bagi siapa saja untuk melihat dan membutuhkan pekerjaan remeh dengan bayaran kecil yang bisa aku janjikan. Dan selama jangka waktu itu pula aku bertemu dengan banyak macam orang yang dengan cepat kutolak karena tidak sesuai dengan image yang aku inginkan. Terlebih kebanyakan dari mereka hanya berpikir untuk menjamah tubuhku. laki-laki b******k. Tentu saja aku tidak perlu lagi memikirkan hal yang sudah pasti tersebut. “Kau Zelda? Benar?” tanya seseorang yang entah sejak kapan telah berdiri disana. Dengan senyum yang menawan tapi bagiku lebih nampak bodoh sebetulnya. “Ya..” Itu adalah kali pertama aku melihatnya, pria dengan tubuhnya yang jangkung dan berisi dengan otot bisepnya yang menggoda dari balik kaos yang dikenakannya. Berdiri begitu saja didepan pintu studioku setelah aku mengusir beberapa orang yang kutolak. Aku cukup lelah untuk menanggapi yang satu ini lagi. Tapi kubiarkan dia berkelakar terlebih dahulu sebelum aku tiba dalam putusan yes or no. “Selebaran ini kau yang buat kan?” pria itu memperlihatkan selebaran yang membawanya kemari. “Benar,” sahutku, aku tidak melihatnya dengan serius. Aku lebih tertarik untuk pulang lebih awal kerumah dan mandi air hangat untuk mengenyahkan rasa lelah yang aku rasakan. “Aku berminat jadi modelmu,” tuturnya santai. Seolah aku adalah orang yang mudah menerima siapa saja untuk bisa masuk dalam teritorialku. “…” kali ini aku menatapnya penuh. Kuberikan dia atensi yang berlebihan sekali lagi. Aku mengamatinya dari ujung kepala hingga ke kaki. Tubuhnya atletis seperti apa yang aku butuhkan, berambut hitam dikuncir kebelakang dengan telinga tertindik di hiasi anting yang menjuntai berbentuk salib. Aku tidak pernah melihat pria model seperti ini di kampus. Tidak buruk, meski tidak sempurna. “Ah, perkenalkan Adrien. Seorang pengangguran yang tidak sengaja menemukan selebaran ini,” akunya seperti mengerti apa yang ada dalam pikiranku dengan tepat. “Apa kau baca selebarannya dengan benar? Seperti yang tertulis disana aku butuh model yang bersedia untuk telanjang,” kataku dengan tegas. Sorot mataku tajam padanya, tapi dia malah tersenyum penuh arti sebagai gantinya. “Sudah. Apa aku tidak memenuhi kualifikasi yang kau inginkan? Padahal aku cukup percaya diri loh, jika kubuka kaos ini kau pasti akan mengerti seseksi apa aku ini,” katanya dan bahkan dengan berani dia hendak membuka atasannya dengan santai. Membuatku hampir terhenyak, namun untungnya aku bisa mengolah ekspresi wajahku dengan sangat baik. “Tidak perlu,” kataku mengehentikan aktivitasnya yang hendak buka baju didepanku. Pria itu menurut, meski raut wajahnya sedikit kecewa. Kubiarkan seperti itu. “Lalu bagaimana?” “Punya Tato?” tanyaku tanpa sedikitpun melepaskan pandangan darinya. Sedikit berjalan mengelilingi tubuhnya memastikan sesuatu. “Kurasa ada,” “Tindik?” “Disini di telinga,” katanya menunjuk bagian yang jelas terlihat oleh mataku tersebut. “Bekas suntikan?” “Aku bukan pria tersesat yang yang menggunakan narkoba,” “Bekas luka?” “Hmm.. kurasa ada beberapa, tapi aku tidak begitu ingat dimana letak pastinya,” “…” “Tidak sesuai harapanmu ya?” tanya pria itu lagi, kali ini dia dengan berani berjalan maju dan memperhatikan salah satu lukisan hasil buah karyaku di studio ini. Karya pasca diriku dihina terang terangan oleh Nesrin. “Tidak juga. Aku ingin menggambarmu,” putusku cepat. Lalu kali ini aku mengambil kursi terdekat dan duduk bersilang sebelah kaki didepannya. Berlagak layaknya bos yang akan memerintah bawahan. “Tapi aku tidak mampu membayarmu dengan bayaran yang mahal,” “Oke, berapa banyak lukisan yang kau rencanakan dari menggambar diriku ini?” “… Belum dapat dipastikan. Intinya sampai aku rasa telah menemukan kembali apa yang hilang dari diriku,” “Kalau begitu, aku minta lukisan yang sudah jadi nanti,” “Sebagai bayarannya?” “Ya. Aku mau lukisan yang kau anggap paling bagus. Uangnya tidak perlu. Bagaimana? Bukan penawaran yang buruk bukan?” “… Tentu, tapi aku akan melukismu disini, di studio pribadiku. Keberatan?” “Tidak sama sekali,” “Satu lagi..” “Ya?” “Hanya melukis. Tidak ada seks. Setuju?” “Ah.. itu, oke aku setuju Nona Manis,” Aku kemudian mempersiapkan alat lukis yang sempat akan aku bereskan dan kembali menatanya. Pria itu memperhatikanku dalam diam saat aku melakukannya. Menatapku dengan sangat perhatian seolah aku adalah sesuatu yang cukup menarik untuk dipandangi. Ketika aku selesai dengan urusanku, hal terakhir yang aku lakukan adalah menutup pintu yang dibuka lebar-lebar oleh Adrien beberapa saat lalu. “Kau bisa buka pakaianmu sekarang,” Pria itu melirik seluruh ruangan sebelum paham apa yang aku katakan. Dia tersenyum sekilas sebelum akhirnya melakukan pintaku dengan patuh. Di tidak punya pilihan lain karena kata setuju telah meluncur dari bibirnya beberapa saat yang lalu. Pria itu mulai bekerja melucuti pakaiannya satu persatu dan meletakannya diatas meja didepan satu satunya sofa yang ada. Saat aku siap dalam mode melukisku sosok pria tanpa atasan dan telah bertelanjang d**a telah beridir didepanku. Siap untuk menjadi model yang aku butuhkan. “Kau sudah siap?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD