Pingsan

1671 Words
Bhara terpaksa mengorbankan harga dirinya. Demi eyang tercinta, ia rela memohon kepada Abimana agar di izinkan membawa Ayra ke rumah sakit. Tapi sayang, ia hanya bisa memohon di depan gerbang rumah besar itu, karena Abimana tidak mengizinkannya masuk, apalagi menemuinya. "Apa kita tidak keterlaluan, Ibu?" tanya Abimana sambil memijit punggung Ibunya dengan lembut. "Biarkan saja, Nak. Lelaki seperti Bhara harus di beri pelajaran sekali-kali. Jika bukan karena eyang masuk ke rumah sakit, ia tidak akan pernah mencari keberadaan Ayra," sahut Nyonya Farah. Abimana menarik nafas pelan. Dirinya memang sangat membenci Bhara, terutama sikap buruk dan sombong pria itu, namun sisi kemanusiaanya membuat ia tidak tega melihat Bhara yang terus berdiri di depan gerbang sejak pagi. "Bawa Ayra pergi lewat pintu belakang, biarkan pria itu menerima hukumannya hari ini," ujar Nyonya Farah tersenyum lembut ke arah putranya. Abimana mengangguk, lalu bergegas menuju lantai atas di mana Ayra sedang beristirahat di dalam kamarnya. "Sudah siap?" tanya Abimana menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Ayra menoleh ke belakang lalu tersenyum sembari mengangguk pelan. Wanita itu lantas bangkit dari duduknya lalu menghampiri Abimana yang berdiri menatapnya di ambang pintu. "Ayo kita berangkat," ajak Ayra sambil melingkarkan tangannya di lengan kekar Abimana. "Masya Allah, begini saja kamu cantik sekali," puji Abimana menatap kagum wanita di sampingnya. Ayra memang memiliki kecantikan alami, wajahnya cantik sempurna meskipun tanpa polesan make up. "Aku akan selalu cantik di mata Mas Abi, iya bukan?" sahut Ayra membuat Abimana langsung terkekeh. "Seandainya saja ...." Abimana menjeda kalimatnya dengan tatapan menerawang. "Jangan mulai," sahut Ayra mencubit pinggang Abimana dengan gemas. Abimana mengaduh kesakitan, lalu cepat-cepat merangkul pundak Ayra agar wanita itu tidak semakin merajuk kepadanya. Tanpa sepengetahuan Bhara, mereka keluar rumah lewat pintu belakang. Di sana, supir pribadi Abimana sudah menunggu dengan mobil pribadinya. *** Bhara melangkah dengan gontai memasuki rumah sakit. Wajahnya terlihat kacau, ia merasa tidak berguna karena gagal membawa Ayra bersamanya. "Apa yang harus aku katakan kepada eyang? Aku tidak mungkin berbohong lagi dengan mengatakan jika Ayra sedang sakit," gumam Bhara mengacak rambutnya frustasi. Penyakit jantung eyangnya kembali kambuh, dan kondisi kesehatannya semakin menurun. Wanita sepuh itu terus menanyakan keberadaan Ayra dan meminta Bhara agar membawanya ke rumah sakit. "Jika aku berterus terang, kondisi eyang pasti akan semakin parah, tapi jika aku kembali berbohong, masalahnya akan bertambah rumit," batin Bhara di liputi kebingungan. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Bhara memutuskan untuk berterus terang dan mengakui kesalahnya di hadapan eyang Candrawati. Langkahnya mantap menuju ruang perawatan VVIP, di mana eyangnya di rawat. "Benarkah? Jadi Bhara membawamu ke apartementnya malam itu?" "Iya, Eyang. Mas Bhara membawaku ke apartementnya, dan dia memperlakukan aku dengan sangat baik." Bhara mengurungkan niatnya melangkah masuk, saat ia mendengar suara seseorang sedang berbicara dengan eyangnya. "Ayra? Mengapa ia bisa ada di sini?" batin Bhara dengan perasaan heran. "Lalu ... apa kalian sudah menghabiskan malam bersama?" tanya Eyang Candrawati menatap dalam cucu menantunya. "Mas Bhara itu laki-laki baik, Eyang, mana mungkin dia tega mengajakku menghabiskan malam pertama saat tau jika aku sedang tidak enak badan." Bhara terhenyak, ia benar-benar terkejut dan tidak habis pikir, mengapa Ayra justru melindunginya. Rasa bersalah mulai menghampiri hatinya, saat membayangkan perlakuan buruknya kepada Ayra malam itu. "Mengapa kau melakukan ini? Apa tujuanmu sebenarnya? Apa kau sengaja memanfaatkan kebaikan eyang untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan?" Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Bhara, hingga prasangka buruk pun muncul di benaknya. "Sekarang Eyang minum obatnya dulu ya." "Apa kau akan meninggalkan Eyang setelah itu?" tanya Eyang Candrawati dengan raut wajah sedih. Ayra tersenyum, lalu menggeleng samar. "Aku akan tetap di sini, menemani Eyang, sampai Eyang tertidur," ucap Ayra dengan lembut, lalu menggenggam tangan Eyang Candrawati dengan erat. "Baiklah, kau boleh pergi jika aku sudah tertidur. Tapi kau harus kembali ke sini jika Eyang sudah harus minum obat lagi. Eyang akan meminta Bhara agar mengantarmu tepat waktu," ujar Eyang Candrawati. Ayra kembali tersenyum, hanya tersenyum. Tidak ada jawaban yang ia berikan kepada wanita tua itu, walaupun hanya sekedar anggukan kepala. Setelah Eyang Candrawati tertidur, Ayra pelan-pelan bangkit dari duduknya. Sebelum pergi, wanita itu mendaratkan sebuah ciuman lembut di kening keriput wanita tua, yang begitu menyayanginya itu. Dan hal itu tidak luput dari perhatian Bhara yang sejak tadi mengintip dari balik pintu. Pria itu lalu buru-buru keluar dan berdiri di dekat pintu. "Jangan kau kira aku akan terharu dan termakan oleh tipu muslihatmu!" Baru saja keluar dari pintu, Ayra sudah di sambut oleh ucapan menyakitkan dari mulut Bhara. Ayra menoleh, wajah pucat itu bersitatap dengan wajah tampan yang tersenyum sinis ke arahnya. Tidak ingin membuang-buang tenaganya, Ayra lebih memilih mengabaikan perkataan Bhara lalu melangkah pergi dari tempat itu. "Aku sedang berbicara kepadamu, apa kau tidak mendengarnya?" Bhara mencekal lengan Ayra dengan kuat, memaksa wanita itu agar menghadap ke arahnya. Pandangan mereka kembali bertemu. Mata bulat Ayra beradu dengan mata elang Bhara yang berkilat laksana ujung belati. "Jika kau belum selesai berbicara, silahkan lanjutkan lagi, aku akan mendengarkan," ujar Ayra lalu menyentakkan cekalan tangan Bhara yang terasa menyakitkan. Bhara berdecih kesal serayak membuang pandangannnya ke sudut ke lain. "Wanita ini benar-benar tangguh! Sepertinya akan sangat menarik jik aku sedikit bermain-main dengannya," gumam Bhara dalam hati. "Aku mendengar semuanya, lalu apa kau pikir aku akan berterima kasih dan bersimpati kepadamu?" ujar Bhara dengan nada ketus. Ayra menghela nafas dalam, rasa sakit di kepalanya semakin bertambah sakit saat mendengar ucapan pria di depannya. "Kau tidak perlu berterima kasih kepadaku, karna aku tidak melakukannya untukmu, Tuan Bharata Yudha!" "Lalu kau pikir, aku tidak tau dengan maksud dan tujuanmu mendekati eyang selama ini?" tukas Bhara dengan sengit. Ayra bergeming, namun detik berikutnya segaris senyum terukir di sudut bibir wanita itu. "Baguslah jika kau sudah mengetahui maksud dan tujuanku selama ini, jadi aku tidak perlu berpura-pura lagi. Karna kau sudah mengetahuinya, jadi aku sarankan agar kau menyiapkan langkah supaya aku tidak bisa mencapai maksud dan tujuanku," ucap Ayra datar. Wanita itu lantas menepuk-nepuk bahu Bhara pelan, seolah sedang membersihkan kotoran debu yang menempel. Ayra tersenyum miring, sebelum akhirnya melangkah pergi dari hadapan pria tersebut. Bara masih bergeming di tempatnya dengan kedua tangan mengepal kuat. Ia kembali kalah telak dari Ayra, wanita yang ia kira lemah dan mudah di intimidasi. "Sh*t! Benar-benar wanita menyebalkan!" umpat Bhara kasar, lalu melayangkan tinjunya ke udara melampiaskan amarah di dalam dadanya. "Cepat panggil dokter! Ada yang pingsan di sini!" Suara keributan di lantai bawah mengalihkan emosi Bhara yang sedang membuncah. Pria itu memejamkan kedua matanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Akan tetapi keributan di lantai bawah semakin terdengar mengganggu pendengarannya. Merasa penasaran, pria itu lalu melangkah ke arah tangga. Dari tempatnya berdiri, ia masih tidak dapat melihat wajah orang yang pingsan dan sedang dikerumuni oleh beberapa pengunjung lainnya. Hanya saja, ia seperti tidak asing dengan pakaian orang tersebut. Bhara menyipitkan kedua matanya, mencoba mengingat di mana ia pernah melihatnya. "Ayra!" Entah mendapat bisikan dari mana, Bhara langsung berlari menuruni tangga. Kakinya yang panjang melangkah dengan cepat ke arah istrinya. "Jangan sentuh istriku!" seru Bhara saat melihat salah seorang pengunjung pria hendak membopong tubuh istrinya. "Bapak suaminya?" tanya pria tersebut menatap lekat ke arah Bhara. "Iya! Aku suaminya," sahut Bhara singkat, lalu bermaksud membopong tubuh Ayra. "Tunggu dulu! Apa Bapak bisa memberikan buktinya?" tanya pria tersebut menahan gerakan tangan Bhara Bhara mendengus kesal, pria itu lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, ia lalu menunjukkan foto pernikahannya dengan Ayra beberapa waktu yang lalu. "Apa sudah cukup?" tanya Bhara menatap tajam pria di hadapannya. Pria tersebut mengangguk, lalu mempersilahkan Bhara membawa Ayra. "Lho! Pak! UGD di sebelah sana!" teriak pria tersebut saat melihat Bhara justru membawa Ayra ke arah pintu keluar. "Aku akan mengobatinya di rumah!" sahut Bhara tanpa menoleh. *** Pria itu duduk di sofa dengan posisi kaki menyilang. Satu tangannya bertumpu di atas paha, dengan jari telunjuk yang terus bergerak memijit pelipisnya. Sejak tadi ia terus menatap wajah cantik milik Ayra, yang berbaring di atas tempat tidur kebesarannya. Wanita cantik itu masih setia memejamkan kedua mata, belum ada tanda-tanda ia akan terbangun, meskipun sudah tertidur berjam-jam lamanya. "Aku akan menahanmu di sini, selama eyang masih terbaring di rumah sakit. Kita lihat, seberapa tangguh dirimu, Ayra," gumam Bhara tersenyum penuh arti. Tidak lama kemudian, Ayra terlihat menggeliat kecil. Wanita itu perlahan membuka kedua matanya. Cahaya lampu yang menyilaukan, membuat wanita itu mengerjap-ngerjap kan kedua matanya berulang kali. Suasana kamar yang terasa asing, membuat wanita itu bertanya-tanya dimana ia berada saat ini. "Sepertinya kau sangat suka tidur di ranjangku!" Ayra langsung memutar leher, saat gendang telinganya mendengar suara seseorang yang begitu dikenalnya. Wajah wanita itu berubah lesu, kepalanya kembali berdenyut sakit, saat melihat sosok Bhara yang sedang berdiri di sampingnya. "Mengapa aku bisa ada di sini?" tanya Ayra datar. "Kau pingsan, makanya kau ada di sini," jawab Bhara semakin mendekat ke tempat tidur. "Lalu maksudmu, aku sendiri yang berjalan sampai kemari dalam keadaan pingsan?" tandas Ayra menatap tajam ke arah Bhara. Bhara terkekeh, pria itu lalu membungkuk, mengurung tubuh Ayra di antara kedua tangannya. "Apa yang kau lakukan!" Bola mata Ayra membulat sempurna, kedua tangannya mencengkram permukaan seprei sampai kusut, saat Bhara semakin mengikis jarak di antara mereka. Pasokan oksigen dalam tubuh Ayra seakan semakin menipis, saat arom vanilla menguar dari tubuh Bhara, menerobos masuk melalui indra penciumannya. "Istriku tiba-tiba saja pingsan di lobi rumah sakit, jadi aku membawanya pulang dan merawatnya dengan kedua tanganku sendiri. Bukankah aku suami yang baik, bukan?" ucap Bhara dengan suara berat. Tangannya perlahan bergerak, membelai wajah cantik Ayra dengan lembut. Dengan cepat wanita itu menepis tangan Bhara, tapi dengan mudahnya Bhara menangkap tangan Ayra lalu menguncinya ke atas. "Lepas!" desis Ayra sambil mencoba mendorong tubuh Bhara dengan satu tangannya yang masih bebas. Namun dengan cepat Bhara kembali menangkap tangannya dan kembali menguncinya ke atas. Bhara menyeringai kecil, membuat bulu kuduk Ayra berdiri seketika. Rasa cemas mulai menyelimuti benak Ayra, apalagi sejak tadi Bhara begitu intens menatap d4d4nya yang membusung ke atas. Ayra memejamkan matanya, saat pria itu kemudian merunduk, mendekatkan mulutnya ke telinga Ayra. "Dengar, aku akan berusaha menjadi suami yang baik untukmu, jadi mari kita bekerja sama dengan menjadi suami istri yang baik," bisik Bhara sambil melirik ke arah pintu. Dan begitu pintu di dorong seseorang dari luar ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD