Lelaki Itu

1931 Words
“Kiri, Bang! Kiri!” Gadis berambut panjang itu berteriak sambil mengetuk-ngetuk jendela angkutan biru itu membuat sang sopir menggelengkan kepala namun tak urung mengambil jalur ke kiri. Beberapa pengendara motor mencaci maki karena tingkah mobil yang seenaknya itu. Empat gadis turun dari mobil biru itu. Pertama, gadis berambut panjang yang berteriak tadi. Kedua, gadis berjilbab hijau dengan rok senada. Ia berjalan menyusul gadis berambut panjang yang kini sudah berteriak-teriak memanggil sang kondektur kopaja agar tak berangkat dulu. Ketiga, gadis berjilbab ungu dengan gamis senada yang melesat menyusul dua gadis di depannya yang sedang masuk ke dalam kopaja tujuan Kota Tua itu. Sementara gadis berkerudung merah dengan jeans ketat yang terakhir turun, masih nongkrong menunggu kembalian ongkosnya. “Mira! Buruan!” teriak gadis berjilbab ungu yang melambai-lambai ke arahnya. Gadis ber-jeans ketat tadi menoleh lalu mengangguk. Ia langsung merecoki sang sopir agar segera memberikan kembaliannya. Kemudian ia berlari-lari meninggalkan koin lima ratus rupiah yang terjatuh ketika hendak dimasukan ke dalam sakunya. Menggulir ke daratan hitam hingga masuk ke kolong-kolong mobil yang masih menepi di sekitar Terminal Lebak Bulus di pagi menjelang siang itu. Ia baru saja hendak naik, tapi bahunya menubruk sosok lain yang juga ingin naik. Ketika ia mendongak, sosok itu mundur sambil tersenyum tipis dan menyilahkannya masuk lebih dahulu. Ia terpaku sesaat tapi segera tersadar saat sang kondektur berteriak menyuruhnya masuk. Kakinya melangkah masuk. Matanya berkeliaran mencari tiga sosok temannya yang sudah duduk. Gadis berjilbab ungu tadi melambaikan tangan--menyuruhnya duduk di bangku kosong tepat di sampingnya. Ia berjalan cepat menuju bangku kosong itu. Saat duduk, kepalanya menoleh ke belakang. Mencari sosok lelaki ber-wajah teduh yang dijumpainya dipintu kopaja tadi. Lalu mengukir senyum tipis saat melihat sosok itu sudah tenggelam dalam bukunya di sudut kopaja. Ia menyandarkan punggungnya lalu tersenyum tipis. Rasanya seperti ada pelangi yang menyusup dihatinya. Menari-nari di dalam sana. Hingga mampu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Darahnya berdesir-desir. Dadanya memompa kencang. Memberi warna cerah dihatinya yang suram. Ia tak tahu apa namanya. Tapi ketika kepalanya menoleh sekali lagi, wajah teduh itu mampu menyihirnya. Walau tanpa balas menatapnya. Tapi mampu membuat-nya enggan berpaling. Membuatnya enggan menutup mata. Lalu bibirnya melengkung senyum lagi. Hari itu, hati mendendangkan lagu. Lagu indah menyejukan jiwa-jiwa yang baru jatuh cinta. Kopaja bergaris-garis tebal berwarna hijau itu meliuk-liuk melintasi jalanan Jakarta yang padat. Setiap ada lambaian tangan di sebelah kiri, ia langsung menepi. Tak perduli banyaknya kendaraan melintas. Tak perduli banyaknya pengendara yang mengeluarkan amarah. Tak perduli banyaknya jiwa yang terancam hilang. Beberapa kali mobil-mobil lain nyaris menyambar badannya. Beberapa kali motor-motor lain nyaris menyeruduk buntutnya. Tapi ia tak perduli. Bahkan keselamatan jiwanya pun, ia sudah tak perduli. Asap-asap hitam mengepul setiap kali sang pengemudi menginjak pedal gas. Meninggalkan makian orang-orang dibelakangnya. Beberapa terbatuk-batuk tak berkesudahan. Lainnya hanya menahan amarah di dalam hati masing-masing. Sudah biasa. Amarah hanya membuang tenaga. Lebih baik diam saja. Walau tahu hati memaki setiap detiknya. Bermenit-menit kemudian, kendaraan besar itu berhenti di tepi jalan. Melewati kopaja lain yang masih menepi di sana. Meneriakan empat gadis yang masih berdiri ditepi, agar segera masuk. Tak sabar, sang kondektur langsung menarik penumpang terakhir yang akan masuk. Kemudian berteriak pada sang sopir untuk segera tancap gas. Mengundang berang kopaja di belakangnya yang masih menepi. Kopaja itu berlari tunggang langgang disusul kopaja lain di belakangnya dengan rute yang sama. Saling berkejaran. Saling menikung kendaraan. Saling menyalip para pengendara lainnya. Membuat jantung-jantung di dalamnya ikut berkebat kebit kencang. Mengikuti irama laju kopaja yang tak kenal lamban. Beberapa ibu ber-istigfar. Beberapa ibu lainnya memaki-maki sang sopir. Penumpang yang berdiri semakin berpegangan erat. Sudah biasa. Ibarat nyawa melayang pun tiada harganya. Sesalnya baru akan datang ketika raga terkurung di dalam jeruji besi atau raga yang telah ditelan bumi yang dipijaki. Beberapa kali kendaraan besar itu nyaris menabrak kendaraan-kendaraan di depannya. Entah itu motor, mobil, bajaj atau pun bemo. Tapi ia tak perduli dan terus melaju kencang. Sang sopir menatap cemas spion petak di dekat jendela. Tangannya berkeringat dingin. Sesekali menyeka keringat didahi. Handuk kecil yang semula berwarna putih itu berubah keruh berbintik-bintik hitam. Menyisakan bau tak sedap. Campuran keringat dan asap kendaraan. Hingga muncul dua mobil kontainer yang masuk ke jalan dari sebelah kirinya. Menghadang lajunya. Membuat geraknya menjadi lamban. Tangannya meremas kasar setir tua itu. Kemudian makian keluar dari bibirnya. Membuat ibu-ibu di sampingnya mengusap d**a dengan pelan. Sudah biasa. “Pak! Kiri! Kiri!” Salah seorang penumpang wanita berteriak cemas. Ini sudah jauh dari tempat pemberhentiannya. Tapi kendaraan ini tak kunjung berhenti bahkan kecepatannya tak kunjung turun. Membuat penumpang lain tersulut emosi. Berteriak hal yang sama, menyuruh berhenti. Tapi tak digubrisnya. Bahkan sang kondektur malah mengajak negosiasi biar turun-nya nanti saja. Mana bisa begitu? Hak penumpang itu adalah sampai ditujuannya. Kewajiban mereka adalah membayar ongkosnya. Sedangkan hak sopir adalah mendapat bayar-an atas jasanya. Nah, kewajibannya adalah mengantarkan mereka sampai ke tujuan. Tapi ini? Hanya karena takut disusul kopaja lain, ia melaju saja. Sedangkan para penumpang lain yang mulai tak sabar, mulai tersulut emosi. Salah seorang pemuda langsung maju dengan berang dan menghajar sang kondektur. Emosi itu menular cepat. Mengalirkan amarah yang sama pada penumpang lain. Lalu ikut membantai sang kondektur. “Sabar, Bang! Sabar!” teriak salah seorang penumpang yang sedari tadi khusyuk dengan bukunya. Mira langsung menoleh ke belakang. Lelaki itu menyita perhatiannya. Ia satu-satunya laki-laki yang berani melerai sementara lelaki lain hanya duduk diam untuk menonton. Bahkan cenderung tak peduli. “Negara ini bukan negara anarkis! Ini negara demokrasi! Tak ada gunanya k*******n itu!” Lelaki itu berteriak lantang membuat semua mata tertuju padanya. Bahkan beberapa pemukul tadi ikut menoleh walau masih dengan emosi yang pekat. Tangan-tangan yang masih memegang kerah baju laki-laki berkulit hitam yang menjadi korban. Tangan-tangan yang masih melayang diudara hendak memukul si kulit hitam. Semuanya berhenti seketika. Bagai waktu yang dihentikan sementara. Semua mata menatap sosok pemuda kurus dan tinggi itu. Pemuda itu berdiri di dekat pintu belakang. Tangan kanannya memegang buku dengan erat. “k*******n itu hanya melahirkan keresahan. Tak dapat menyelesai-kan masalah namun malah memperkeruh masalah.” Pelan tapi pasti, tangan-tangan itu melepas lelaki hitam legam yang wajahnya sudah merah kebiru-biruan. Lelaki itu menghela nafas lega. Ia me-langkah pelan ingin menolong sang kondektur disaat yang lain malah tak peduli. Tapi beberapa detik kemudian terdengar suara histeris ibu-ibu diiringi suara jedar yang berasal dari jendela kopaja yang pecah. Wajah wanita paruh baya yang duduk paling dekat dengan jendela sebelah kanan itu bersimbah darah. Potongan kaca-kaca itu menghiasi pipi kanannya, tangan kanannya dan bahu kanannya. Sontak saja suasana semakin riuh. Semakin tegang. Semakin ketakutan. Beberapa penumpang panik. Beberapa penumpang bangkit. Kalau saja nyawa akan aman ketika melompat, sudah mereka lakukan sejak tadi. “Berhenti lo s****n!” teriak dari dua preman di luar sana sambil meng-acung-acungkan pisau. Kopaja lain yang sedari tadi membuntuti sudah menghimpitnya dari sebelah kanan. Tak kuasa lagi bergerak ke kanan apalagi ke kiri. Kendaraan besar itu benar-benar terjebak ditengah-tengah padatnya lalu lintas. “Berhenti, Pak. Berhenti.” Lelaki itu berteriak lantang tapi sang sopir mengotot tak mau. Ia sudah berdiri di dekat ibu-ibu yang bersimbah darah itu. Ingin membantunya dan membawanya ke rumah sakit. “Kalau benar tak perlu takut, Pak,” bujuknya. Ia tahu apa permasalahannya. Perebutan penumpang yang ujung-ujungnya hanya berakhir dengan kematian entah karena ber-perang atau kecelakaan. Sementara Mira malah makin tenggelam dalam pesona lelaki itu. Tutur lembut lelaki itu sanggup membuat hatinya bagai dihujani bunga-bunga indah berwarna merah hati. Tak ada hati mana pun yang sanggup menolak panahnya. Panah yang menyebar asmara sampai ke dasar jiwanya. Kini bukan hanya hatinya yang indah berwarna pelangi. Tapi jantungnya, paru-paru, usus, bahkan seluruh organ tubuhnya mendadak berwarna warni. “Kalau saya mati, mau tanggup jawab kamu?!” berang sang sopir. Lelaki itu menghela nafasnya. Belum sempat berbicara, para penumpang lelaki yang berang tadi sudah maju untuk mengeroyok sang sopir. Kesal akan sikap lelaki paruh baya yang hanya memikirkan jiwanya saja. Tidak kah ia lupa kalau ada banyak jiwa yang akan ia korbankan di sini? “Sabar, Bang! Sabar!” Ia berteriak lagi. Tapi wajah-wajah penuh emosi itu tak mendengarnya. Mereka malah makin berani menghajar sang sopir yang memegang kemudi. Tak sadar kalau akibatnya akan berdampak fatal. Mereka bisa terbang ke akhirat dalam hitungan detik. Sementara mobil besar ini masih melaju dan emosi mereka sama kencangnya dengan laju kendaraan besar ini. Cepat dan tak beraturan. Ia berteriak sekali lagi. “Abang-abang ini mau mati?!” Buku-buku tangannya memutih. Matanya melotot tajam. Membuat semua mulut menjadi bungkam. Tangannya mengepal. Tapi hatinya berlirih-lirih melafaskan istigfar. “Bapak berhenti sekarang atau saya yang hentikan?!” Ia mengancam dan ancamannya berhasil. Kalau tahu begini, akan ia lakukan sejak tadi. Tapi ia tak mau memakai emosi. Emosi itu hanya akan menghayutkannya ke dalam kesesatan. Akhirnya kendaraan besar itu berhenti. Lelaki itu langsung meng-angkat ibu-ibu tadi keluar dari kopaja dibantu beberapa lelaki lain yang amarahnya mulai mengendur. Mira hanya diam melihatnya. Betapa ia mengagumi lelaki itu sejak pertama kali melihatnya. Betapa gesit gerak tubuhnya. Betapa cepat langkahnya. Betapa beraninya ia menghadapi segalanya. Tanpa takut sama sekali. Dan baru kali ini, Mira bertemu sosok lelaki seperti itu. Lelaki yang benar-benar lelaki sejati. Lelaki yang berani melawan yang batil dan menegakan yang haq! “b******k lo!” teriak preman yang tadi mengacungkan pisau. Ia me-nyumpah-nyumpah sang sopir yang sudah pasrah dan kondektur yang terduduk lemah dibawah. Preman itu kesal karena penumpangnya direbut begitu saja. Aneh sekali para manusia saat ini. Padahal, memilih adalah hak penumpang. Ia ingin naik kendaraan mana saja, itu adalah haknya. Toh yang namanya rejeki tak kan tertukar. Semua telah diatur oleh-Nya. Preman hitam legam dengan tindik dimana-mana itu menatap tajam sang sopir. Namun kini mata buasnya yang tak takut apapun itu beralih menatap tajam para penumpang yang masih duduk. Diam dalam ketakutan. Tak berani membuka suara. Padahal hati mereka sudah mencaci maki wajah sangar itu. Beraninya hanya dalam hati. “Turun lo semua!” teriaknya lagi. Pisau tajam yang dipegangnya mengkilat-kilat. Seolah-olah haus akan darah. Haus ingin menebas leher siapa saja yang berani membantah. Beberapa penumpang berbisik-bisik menyuruh turun saja pada penumpang lain. Karena kejadian seperti ini tak cuma sekali. Sudah sering terjadi. Sudah biasa terjadi. “Turun lo!” teriaknya lagi. Kali ini acungan pisaunya tertuju pada empat s*****n yang masih diam dibangkunya. Sementara yang lain sudah beranjak. Kopaja itu hampir kosong ditinggal penumpangnya. Khayra, gadis berjilbab ungu yang sedari tadi memilih bungkam, tak mau beranjak. Ia tak sudi mengikuti perintah manusia seperti ini. Berani-nya mengancam dengan s*****a tajam. Untuk apa ia takut? Ia punya Tuhan-nya. Ia punya Allah. Kalau Allah mau, dalam sekejab saja nyawa lelaki sok garang ini lenyap dalam sekedip mata. “TURUN GAK LO?!” Kali ini Khayra makin tak sabar. Ia malah membuang muka. Sementara Mira mulai beranjak meski ragu. Khayra langsung mencekal tangannya, memberi kode agar tetap diam. Ini hak mereka mau naik kendaraan mana saja. Kenapa harus diatur-atur? Tapi Mira malah menggeleng. Sudut matanya melirik-lirik sosok preman yang mulai jengah. Dua temannya sudah beranjak dari bangku, memilih mengalah. Tapi Khayra tetap kekeuh. Tangannya kuat mencekal lengan Mira hingga sosok lelaki itu muncul tepat di samping lelaki hitam legam itu. Tangannya penuh darah. Bahkan bajunya bau anyir. Tapi ia tak nampak risih. Seolah-olah itu hanya air biasa. “Kenapa tidak Abang saja yang turun?” Lelaki itu malah bertanya. Wajahnya serius sekali. Ia iba melihat kopaja yang tadi terisi penuh kini hanya menyisakan dua gadis di dalamnya. “Berani lo sama gue?” “Kenapa saya harus takut?” Dalam hati, Mira mengutuk lelaki itu. Meski tak pelak, ia kagum juga. Namun untuk ukuran lelaki sangar ini, lebih baik turuti saja. Kalau tidak, pisau itu bisa menusuk tubuh hingga nyawa memilih melarikan diri. “Abang bukan Tuhan! Abang cuma manusia biasa! Saya tak perlu takut!” tuturnya lantang tapi malah dianggap menantang lelaki legam itu. Pisau itu mengayun ke arahnya membuat dua gadis itu terpekik kaget. Tangan lelaki itu kuat mencekal pisau yang sudah membuat garis lurus ditelapak tangannya. Aliran darahnya muncrat keluar dari jalurnya. Hingga gemuruh datang dari sekitarnya dan membuat preman legam itu terpental ke jalanan. Dihajar massa.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD