2. Rachel; Cinta yang Salah

1544 Words
Rachel memejamkan matanya menikmati pelukan erat pada pinggangnya tersebut. Hidungnya semakin melesak untuk membaui aroma maskulin yang keluar dari laki-laki yang sedang memeluk erat tubuhnya. Rasanya seperti Rachel bisa hidup hanya dengan pelukan laki-laki itu saja. Rachel kemudian merasakan laki-laki itu menciumi pelipisnya. "You smell sweet, sweeter than candy," bisik laki-laki itu di telinga Rachel membuat jantung gadis itu memompa darah lebih cepat. Bibirnya tersenyum. Oh, betapa dirinya ingin kebahagiaan ini sedikit lebih lama ia rasakan. Detik berikutnya Rachel merasakan laki-laki itu mengelus pelan rahangnya. Rachel sempat melihat bibir menggoda laki-laki itu menyunDaisygkan senyum miring sebelum akhirnya menyatukan bibir mereka dalam pagutan manis. Rachel meremas jaket yang dikenakannya sebagai bukti dirinya begitu menikmati lumatan di bibirnya saat ini. Tetapi kenikmatan itu harus berhenti karena sebuah dering telpon. Rachel bisa mendengar laki-laki itu menggeram sambil menarik ponselnya dari saku celana. "Halo!" bentak laki-laki itu kepada si pemanggil. Rachel terkekeh pelan. Tangannya terulur untuk bermain di d**a laki-laki itu. Tidak, lelaki itu tentunya tidak bertelanjang d**a. Tetapi sejujurnya Rachel lebih suka kalau laki-laki di depannya ini bertelanjang d**a, sih. "Ya!" sahut laki-laki itu untuk terakhir kalinya sebelum menutup sambungan telpon. "Gue harus cabut, latihannya udah mau mulai." Laki-laki itu pun bangkit dari posisinya. Dia mengelap bibirnya dengan telapak tangan, takut-takut kalau ada jejak lipstik Rachel menempel di sana. "Gue lagi pake LA Splash yang bahkan ngehapusnya harus pake waterproof make up remover, nggak bakal nempel," kata Rachel memberi tau laki-laki itu kalau pekerjaannya barusan hanyalah perbuatan sia-sia. Laki-laki itu pun nyengir. "Bagus deh, soalnya gue lebih suka bibir lo yang nempel di bibir gue daripada lipstick lo." Satu pukulan ringan mendarat di d**a laki-laki itu. Tentu saja dari Rachel. "Ewh, geli tau nggak?" Laki-laki itu memeletkan lidahnya. Kemudian tangannya menggapai puncak kepala Rachel dan mengusapnya pelan. "I love you,Cel," ucapnya lembut. Rachel kembali merasakan jantungnya dipompa lebih cepat. Dia yakin pipinya memerah sekarang. Rachel pun menyunggingkan senyuman. "Love you more." More than you could ever imagine, Bry. Setelah itu laki-laki itu pergi meninggalkan Rachel setelah mengecup sekilas bibirnya dan meremas pinggangnya dengan perasaan berbunga yang beriringan dengan rasa bersalah. *** Seorang gadis manis berwajah setengah bule memasuki ruangan tempat Rachel duduk dengan wajah tidak enak. Dengan segera dia menghampiri Rachel yang kini tengah tersenyum kepadanya. "Oh my God, Acel! Maaf ya gue telat, jalanan macet parah." Gadis itu berucap sambil duduk di samping Rachel yang kerap dipanggil Acel oleh orang terdekatnya. Rachel terkekeh sambil menggeleng pelan, "Santai aja, Sy, gue sih nggak masalah. Tuh, cowok lo yang udah kelabakan dari tadi sampai latihannya nggak fokus." Rachel mengedikkan dagunya ke ruang studio yang terbatas oleh dinding kaca dari tempat mereka duduk sekarang. Di dalam sana ada lima orang cowok sedang latihan band dengan lagu terbaru mereka yang kabarnya akan rilis dua minggu lagi. Seorang laki-laki yang duduk di balik drumnya menoleh ke arah mereka dan memasang sebuah senyuman miring, khasnya. Membuat gadis yang duduk di samping Rachel itu tersipu-sipu. Ya gadis itu, Daisy. Rachel terkekeh gemas. Sahabat manisnya itu semakin manis saat sedang tersipu seperti itu. Lalu Rachel pun tidak tahan untuk tidak menggoda sahabat manisnya itu. Godaan Rachel pun harus berhenti saat suara yang terdengar dari studio berhenti dan orang-orang yang berada di dalamnya keluar satu per satu. Semuanya menyapa Daisy sambil berlalu menuju pantry untuk mengambil minum karena kelelahan setelah berlatih. Satu orang yang tadi duduk di belakang drum menjadi yang terakhir keluar dari ruang studio dan langsung berlari menghampiri Daisy dan juga Rachel. Cowok itu, Bryan, si drummer super ganteng dari band remaja yang sedang hits di kalangan anak muda saat ini. "Sayang!" serunya begitu sudah berada di hadapan Rachel dan Daisy. Rachel menatap Bryan dengan tatapan penuh arti saat sadar tatapan mata Bryan bukanlah tertuju padanya melainkan pada sahabatnya, Daisy. Rachel tersenyum miris. "Maaf ya aku nggak sempet dateng dari awal latihan, aku Cuma denger separuhnya aja," ucap Daisy tidak enak kepada Bryan. Bryan menggeleng dan langsung mengarahkan tangannya untuk mencubit pelan ujung hidung Daisy. "Who's care, as long as you're here right now." Bryan berbisik menggoda membuat lagi-lagi pipi Daisy merona. Kulit putih Daisy sangat membantu memperjelas rona di pipinya tersebut. Rachel berdehem pelan. "Duh, yang pacaran suka nggak inget orang ya. Gue berasa nyamuk," ledek Rachel membuat perhatian Bryan dan Daisy teralih padanya. Bryan tertawa sambil menyentuh pelan bahu Rachel. "Yaelah, udah dua tahun mau jalan tiga tahun, Cel, dan lo masih merasa jadi obat nyamuk?" Ledek Bryan. Daisy mencubit pelan perut Bryan. "Nggak boleh gitu, Bry, Acel 'kan sahabat kita, masa kamu katain obat nyamuk." Seperti biasa, Daisy selalu membela Rachel jika dia sedang diledek Bryan.   Bryan menghembuskan nafasnya tanda menyerah. "Ok, tuh Cel, makasih lo sama cewek gue, dia belainnya lo mulu." Rachel memutar bola matanya. "Karena lo rese dan nggak pantes dibela!" ucapnya sinis yang tentu saja hanya dianggap bercanda baik oleh Daisy mau pun Bryan. "Aku mau ke pantry dulu ambil minum, kamu mau ikut?" tawar Bryan kepada Daisy. Daisy melirik Rachel berniat untuk mengajak sahabatnya tersebut namun dengan cepat Rachel menolak. "Gue nggak ikut, gue mau ke toilet." "Okay, then. Yuk, sayang?" Bryan pun merangkulkan tangannya pada bahu Daisy. Daisy dengan lembut menolaknya. "Aku nemenin Rachel dulu, deh," ucapnya sambil memandang Rachel. Lagi-lagi dengan cepat Rachel menggeleng. "No, lo duluan aja nanti gue nyusul. Gue kayaknya agak lama," ucap Rachel berbohong. Bryan terkekeh. "Dia mau poop kali, yang." Dan langsung saja kata-katanya tersebut membuat Bryan mendapat sikutan di rusuknya. "Bry, jangan ledekin Acel terus, ah!" Daisy lalu beralih pada Rachel, "Yaudah gue sama Bryan ke pantry, lo nyusul ya nanti?" Rachel hanya menjawabnya dengan anggukan dan acungan jempol. Lalu Daisy dan Bryan pergi meninggalkan Rachel sendirian di ruangan tersebut. Tapi tanpa Daisy tau, lelaki yang sedang merangkulnya sempat melayangkan kedipan mata genit untuk Rachel, sahabatnya. Dan tanpa Daisy tau pula, Rachel tengah meredam api cemburu di dadanya. *** Rachel menghembuskan nafasnya setelah seluruh wajahnya terbasuh dengan air yang mengalir dari keran wastafel menyala di depannya. Berharap kalau air keran itu membantu mendidihkan hatinya yang baru saja mendidih karena emosi. Emosi yang disebabkan atas rasa kecemburuan tidak logisnya pada seseorang yang bahkan bukan miliknya. Rachel menggelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan bayangan laki-laki dan perempuan yang sedang bersama-sama di luar sama. Rachel benci terjebak di keadaan seperti ini untuk kesekian kalinya. Keadaan di mana dia dihujani perasaan cemburu dan bersalah dalam satu waktu yang sama. Miris. Mungkin hanya itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Rachel saat ini. Rachel terlibat perselingkuhan dengan kekasih sahabatnya sendiri. Sebut Rachel b******k, PHO atau b***h kalau perlu. Rachel bahkan menilai dirinya lebih rendah dari tiga hal barusan. Garbage atau sampah sepertinya lebih cocok untuk Rachel. Sampah yang seharusnya dibuang karena berbau busuk dan tidak pantas disimpan atau dipertahankan. Meski pun dalam hal ini sebenarnya bukan hanya Rachel yang bersalah karena Bryan duluan lah yang menggoda Rachel, tetapi jelas Rachel punya andil paling besar di sini. Kalau Rachel tidak menanggapi Bryan, tentu hal ini tidak akan terjadi. Berkali-kali Rachel sudah mencoba untuk lepas dari Bryan dan menyudahi hubungan mereka yang jelas sekali salah ini, tetapi berkali-kali juga Rachel gagal. Bryan selalu bisa membuat Rachel menyerah dan kembali ke pelukan cowok itu. Lagi-lagi ini bukan sepenuhnya salah Bryan. Kalau Rachel memang niat dengan serius, tentu dia tidak akan menyerah sebelum berhasil. Nyatanya Rachel menyerah, karena dia terlanjur begitu mencintai Bryan. "Cel, lo masih lama?" Suara gedoran dari pintu seolah menyadarkan Rachel membuat gadis itu buru-buru menarik selembar tissue yang tersedia di samping wastafel. Rachel mengusap pelan wajahnya dengan tissue tersebut untuk mengelap bulir-bulir air di sana. "Ya, Daisy! Ini sebentar lagi!" sahut Rachel setelah dirasa wajahnya sudah cukup segar. Rachel menatap wajahnya pada pantulan kaca di depannya. Dalam hati dia bersyukur make up yang dikenakannya malam ini adalah make up waterproof yang tidak akan luntur terkena air. Rachel membuka pintu kamar mandi yang langsung memperlihatkan wajah cemas milik Daisy, sahabatnya. "Lo oke, Cel? Gue khawatir, soalnya kata Bryan lo dari tadi sore udah pucet. Lo kenapa nggak bilang sama gue dari tadi kalau lo sakit? Mau gue beliin obat?" tanya Daisy sambil menggenggam sebelah tangan Rachel. Rachel melirik ke arah objek yang baru saja disebutkan sahabatnya tadi yang sedah kembali berada di studio, sedang berbincang dengan teman-temannya yang tergabung dalam grup band yang sama dengannya. "Bryan nyuruh lo beli obat?" tanya Rachel kembali mengalihkan tatapannya kepada Daisy. Daisy mengangguk. "Iya, tapi karena lo tadi lama di kamar mandi makanya gue khawatir takut lo kenapa-kenapa di dalem." Daisy lalu menarik Rachel untuk duduk bersamanya di sofa. "Lo mau pulang aja, Cel?" tanya Daisy masih dengan wajah khawatirnya. Rachel menggeleng. "Nggak apa-apa Daisy, gue bareng sama lo aja nanti." "Gue bisa pulang sekarang kok, kita naik taksi aja jadi nggak perlu nunggu Bryan selesai latihan." Daisy lalu bergegas berdiri. "Gue bilang sama Bryan dulu, ya?" Rachel refleks langsung menahan tangan sahabatnya itu. "Nggak usah, Daisy! Gue bisa pulang sendiri kok. Lo di sini aja nemenin Bryan." Daisy menggigit bibir bawahnya. "Tapi lo lagi sakit, Cel," lirih Daisy. Rachel memasang senyum lemah. Sejujurnya dia sama sekali tidak sakit seperti yang diduga Daisy. Satu-satunya yang sakit dari diri Rachel adalah hatinya. "Nggak apa-apa, Daisy." Rachel pun bangkit dari duduknya sambil menyandang tasnya. Daisy buru-buru membantu sahabatnya itu. "Gue temenin lo nunggu taksi, ya?" pintanya. Dan Rachel hanya bisa tersenyum, "Makasih, Daisy." Maaf, Daisy, gue cinta sama cowok lo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD